Ketua Wadah Pegawai (WP) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo Harahap tidak bisa menutupi kejengkelannya. Ia tak puas dengan proses penyaringan pimpinan lembaga antirasuah. Pasalnya, di antara sederet kandidat yang lolos penjaringan panitia seleksi (pansel), terdapat sejumlah nama yang dianggap berlawanan dengan visi-misi pemberantasan korupsi.
Pansel meloloskan mereka sekalipun masyarakat memberikan sederet catatan. Mulai dari rekam jejak buruk, pelanggaran etika pejabat, hingga tidak menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).
“Apa yang mereka (kandidat) sampaikan tidak sesuai dengan misi pemberantasan korupsi. Itu upaya melemahkan KPK,” tegas Yudi, Jumat, 30 Agustus 2019.
Salah satu kandidat yang paling banyak mendapat sorotan publik sepanjang proses seleksi ialah Firli Bahuri. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Selatan ini diduga melanggar Pasal 65 dan 66 Undang-Undang KPK. Pasal itu melarang pegawai mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindakpidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah.
Firli—yang ketika itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK—bertemu dengan Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, pihak yang sempat diduga terlibat korupsi dana divestasi Newmont Nusa Tenggara.
Nama Firli masuk dalam sepuluh nama yang disodorkan pansel kepada Joko Widodo untuk mengisi pucuk pimpinan KPK. Kandidat lain yang disodorkan pansel KPK ialah Alexander Marwata, I Nyoman Wara, Johanis Tanak, Lili Pintauli Siregar, Luthfi Jayadi, Nawawi Pamolanggo, Nurul Ghufron, Roby Arya Brata dan Sigit Danang Joyo.
Sepuluh kandidat pimpinan KPK ini sebelumnya melewati pelbagai tahap seleksi, mulai administrasi, uji kompetensi, psikotest, uji publik, hingga wawancara. Sesuai Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Presiden punya waktu paling lambat 14 hari kerja untuk mendalami sederet nama tersebut sebelum diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menjalani fit and proper test. Setelah menerima daftar nama capim KPK, Presiden Jokowi menyatakan tidak akan buru-buru menindaklanjuti usulan nama yang disodorkan pansel.
“Ini eranya keterbukaan. Jadi saya juga meminta masukan, baik dari masyarakat, tokoh-tokoh yang telah memberi masukan juga itu bisa dijadikan catatan dalam rangka mengkoreksi apa yang telah dikerjakan oleh Pansel,” ujar Jokowi di Istana Presiden Jakarta, 2 September 2019.
Presiden Berhak Coret Capim KPK
Petisi pencoretan calon pimpinan KPK bermasalah di laman change.org hingga hari ini, Selasa, 3 September 2019, sudah hampir ditandatangani 80 ribu orang. Puluhan ribu orang ini menginginkan agar Presiden Jokowi mencoret kandidat yang disinyalir tidak berintegritas.
Menurut Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Universitas Gajah Mada (UGM), Zaenur Rohman, sesuai dengan UU KPK, pansel capim KPK hanya diberi mandat untuk membantu presiden menyeleksi ratusan kandidat. Dengan begitu, peran Presiden tidak hanya sebatas menyerahkan hasil pansel KPK ke DPR, melainkan penentu layak tidaknya seseorang dicalonkan sebagai pimpinan lembaga antirasuah.
“Jika Presiden masih meloloskan calon bermasalah, artinya Presiden tidak punya komitmen pemberantasan korupsi,” tegas Zaenur kepada Jaring.id melalui pesan WhatsApp, Selasa, 3 September 2019.
Zaenur menambahkan, Presiden Jokowi punya tanggung jawab hukum untuk mengoreksi daftar nama yang diduga masih bermasalah. Selain Firli Bahuri, menurut Zaenur, sejumlah calon juga menujukan sikap yang kontraproduktif dengan isu pemberantasan korupsi.
Capim KPK, Roby Arya Brata sempat menyatakan tak akan mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan institusi Polri dan Kejaksaan. Hal itu dikatakan Asisten Deputi Bidang Ekonomi Makro, Penanaman Modal dan Badan Usaha pada Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet tersebut pada tahap uji publik, Kamis, 29 Agustus 2019.
“Ini berbahaya karena tidak sesuai dengan tujuan pembentukan KPK, yaitu sebagai trigger mechanism penegak hukum. Institusi penegak hukum harusnya dijadikan prioritas pencegahan dan penindakan KPK,” ungkapnya.
Sementara itu, menurut Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, salah satu tolok ukur yang bisa dijadikan acuan Presiden buat mengkurasi 10 kandidat capim KPK ialah dengan menengok rekam jejak para kandidat yang sudah disodorkan masyarakat sipil.
“Coret calon pimpinan KPK yang tidak melaporkan harta kekayaan (LHKPN), punya konflik kepentingan, diduga terlibat pelanggaran etik, serta mempunyai rekam jejak buruk di masa lalu,” ujar Asfinawati pada Jumat, 30 Agustus 2019.
Asfinawati tidak ingin proses seleksi pimpinan KPK yang bertujuan memperkuat lembaga tersebut malih rupa. Ia menilai modus pelemahan KPK saat ini berkembang tidak hanya melalui penyerangan fisik terhadap pegawai, penyidik maupun pimpinan KPK.
“Modusnya bukan lagi serangan frontal, tetapi lebih halus. Ada skenario menguasai KPK, yang menguasai kan orang yang menolak pemberantasan korupsi,” katanya.
Oleh sebab itu, koalisi kawal capim KPK yang diinisiasi, antara lain oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, Pusat Kajian Antikorupsi UGM dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama melayangkan surat kepada Presiden yang isinya terkait konflik kepentingan di tubuh pansel maupun calon pimpinan KPK. Bila surat tersebut tidak direspon, maka koalisi akan melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kalau isi UU yang kami tuangkan tidak dilakukan, kami akan melakukan gugatan, karena sudah cacat hukum,” tegas Asfinawati.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj juga mengingatkan agar Jokowi tidak salah pilih. Dia ingin, KPK ke depan tidak hanya menangkap koruptor kelas teri, tetapi juga kakap yang sudah membikin negara bangkrut.
“Jangan sampai Presiden salah pilih. Dampaknya negatif buat negara ke depan,” kata Said Aqil saat memberikan orasi di gedung KPK.
Hal yang sama diungkapkan pegawai KPK. Ketua WP KPK, Yudi Purnomo berharap Presiden turun tangan. Pasalnya ia sudah kadung pesimistis dengan kinerja pansel. Yudi menilai, pansel telah mengeyampingkan rekam jejak sejumlah kandidat yang diaspirasikan internal KPK. Dalam catatan itu, KPK membubuhkan huruf tebal bagi kandidat yang tidak patuh menyerahkan LHKPN, sedangkan calon yang terindikasi melakukan pelanggaran berat diberi tanda merah.
“Satu-satunya solusi kegaduhan KPK adalah dipilihnya langsung 10 capim yang tidak punya masalah oleh Jokowi,” ungkap Yudi.
Ketua Pansel Capim KPK, Yenti Ganarsih menampik tudingan tersebut. Menurutnya, proses seleksi sudah sesuai dengan amanat UU KPK. Selain masyarakat sipil, pihaknya sudah mempertimbangkan seluruh catatan, termasuk yang diberikan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung (MA). Dengan begitu, menurut Yenti, Presiden tidak mengoreksi daftar nama yang diserahkan pansel.
“Tidak ada istilah koreksi, (seleksi) sudah selesai,” kata Yenti di hadapan wartawan Kepresidenan Jakarta.