Butuh waktu lima hari bagi Pemimpin Redaksi Project Multatuli, Fahri Salam menyunting naskah kasus kekerasan seksual berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” yang terbit, Rabu 6 Oktober 2021. Laporan ini bercerita tentang penghentian perkara dugaan pelecehan seksual terhadap tiga anak yang masih berusia di bawah 10 tahun. Perkara ini ditangani Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan pada 2019 lalu.
“Setiap kalimat atau setiap kutipan bagi kami harus didukung fakta dan material keras. Sampai kami meminta jurnalis berupaya meminta salinan hasil visum dua hasil visum dari polisi namun tidak diberikan,” kata Fahri kepada Jaring.id melalui telepon, Jumat 8 Oktober 2021.
Kehati-hatian itu ditunjukkan Fahri dengan merahasiakan identitas, usia, jenis kelamin dan informasi lain yang dapat berpotensi membuka identitas korban kekerasan seksual tersebut. “Ini berkaitan dengan anak,” ujarnya. Redaksi Project Multatuli pun telah meminta Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar dan LBH Pers untuk memeriksa kembali naskah tersebut sebelum diterbitkan. Namun beberapa jam setelah diterbitkan, akun @humasreslutim milik Polres Luwu Timur mencap berita tersebut sebagai hoaks. “Kami tidak menyangka. Kami hanya berpikir laporan dirilis dan semua laporan ada bukti kuat. Saya mengeditnya hati-hati,” kata Fahri.
Bahkan, situs Project Multatuli mendapat serangan digital, berupa Distributed Denial of Service (Ddos) sehingga mengakibatkan pembaca sulit mengakses berita tersebut. “Serangan ini sudah berkali-kali, ini sampai sekarang masih ada terus. Ini risiko. Kami sedang memperbaiki sejak kemarin,” ungkapnya.
“Kami tidak menyangka bakal buat mitigasi segenting ini. Kami pikir setelah merilis, kemudian polisi mau membuka penyelidikan kembali,” lanjut Fahri.
DDoS merupakan serangan yang membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server yang mengakibatkan situs tidak dapat diakses. Serangan ini pernah menimpa Tempo.co dan Tirto.id pada 21 Agustus 2020. Bahkan beberapa artikel Tirto.id terkait obat virus Corona yang menyinggung keterlibatan BIN dan TNI sempat mendadak hilang.
Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) mengecam pelabelan hoaks pada karya jurnalistik. Kasus yang menimpa Project Multatuli menambah daftar kasus serangan digital terhadap media dan jurnalis. Sepanjang periode 2021 AJI Indonesia mencatat sedikitnya 15 kasus, meliputi doxing, peretasan, hingga serangan DDoS. Koordinator KKJ, Erik Tanjung menyatakan tindakan pihak Polres Lutim bertentangan dengan hukum pers.
“Mestinya aparat kepolisian melakukan upaya hak jawab atau hak koreksi sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Bukan kemudian justru mengklaim berita terkonfirmasi dengan sumber dan data yang benar sebagai informasi palsu,” kata Erik dalam keterangan tertulis yang diperoleh Jaring.id, Rabu, 8 Oktober 2021.
Karenanya, Kepolisian Indonesia diminta tegas menjatuhkan sanksi kepada oknum polisi yang melabelisi berita sebagai hoaks. “Sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta rupiah,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, KKJ juga mengecam penyebaran identitas orang tua korban. Hal ini sebelumnya dilakukan oleh admin @humasreslutim melalui fitur story Instagram. Tindakan tersebut, kata Erik, melanggar Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Anak. Belied tersebut mewajibkan setiap pihak untuk merahasiakan identitas anak yang menjadi korban kekerasan seksual. “Mengecam dan mendesak kepolisian melindungi hak anak korban kekerasan seksual dengan tidak menyebarkan identitas, termasuk nama orang tua atau hal lain yang dapat mengungkap jati diri korban,” ucapnya.
<!––nextpage––>
Kasus dugaan kekerasan seksual yang disoroti Project Multatuli bermula dari kecurigaan ibu korban pada awal Oktober 2019. Saat itu, anak-anaknya mengeluhkan sakit pada anus dan organ reproduksinya. Karenanya pada pekan kedua Oktober 2019, ibu korban membawa ketiga anaknya tersebut ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Dinas Sosial Luwu Timur, serta melaporkan kejadian itu ke Polres Luwu Timur. Ibu korban mencurigai mantan suami yang adalah aparatur sipil negara di salah satu dinas pemerintahan Luwu Timur sebagai pelaku dugaan kekerasan seksual tersebut.
Baca juga: Tips Wawancara Korban
Namun, pihak kepolisian memilih tidak melanjutkan pelaporan korban lantaran menganggap laporan dugaan kekerasan seksual anak tidak terbukti. Pasalnya dari hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda trauma dan menyebut keadaan fisik dan mental anak dalam keadaan baik. Penghentian kasus ini kemudian diperkuat oleh Polda Sulawesi Selatan setahun berselang.
Markas Besar Kepolisian Indonesia mengklaim proses penanganan kasus dugaan kekerasan seksual anak di Luwu Timur telah selesai. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Argo Yuwono menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan seluruh prosedur penanganan laporan. Antara lain mengantar ketiga anak tersebut untuk menjalankan visum et repertum bersama ibunya di P2TP2A Kabupaten Luwu Timur. “Hasil pemeriksaan atau visum dengan hasil ketiga anak tersebut tidak ada kelainan dan tidak tampak adanya tanda-tanda kekerasan,” kata Argo dalam keterangannya, Jakarta, Jumat 8 Oktober 2021.
Polres Luwu Timur kemudian pada 5 Desember 2019 melakukan gelar perkara. Hasilnya dinyatakan bahwa pelaporan kasus tersebut tidak terbukti. Begitu pula dengan gelar perkara yang dilakukan Polda Sulsel pada 6 Oktober 2020. “Tidak ditemukan bukti yang cukup adanya tindak pidana sebagaimana yang dilaporkan,” jelasnya.
Dari laporan hasil asesmen P2TP2A Kabupaten Luwu Timur, lanjutnya, tidak ada tanda-tanda trauma pada ketiga anak tersebut kepada ayahnya. “Karena setelah sang ayah datang di kantor P2TP2A, ketiga anak tersebut menghampiri dan duduk di pangkuan ayahnya,” kata Argo.
Meski begitu, Deputi V Kantor Staf Presiden bidang Politik, Hukum, Hankam, HAM dan Antikorupsi serta Reformasi Birokrasi, Jaleswari Pramodhawardani menyarankan agar kepolisian mengevaluasi proses penyelidikan kasus tersebut. Jangan sampai karena ada kesalahan prosedur, kasus kekerasan seksual terhadap anak ini tidak ditangani dengan baik. “Atau ditemukannya bukti baru sebagaimana disampaikan oleh Ibu korban dan LBH Makassar, maka kami berharap kapolri bisa memerintahkan jajarannya untuk membuka kembali kasus tersebut,” kata Jaleswari Pramodhawardani dalam rilis yang diterima Jaring.id, Jumat 8 Oktober 2021.
Dalam penanganan perkara kekerasan seksual anak, kata Jaleswari, kepolisian harus menaruh perhatian dan mau mendengar apapun kondisi anak-anak maupun ibu korban. Tanpa itu, sulit bagi polisi menangani kasus kekerasan seksual dan perkosaan yang menimpa anak. Menurut Jaleswari, penghentian kasus dengan alasan tidak adanya bukti ini semakin memperkuat urgensi pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. “Walaupun anak-anak, suara korban harus kita dengarkan dan perhatikan dengan seksama. Termasuk suara ibu, para korban. Bayangkan saja mereka adalah anak-anak kita sendiri,” ujarnya.
Baca juga: Anak-anak yang Beranak
Sementara itu, jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam KOMPAKS meminta agar Polres Luwu Timur mencabut Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta meminta adanya pengusutan ulang penyelidikan kasus dugaan perkosaaan dengan mengedepankan perspektif korban. “Perlu kedepankan hak perlindungan dan hak pemulihan korban dan keluarga korban, serta melakukan penanganan kasus secara transparan berdasar pada laporan korban dan bukti-bukti yang sudah disediakan oleh korban,” kata anggota KOMPAKS, Ika.
KOMPAKS juga meminta Polri untuk mengevaluasi seluruh kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak ditolak maupun dihentikan.” Polisi perlu menerbitkan peraturan internal penanganan kasus kekerasan seksual yang berperspektif korban,” kata Ika.
Sejak 2017-2021 Komnas Perempuan mencatat kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan anak sebanyak 544.452 kasus. Sayangnya, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, proses hukum jarang berpihak kepada korban. “Korban berhak atas keadilan dan pelaku harus dihukum setimpal,” kata Rainy kepada Jaring.id, Jumat, 6 Oktober 2021.
Salah satu penghambat penyelidikan kasus kekerasan seksual, menurut Rainy, ialah Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP) yang tidak mengatur secara rinci mengenai kasus pemerkosaan. Definisi pemerkosaan yan<!––nextpage––>g diatur dalam KUHP dinilai masih sangat terbatas. “Padahal pemerkosaan atau kekerasan seksual dapat menggunakan alat-alat non penis. Bagi Komnas Perempuan, untuk kasus, bukti tuturan korban dan rekaman kondisi psikis oleh tenaga psikolog, sudah merupakan bukti,” ujar Rainy.
<!––nextpage––>
Untuk membantu korban mendapatkan keadilan, Komnas Perempuan bersedia untuk mengajukan amicus curiae, serta memberikan surat rekomendasi untuk pendampingan terhadap korban. Ia berharap keluarga korban melaporkan kasusnya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Perempuan agar dapat dirujuk ke organisasi penyedia layanan korban terdekat dan mendapatkan pendampingan hukum serta layanan psikologi untuk anak dalam pendampungan khusus. “Ketiga korban perlu mendapat layanan pemeriksaan dan pemulihan khususnya psikologi. Ini merupakan hal penting yang harus segera dilakukan terhadap ketiga anak korban pemerkosaan atau pencabulan,” ujarnya.
Memupuk Solidaritas Media
Serangan digital terhadap Project Multatuli (PM) mendorong sejumlah media menerbitkan ulang berita terkait penghentian dugaan kasus kekerasan anak. Pemimpin Redaksi PM, Fahri Salam menyebut hal itu belum pernah terjadi di Indonesia. Tanpa gerakan solidaritas sulit baginya untuk menyebarkan cerita yang menimpa korban. “Aku tidak habis pikir kalau tidak republish kita akan sendirian. Kita didukung ada banyak pembaca dan wartawan dan mendukung kita,” kata Fahri.
Baca juga: Jurnalis Warga Terancam Label Hoaks
Sementara itu, akademisi Universitas Multimedia Nasional (UMN), Ignatius Haryanto Djoewanto mengapresiasi dukungan dan penolakan sejumlah media terhadap label hoaks yang disempatkan polisi. “Salut bagi rekan-rekan jurnalis dari berbagai pihak yang saling menggandengkan tangan untuk melawan kekuasaan semena-mena yang hendak menutup arus informasi yang ada. Inilah juga berkat dari kehadiran digitalisasi dan fenomena media digital saat ini,” kata Ignatius kepada Jaring.id, Jumat, 8 Oktober 2021.
Publikasi ulang, menurutnya, merupakan bentuk solidaritas media untuk menjaga hak publik mendapatkan informasi. “Rasanya belum pernah dalam sejarah republik ini. Kalau boleh saya katakan bahwa ada bentuk solidaritas media yang demikian luas terhadap blokade pemberitaan yang dilakukan oleh suatu pihak dan ini luar biasa,”
Anggota Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ini mendorong agar solidaritas semacam ini dipertahankan dan perlu diupayakan terus menerus untuk mengimbangi ekosistem media yang saat ini banyak dipengaruhi kekuatan oligarki. “Solidaritas menjadi penanda bahwa media-media yang turut di dalamnya merasakan betapa sakitnya ketika berita yang telah dihasilkannya lalu dicap sebagai hoaks dan kemudian situs pemberitaannya pun mendapatkan serangan digital yang bertubi-tubi. Solidaritas semacam ini perlu terus dipupuk untuk memberikan perlawanan terhadap akses informasi yang ditutupi,” pungkasnya.