Beri Saiful Mahdi Amnesti

Kamis, 2 September 2021 sekitar Pukul 14.00 WIB, Dian Rubianty mengantar suaminya, Saiful Mahdi menuju Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Dalam sebuah mobil, Dian duduk pada baris kedua. Dihimpit Mahdi yang saat itu mengenakan kemeja batik dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia di sebelah kirinya. Dian mengatakan eksekusi putusan yang akan dijalani suaminya menjadi pukulan luar biasa berat bagi keluarga. “Tugas hari ini berat,” ujar Dian dalam konferensi pers daring yang digelar Change.org Indonesia melalui Zoom, Kamis, 2 September 2021.

Sejak surat pemanggilan dari Kejaksaan Negeri Banda Aceh tiba pada Senin lalu, 30 Agustus 2021, kata Dian, keluarganya tidak bisa tidak resah. Terlebih ibu Saiful yang sudah sepuh dan mengalami demensia. “Semoga beliau bisa tenang dengan doa-doa kita dan bisa tidur. Karena penderita demensia punya keterbatasan ingatan yang sangat kecil, yang hanya mengenal orang-orang tertentu,” ujarnya.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Banda Aceh memvonis Saiful Mahdi tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara setelah melalui 18 kali sidang sejak September 2019. Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh ini sempat menempuh upaya banding dan kasasi dalam perkara UU ITE, tetapi semuanya kandas. Pada 30 Agustus 2021 lalu, pihak Kejari Banda Aceh melayangkan surat panggilan terhadap Saiful. Dia diminta menghadap Jaksa pada Kamis, 2 September 2021 untuk dieksekusi ke Lapas 2 A Banda Aceh, Lambaro.

“Kita hari ini datang sebagai warga negara yang patuh hukum. Saya dan keluarga menerima dengan ikhlas. Kehadiran kita wujud patuh hukum. Tapi tentu saja perjuangan untuk keadilan tetap kita lanjutkan. Kita ikuti, tapi bukan berarti tunduk pada kezaliman,” ujar Saiful di depan kantor Kejari Banda Aceh.

Saiful Mahdi memberikan keterangan pers sebelum dieksekusi ke Lapas 2 A Banda Aceh, Lambaro.

Kasus Saiful bermula ketika Doktor lulusan Amerika Serikat ini menulis di grup Whatsapp terbatas bernama ‘Unsyiah Kita’ pada Maret 2019. Di sana ia mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala yang berlangsung pada 2018. “Innalillahiwainnailaihirajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup,” tulis Saiful saat itu.

Alih-alih memastikan tidak adanya proses penerimaan aparatur sipil negara yang dilanggar, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, Taufiq Saidi malah melaporkan Saiful ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Taufiq merasa dituduh melakukan korupsi dalam proses penerimaan CPNS. Padahal menurut Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul, frasa “dikorup” dalam pernyataan Saiful tidak berarti melakukan tindak pidana korupsi. “Korup yang dimaksud Saiful adalah sistem yang salah. Bukan korupsi. Namun fakultas teknik diwakili oleh dekannya menganggap itu menuduh dekan fakultas teknik melakukan korupsi,” jelas Syahrul yang turut mendampingi Saiful.

Baca juga: Pembungkaman Ekspresi di Ruang Akademik

Menurutnya, proses hukum yang dimulai Saiful tepat dua tahun lalu ini sarat dengan kejanggalan. Majelis hakim tingkat pertama sampai kasasi dianggap telah menutup mata terhadap bunyi Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang mana keputusannya mesti dikorelasikan dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP). “Hakim tidak masuk sama sekali ke situ,” kata dia. Padahal pasal pencemaran nama baik tidak dapat dituduhkan pada perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan umum dan tidak bisa dikenakan pada lembaga publik. “Yang dikritik adalah sistem CPNS, itu kan bersifat umum. Pasal ini tidak bisa dikenakan jika orang yang dituju itu lembaga publik, komunal, instansi, kelompok masyarakat. Dia harus tertuju pribadi. Dalam hal ini Mahdi tidak menyerang seseorang,” jelasnya.

Dalam eksaminasi terhadap putusan pengadilan yang digelar daring, Rabu, 1 September 2021, sejumlah pakar hukum dari berbagai universitas menilai putusan hakim terhadap Saiful merupakan preseden buruk bagi kebebasan dunia akademik. Dalam kasus ini, hukum dianggap telah diterjemahkan secara serampangan.

Herlambang P. Wiratraman dari Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang juga Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan hasil eksaminasi menunjukkan bahwa vonis terhadap Saiful tidak logis dan mengandung nalar hukum yang buruk. Preseden perkara pencemaran nama baik sebelumnya seperti kasus Prita Mulyasari pun tidak dipertimbangkan dalam putusan hakim. “Bahkan tidak sedikit yang mengatakan tidak logis, nalar hukum buruk. Bahkan tidak terhubung antara peristiwa yang dituduhkan dan jauh dari standar azas kepastian, kepemanfaatan dan keadilan hukum,” ungkapnya.

Selain itu, para hakim pun dinilai keliru karena tidak menggunakan ratifikasi aturan internasional tentang HAM dan kovenan hak sipil politik saat memutus perkara. Pengabaian lain ialah ketika hakim tidak menjadikan regulasi terbaru, yakni Surat Keputusan Bersama (SKB) Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tentang Penanganan Kasus UU ITE sebagai acuan. ”Sebanyak 15 orang anggota majelis eksaminasi putusan sepakat bahwa ini adalah putusan yang keliru. Bahkan, saksi ahli yang dihadirkan di persidangan yaitu Hendri Subiakto dari Kementerian Kominfo juga mengatakan bahwa itu adalah kebebasan akademik, bukan pencemaran nama baik. Tetapi, pendapat ahli tidak dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim,” terang Herlambang.

Oleh sebab itu, kejadian yang menimpa Saiful Mahdi, menurut Herlambang, merupakan pukulan berat bagi dunia akademis. Jerat UU ITE bisa menjerat siapa saja, tak terkecuali para akademisi. Ia berharap pemerintah segera menunjukkan komitmennya untuk menjaga iklim kebebasan di ruang akademik. Herlambang khawatir ruang akademik semakin memburuk seiring dengan lemahnya kebebasan sipil.

“Keliru besar memenjarakan kritik, termasuk memenjarakan Saiful Mahdi. Memenjarakan beliau itu sebetulnya akan melemahkan iklim kebebasan akademik dan otonomi kampus. Jelas kami di komunitas akademik punya prinsip. Ini melanggar prinsip ke-4, yakni insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik. Kritik adalah budaya akademik,” tegasnya.

 

Moratorium UU ITE

Koalisi masyarakat sipil meminta Presiden Jokowi mengabulkan permintaan amnesti atau peniadaan hukuman terhadap Saiful Mahdi. Sebelumnya, pada awal Agustus 2019, presiden pernah memberikan pengampunan serupa kepada korban UU ITE lain, yakni Baiq Nuril Maknun. Mantan pekerja honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat ini menerima amnesti setelah berjuang hampir lima tahun untuk lolos dari kriminalisasi saat hendak mencari bantuan atas pelecehan seksual. SAFEnet mencatat bahwa amnesti tersebut merupakan pengampunan pertama yang diberikan presiden kepada warga sipil yang bukan tahanan politik.

Konferensi Pers terkait amnesti untuk Saiful Mahdi, Kamis, 2 September 2021.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam konferensi pers, Kamis, 2 September 2021 menyatakan bahwa koalisi masyarakat sipil telah mengirimkan surat pengajuan permohonan amnesti kepada Presiden Jokowi melalui Kementerian Sekretariat Negara dan meminta penangguhan eksekusi kepada Kejaksaan Agung. Koalisi masyarakat sipil itu terdiri dari YLBHI, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Safenet, Change.org, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh dan Amnesty International. “Kemarin sudah dimasukan sebenarnya kepada Jaksa Agung upaya penangguhan eksekusi. Kami juga mengajukan amnesti kepada presiden hari ini di saat Pak Saiful dieksekusi. Jadi surat datang dari dua, baik dari pak Saiful dan juga penasihat hukum,” kata Isnur.

Baca juga: Akhir Sang Penyidik Sepulang dari Swedia

Sesuai aturan, presiden membutuhkan dukungan dari Kemensesneg dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memberikan amnesti kepada seseorang. Selain itu, pemberian amnesti juga membutuhkan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Ketika Pak Jokowi sudah membentuk SKB dan menyatakan setuju dengan problematika UU ITE, maka sangat layak, bahkan cenderung wajib bagi presiden mengabulkan amnesti. Jangan sampai korban sudah dieksekusi, baru besok dilepaskan,” ucapnya.

Menurut Isnur, Presiden Jokowi sudah saatnya menutup kesalahan yang diperbuat oleh aparatur hukum. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung dinilai tidak menggali rasa keadilan di tengah masyarakat, sehingga penting buat presiden untuk memoratorium penggunaan pasal karet UU ITE. Sebab selama pasal di UU ITE masih menjadi hukum positif, maka mudah bagi penguasa untul melakukan pembungkaman.

“Moratorium itu mulai dari penyidikan, penuntutan, sehingga pengadilan tidak bisa menyidangkan. Ketika eksekusi, di bawah Kejaksaan, Kejaksaan di bawah presiden. Kejaksaan punya wewenang untuk menunda dan lain-lain untuk keadilan di masyarakat. Hukum itu bukan untuk hukum itu sendiri, tapi untuk keadilan. Kalau hukum untuk hukum itu sendiri, dia akan buta dan menyasar siapa saja,” tegasnya.

Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto berharap presiden dapat menggunakan kewenangannya untuk mengoreksi putusan pengadilan. Menurut Damar, Saiful adalah korban dari peradilan yang tidak terbuka pada kebenaran dan kebebasan di ruang akademik. “Kita bisa mencoba dan berharap Presiden Jokowi melihat potret ketidakadilan yang terus terjadi. Waktu yang lalu sempat dikatakan kalau ada ketidakadilan, dia akan merevisi UU ITE, maka kita bisa menyaksikan kembali bahwa ketidakadilan terjadi lagi hari ini,” ungkap Damar.

Presiden Jokowi, kata Damar, harusnya lebih mudah memberikan amnesti kepada Saiful karena pernah meniadakan hukuman serupa kepada Baiq Nuril. “Kalau Ibu Baiq diberikan atas dasar perlindungan terhadap perempuan, maka sangat layak diberikan kepada Saiful sebagai akademisi,” tambahnya.

Harapan serupa dilontarkan Dian. Isteri Saiful ini berharap apa yang menimpa keluarganya kini tidak turut menjerat orang lain. “Cukup keluarganya Prita, Baiq Nuril, Arsyad, mas Damar. Hari ini keluarganya Saiful Mahdi. Cukup keluarga kami yang merasakan menjadi korban UU ITE. Semoga setelah ini tidak ada keluarga lain, anak-anak lain yang merasa ayah ibunya masuk jeruji cuma gegara pasal karet ini,” ungkapnya.

Dian menagih janji pemerintah yang sempat disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Mahfud MD. Mahfud sebelumnya meyakinkan bahwa penandatanganan surat keputusan bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE oleh Menkominfo Jhonny G. Plate, Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Kapolri Jendreal Pol Listyo Sigit Prabowo dapat memberikan keadilan dan perlindungan kepada masyarakat. “Pak Mahfud, Anda sudah berjanji SKB akan memperbaiki situasi. Hari ini saya tagih janji Pak Mahfud,” tegasnya.

Selama menjalani proses hukum, kata Dian, suaminya tidak pernah mendapat keadilan, termasuk ketika pemerintah menerbitkan SKB. “Sampai detik ini, apa yang dikatakan bang Saiful tidak pernah diperiksa. Negara tidak hadir untuk kita. Mohon kami tidak ditinggalkan dalam doa. Memilih jujur ada risikonya. Tapi Allah tidak tidur,” tutup Dian.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.