Media sering menganggap perkawinan anak hanya masalah hubungan orang tua dan anak. Padahal ini kejahatan besar. Semestinya media dan jurnalis menjadi bagian dari perjuangan hak perempuan dan anak karena misi jurnalis adalah “voicing the voiceless”.
Pernikahan RS (13) dan MA (17) di Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan (Sulsel), sempat menarik perhatian publik akhir Agustus lalu. Keputusan menikah di usia dini bukan keputusan lazim bagi kebanyakan orang, tetapi tidak di Bantaeng dan sejumlah provinsi di Sulawesi.
Nur Anti, Kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sulawesi Selatan, membenarkan tingginya perkawinan anak yang terjadi di Sulsel. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2016, angka perkawinan anak berusia kurang dari 18 tahun mencapai 30,5 persen di Sulsel .
“Sulawesi Selatan adalah salah satu daerah yang angka perkawinan anaknya mengkhawatirkan,” katanya dalam Lokakarya Jurnalistik Liputan Mendalam Berbasis Data tentang Perkawinan Anak di Makassar, Jumat 14 Desember 2018 yang diselenggarakan Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (Jaring) bekerja sama dengan Koalisi Cegah Perkawinan Anak dan Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2).
Kehawatiran tidak hanya terjadi pada peningkatan jumlah perkawinan anak, tapi juga pemberitaan media yang disajikan dengan diksi vulgar dan tidak berpihak pada anak dan perempuan. Padahal, media berperan penting sebagai kelompok yang harusnya membongkar masalah utama di balik perkawinan anak.
“Jurnalis perlu tahu latar belakang ekonomi, sosial dan dimana dia (anak yang menikah di bawah umur) hidup,” kata mantan jurnalis Kompas, Maria Hartiningsih, yang menjadi salah satu pemateri dalam lokakarya.
Maria mengatakan, jurnalis harus menggunakan analisis struktural agar bisa membongkar kasus perkawinan anak secara mendalam. Menurutnya, perkawinan anak erat kaitannya dengan kemiskinan, pendidikan, juga akses terhadap informasi dan sanitasi.
Hal itu bisa dibuktikan dengan menggunakan data-data yang tersedia. Misalnya, di daerah yang tingkat pekawinan anaknya tinggi perlu didapatkan data indeks pembangunan manusia. Data itu bisa dipakai mengkritisi kinerja pemerintah agar terjadi perbaikan kebijakan.
“Data itu penting sekali, karena itu menunjukkan keseriusan persoalan. Tapi yang tidak kalah penting adalah cerita di balik angka. Story behind the number harus ada karena disitulah jurnalisme berwajah manusia,” katanya.
Melindungi anak-anak dari perkawinan dini, menurut Maria, tidak cukup hanya mengandalkan aturan dan undang-undang. Jurnalis harus melihat dasar pesoalan, mengumpulkan cerita dari keluarga. Fakta-fakta yang dikumpulkan menjadi kebenaran yang berlapis, lalu dikaitan dengan isu besar.
Misalnya mengaitkan dengan isu kesetaraan gender. Mengukur kesetaraan gender akan melihat keterwakilan pria dan wanita di berbagai peran seperti peran ekonomi, lapangan kerja, pendidikan penghasilan, kesehatan dan lain-lain. Berbagai data tersedia yang mengukur kesetaraan gender seperti Gender Equality Index, Gender Inequality Index, Global Gender Gap dan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2016.
“Itu sebabnya jurnalis harus banyak belajar. Paham latar belakang dan mengetahui Hak Asasi Manusia,” katanya.
Meski begitu, Maria juga mengatakan perkawinan anak tidak hanya terjadi di keluarga miskin. Dalam keluarga kelas menegah dengan ekonomi yang lebih baik juga terjadi perkawinan dini. Sehingga selain menggunakan analisis struktural, ia juga menyarankan melihat relasi kuasa dalam keluarga.
“Kekerasan seksual bukan soal birahi tetapi relasi kuasa yang timpang. Misalnya, perkosaan itu dominasi ingin menunjukkan kuasa,” katanya.
Faharuddin, Kabid Statistik Sosial BPS Sulsel mengatakan, jurnalis juga bisa memanfaatkan data yang tersedia di BPS untuk melihat isu perkawinan anak. Beberapa data yang bisa dimanfaatkan seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional, Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, serta Survei Penduduk antar Sensus.
Lokakarya ini diikuti 17 jurnalis cetak, elektronik, dan online dari Sulawesi Selatan dan sekitarnya. (Debora Blandina Sinambela)