Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak di wajah Sri tak membesar, juga tak mengecil. Tidak panas, tidak sakit juga. Gatal pun tidak. Ia mengira titik putih kemerahan itu sekadar reaksi alergi tidak berbahaya. Dan karenanya perempuan yang sengaja kami tidak sebut nama lengkapnya ini berangsur-angsur melupakan fakta bahwa ada bercak di wajah. 

Beberapa bulan berselang burik di pipi Sri mulai terlihat mengalami perubahan. Baik ukuran maupun warna. Ruam-ruam pun menjalar hingga lengan, paha, dan punggung. Sejak itu tubuh Sri mulai terasa nyeri. “Saya sudah tidak bisa pakai sandal. Berjalan pun sulit. Lama-lama muka saya merah kaya udang rebus,” ungkap Sri kepada Jaring.id di sebuah hotel di Makassar pada Kamis, 31 Oktober 2024.

Karena tidak tahan dengan rasa sakit, Sri memutuskan untuk menemui bidan di klinik setempat. Dia menjalani tes mati rasa, dengan cara mengusap kapas beralkohol pada area di sekitar ruam merah dan bercak putih yang ada di paha, pipi dan lengan. “Saat itu saya tidak bisa merasakan kapas yang digosokkan ke bercak putih dan ruam merah di badan. Bidan itu menyuruh saya untuk cepat berobat ke Puskesmas,” cerita dia. 

Dari petugas kesehatan Puskesmas lah Sri mendapati kabar buruk itu. Ia didiagnosa mengalami kusta. “Kusta?” tanya Sri terheran-heran. Terlebih saat mengetahui bahwa ia sebagai orang pertama yang didiagnosa sebagai pasien kusta di kampungnya, Gowa, Sulawesi Selatan. Menurut Sri, petugas kesehatan sampai menjelaskan bahwa kusta adalah penyakit infeksi dan menular yang dipicu oleh bakteri Mycobacterium leprae. Bakteri jenis ini  menyerang jaringan  kulit, saraf perifer, mata, dan selaput yang melapisi bagian dalam hidung. Tapi Tidak semua orang serta merta tertular kusta begitu kontak dengan penderita. “Bisa disembuhkan dengan pengobatan rutin,” begitu perkataan petugas kesehatan seperti ditirukan Sri. 

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 27 Januari 2023 menyebut kusta telah tersebar di 120 negara. Sedikitnya ada 200.000 kasus kusta baru per tahun. Indonesia adalah negara ketiga dengan kasus terbanyak di dunia, setelah India dan Brasil. Sementara itu, Kementerian Kesehatan pada Januari 2022 menyebut prevalensi kusta naik 0,55 per 10 ribu penduduk. Angka ini naik 0,05 dari tahun 2021. Dari jumlah itu tertera kenaikan jumlah pasien perempuan dari 2022 ke 2023 menjadi sekitar 17,7 persen dari sekitar 13.487 kasus. 

Sri adalah satu dari sejumlah perempuan OYPMK, kependekan dari orang yang pernah mengalami kusta. Kami bertemu dalam sebuah kelas jurnalistik yang digelar NLR Indonesia–organisasi nonpemerintah yang memusatkan kerjanya pada penanggulangan kusta, dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) pada akhir Oktober 2024 lalu. Selama 4 hari pelatihan Sri tampak pendiam. Jemarinya lebih banyak mencatat materi yang disampaikan dua jurnalis Jaring.id, Damar Fery Ardiyan dan Abdus Somad.

Bukan tanpa alasan Sri lebih banyak diam. Gangguan bakteri lepra yang tiba-tiba muncul di mukanya 10 tahun lalu seakan menjadikannya berbeda dari orang lain. Orang-orang yang bertanya-tanya kerap menggunakan stereotip negatif, mulai dari penyakit turunan, penyakit yang disebabkan ilmu hitam, dan perempuan sebagai sumber penularan kusta. Sebagian lagi langsung menjauhi sambil memicingkan mata. Akibatnya, Sri merasa berat untuk berelasi secara sosial. “Walaupun sudah sepuluh tahun lalu saya dinyatakan sembuh, namun masih ada self stigma yang kuat. Jadi saya lebih nyaman berteman dengan orang yang pernah dinyatakan kusta karena mereka tahu kami sering dianggap menjijikan dan dijauhi orang lain,” jelasnya. 

Salah satu peristiwa yang masih ia ingat ialah ketika Sri ditinggal tanpa penjelasan oleh laki-laki yang ia pacari. Padahal, saat itu, keduanya sudah menggelar pertemuan keluarga untuk merencanakan prosesi pernikahan. “Kami pacaran sudah lama, keluarga kami saling kenal karena dijodohkan jadi masih ada ikatan saudara jauh. Sudah bicara tanggal nikah, tapi dia dan keluarganya tidak datang padahal semuanya sudah dipersiapkan. Jadi hari itu pertunangan dibatalkan sepihak,” jelas Sri.

Meski begitu, yang paling membuatnya sedih adalah saat harus berhenti bekerja dan melihat bisnis kue khas Bugis ibunya terpaksa gulung tikar lantaran kehilangan pembeli. “Jualan ibu saya tidak laku setelah orang tau saya pernah kena kusta. Padahal sudah sembuh dan tidak ada reaktif lagi. Mama saya itu jualan kue Sikaporo. Biasanya dua kotak habis dalam sehari. Satu kotak isi 20. Sejak ketahuan banyak tersisa karena orang tidak mau lagi beli dan akhirnya berhenti jualan kue,” ia menambahkan. 

Setelah tiga tahun terstigma dan menjalani masa pengobatan yang intens, Sri dinyatakan sembuh oleh dokter. Masa pengobatan, menurutnya, adalah hari-hari tersulit. Obat-obatan yang ia tenggak membuat kulitnya berubah menghitam dan kering. Gejala yang kurang lebih sama, seperti bercak putih dan ruam kemerahan pun terjadi setelah Sri melahirkan. “Karena pengobatan itu pula saya tidak bisa menyusui anak saya,” ujarnya setengah tertunduk.

Selain Sri kami juga bertemu dengan Arfiah. Perempuan usia 15 tahun ini terpaksa putus sekolah saat masih duduk di bangku SMP. Ketika itu menjadi hari paling buruk buatnya. Selain terkena kusta, putus sekolah, ia pun harus mengambil alih peran ibu di rumah. “Saya harus menjaga adik yang masih kecil,” ujarnya. 

Masih jelas dalam ingatan Arfiah bagaimana ia dijauhi teman-temannya, bahkan keluarga. “Tante pernah nyuruh saya harus pake masker kalau main di rumahnya, tidak boleh dekat-dekat,” ucap Arfiah kepada Jaring.id, Kamis, 30 Oktober 2024. Kondisi tersebut bertambah parah saat kulitnya mulai menghitam, kering, dan diselimuti ruam-ruam di sekujur badan. “Itu karena efek obat,” kata dia. 

“Karena itu pula keluargaku sempat meminta agar berhenti minum obat,” tambahnya.

Alih-alih sembuh, kondisi kesehatan Arfiah saat itu malah anjlok ketika proses pengobatan terhenti. Seluruhnya tubuhnya terasa sakit. Ruam di tubuh pun semakin menjalar. “Jadi harus diulang kembali dari awal masa pengobatannya,” ujar Arfiah.

Pengobatan terhadap pasien kusta seperti yang dijalani Arfiah dan Sri membutuhkan waktu yang terbilang panjang. Kusta basah obat harus diobati dengan meminum obat setiap hari selama 12 bulan. Sedangkan obat kusta kering harus diminum selama 6 bulan. Seluruh obat dapat diambil gratis di Puskesmas. 

“Mengapa stigma yang dilekatkan pada kami lebih kuat dibanding penyakit lain, orang yang disabilitas dari lahir mendapatkan perlakuan berbeda. Kami cenderung dijauhkan dan diasingkan,” ujar Sri menimpali. 

Sierly Natar, perawat yang sudah 30 tahun merawat pasien kusta dari Dinas Kesehatan Kota Makassar memastikan bahwa kusta dapat disembuhkan tanpa cacat bila berobat secara dini dan teratur. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar masyarakat lebih aware terhadap penyakit yang ditemukan sejak 1873 ini. 

Gejala-gejala kusta, kata dia, mudah dikenali. Pengobatannya pun jauh lebih mudah ketimbang mengobati masalah sosial, seperti stigmatisasi terhadap OYPMK. Selama puluhan tahun bekerja mendeteksi dan mengobati kusta, ia mengaku masih menemukan persepsi yang salah terhadap kusta. Akibatnya, pasien kusta cenderung menutup diri dan memilih tidak melanjutkan pendidikan, sulit mendapat pekerjaan, diceraikan oleh pasangan, dikucilkan oleh lingkungan, ditolak saat masuk fasilitas umum, dan bahkan fasilitas pelayanan kesehatan. 

“Pasien kusta perempuan lebih berat menghadapi stigma, ada yang diceraikan, diasingkan keluarga, dan dianggap sumber aib jika berhubungan suami istri saat istri menstruasi, maka anaknya bisa terkena kusta,” ungkapnya.   

Apa yang disampaikan Sierly sesuai dengan laporan WHO berjudul Gender Tropical Diseases. Organisasi kesehatan dunia itu sudah sejak lama menyebut bahwa kusta dapat menimbulkan pelbagai masalah di dalam rumah tangga maupun hubungan sosial, antara lain perasaan ingin mengisolasi diri sampai terganggunya keinginan untuk berhubungan seksual. Meski begitu, seseorang yang terkena kusta akan merasakan dampak berbeda-beda tergantung peran gender masing-masing. 

Perempuan akan cenderung menstigmatisasi diri sendiri dan mengganggu integritas psikologis mereka ketimbang laki-laki. Apalagi ketika mereka mengalami perubahan fisik akibat dari proses pengobatan. “Namun penyakit tersebut tidak menghalangi mereka untuk menjalankan peran seksual,” tulis laporan tersebut. 

Fanny Rachma, Communications Officer NLR Indonesia pun sependapat. Menurutnya, stigma yang melekat pada OYPMK perempuan berdasarkan hasil temuan di lapangan cenderung sulit diterima pasangan. Sementara OYPMK laki-laki lebih sulit mendapatkan pekerjaan, terutama jika sudah mencapai disabilitas.

“Kebanyakan cerita teman-teman OYPMK, perempuan lebih banyak mengalami stigma ketika mereka mau menikah, apalagi mereka yang terkena sebelum menikah. Jadi pas mereka mau ke jenjang lebih serius banyak yang mengalami stigma dari keluarga si calon pasangan. Cuma kalau bicara seberapa besar penyakitnya sebenarnya sama saja karena teman-teman OYPMK laki-laki juga kesulitan mendapatkan pekerjaan, apalagi kalau OYPMK sudah ditahap disabilitas,” jelas Fanny.

Guna mengembalikan kepercayaan diri OYPMK, NLR Indonesia bersama mitra daerah setempat melakukan pemberdayaan dengan mengadakan peer group counseling, membentuk kelompok perawatan diri, kemudian pelatihan menulis agar OYPMK dapat menyuarakan isu kusta melalui pelbagai platform. 

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan masih ada 11 kabupaten/kota di tanah air yang belum dapat mengeliminasi kusta. Antara lain Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sebanyak 15 ribu kasus yang ditemukan, di antaranya merupakan kasus baru tanpa disabilitas sebanyak 83%, disabilitas tingkat lanjut sekitar 6 persen, dan proporsi kasus baru pada anak hampir 10 persen.

Selama ini, menurut Sierly, Kemenkes telah melakukan berbagai strategi, di antaranya melakukan penguatan advokasi dan koordinasi lintas program, seperti pemantauan dan evaluasi. “Kusta ini kan penyakit yang paling kuat stigmanya, maka kami melakukan kerjasama lintas sektor dan mendorong masyarakat agar mau memeriksakan diri untuk peduli dan mencegah kusta agar tidak disabilitas. Kusta itu tidak menyebar jika sudah meminum obat, bakterinya sudah terpecah. Jangan ada kusta di antara kita,” tutupnya. (Indah Suci Safitri)

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.