Warga Kelurahan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya, Jawa Timur membatasi akses keluar-masuk wilayah tersebut setelah sepuluh warga dinyatakan positif Covid-19. Gambar tempel di kendaraan pribadi menjadi menjadi penanda untuk mengontrol mobilisasi.
Kelurahan Pagesangan masuk sebagai salah satu Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo—gerakan masyarakat yang dicanangkan Walikota Surabaya, Tri Rismaharini pertengahan Juni lalu. Dari 350 kampung yang ditargetkan pemda, belum banyak warga yang menerapkan gerakan konkret untuk mengerem penyebaran virus corona. Sejumlah pemukiman warga yang menyematkan spanduk kampung tangguh pun justru tidak menerapkan protokol kesehatan.
Sekretaris Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo, Akhmad Agussairi menargetkan nol kasus di Pagesangan. Warga yang dinyatakan positif, menurutnya, mesti melakukan isolasi mandiri di rumah masing-masing. Selama menjalani karantina selama 14 hari, warga secara swadaya membantu menyediakan kebutuhan pokok.
“Di sini kan ada 6 rukun tetangga (RT). Dana yang terkumpul selanjutnya akan diatur untuk menyediakan makanan bagi warga yang tengah melakukan isolasi mandiri dan belum tercatat di dinas sosial. Kami kirim, satu kali dalam sehari,” jelas Agus.
Untuk memastikan setiap proses berjalan mulus, empat tim dibentuk. Masing-masing tim bertugas mengurusi kesehatan (Wani Sehat), kesejahteraan (Wani Sejahtera), sosialisasi (Wani Ngandani) dan penjagaan (Wani Jogo).
Epidemiolog Universitas Airlangga, Windhu Purnomo mengapresiasi keberadaan Kampung Tangguh. Namun, menurutnya, jauh lebih penting bila Surabaya menetapkan status pengendalian kesehatan. Pasalnya, setelah lepas dari masa transisi pada 21 Juni lalu, Surabaya tidak memiliki status yang dapat dijadikan alasan untuk mengendalikan pergerakan warga.
“Surabaya apakah masih transisi atau new normal (adaptasi kebiasaan baru -red)?,” tanya Windhu saat diwawancarai Jaring.id Senin, 29 Juni 2020.
Tarik Diri
Tiadanya status juga terjadi di Gresik dan Sidoarjo, dua daerah yang menyumbang angka kasus positif corona paling banyak di Jawa Timur. Padahal penentuan status ini, kata Windhu, penting dilakukan mengingat pertumbuhan kurva positif corona di Surabaya Raya makin meruncing. Hingga Kamis, 30 Juli 2020 kasus positif di Jatim sebanyak 21.484. Dari jumlah itu, 1.663 orang dinyatakan meninggal. Adapun di Surabaya jumlah pasien yang positif Covid-19 mencapai 8.420 orang.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo kompak tidak memperpanjang masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pelonggaran ini diklaim berguna untuk mendorong perekonomian masyarakat yang terpuruk selama masa pandemi.
Menurut Windhu, di masa penerapan PSBB pihaknya secara berkala memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah Surabaya Raya dan Malang Raya. Adapun untuk saat ini, para epidemiolog hanya memberikan gambaran di lapangan melalui hasil penelitian dan survei untuk menjadi bahan pertimbangan. “Soal keputusan, ada di tangan pemerintah kota/kabupaten dan provinsi,” ujar Ketua Departemen Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya ini.
Windhu menganggap pemerintah daerah tidak serius menjalankan seluruh rekomendasi yang diberikan. Walhasil, para akademisi kerap menjadi sasaran tembak dari tingginya kasus positif Covid-19 di Jatim dan berpengaruh buruk bagi perkembangan ilmu pengetahuan.”Saya ingin menyelamatkan tim akademisi, daripada menjadi bulan-bulanan karena rekomendasi yang diberikan,” ujarnya.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Bidang Humas Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Surabaya, M. Fikser menyebut bahwa keputusan untuk melaksanakan PSBB, transisi, maupun adaptasi kebiasaan baru melibatkan pelbagai pihak. Menurutnya, pemerintah kota selalu meminta pertimbangan para ahli dalam pengendalian kasus Covid-19. Di samping itu, pemkot juga akan mempertimbangkan aspek lain sebelum mengambil kebijakan, semisal pemberlakuan jam malam terhadap hampir seluruh jenis usaha.
“Sekarang harus ada perubahan perilaku, kehidupan yang baru. Protokol kesehatan harus tetap terdepan,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana menyatakan bahwa Kota Pahlawan tengah beradaptasi dengan kebiasaan baru. “Kita harus tetap memakai masa ini sebagai masa transisi. Artinya tidak dibakukan bahwa masa transisi 14 hari. Begitu PSBB dibuka pada 8 Juni, harusnya yang kita pahami adalah kita menuju masa transisi. Penerapan protokol kesehatan, harus tetap kita tegakkan, sekeras mungkin justru,” jelas pria yang juga menjabat Wakil Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Surabaya ini.
Pro Kontra Perwali
Selepas PSBB, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini meneken Peraturan Walikota Nomor 33 Tahun 2020 tentang Perubahan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Pada Kondisi Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada 13 Juli. Berbeda dengan aturan sebelumnya, ia mewajibkan masyarakat di luar Surabaya Raya untuk membawa surat hasil uji cepat atau swab test bila hendak masuk ke Kota Pahlawan. Perwali ini aktif sejak 13 Juli 2020.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Surabaya, Eddy Christijanto menyatakan bahwa perwali tidak berlaku bagi warga yang tinggal di daerah “komuter” dan “anglomerasi” atau wilayah yang satu kesatuan dengan Surabaya yakni Kabupaten Lamongan, Pasuruan, Mojokerto, Gresik, dan Sidoarjo. Untuk mengendalikan keramaian, lanjutnya, Satpol PP akan menyasar tempat keramaian seperti warung makan, warung kopi, serta tempat rekreasi hiburan umum (RHU).
“Ada banyak tempat yang kami razia jam malam, hasilnya ditemukan banyak pelanggaran. Untuk RHU yang melanggar kami akan evaluasi ijin operasional mereka,” tegasnya.
Wakil Wali Kota Surabya, Whisnu Sakti Buana mengingatkan agar pelaku usaha mematuhi protokol kesehatan. Menurutnya, roda ekonomi di Kota Surabaya mesti berjalan meski perlahan. Meski demikian, sejumlah sektor usaha seperti pusat perbelanjaan dan restoran, belum dapat melapak.
“Pergerakan ekonomi juga tidak boleh serta merta dibuka secara luas. Pergerakan masyarakat juga tetap harus dibatasi, sambil kita menuju ke new normal,” ujarnya, Kamis, 29 Juni 2020.
Wakil Ketua, bidang Litbang dan IT Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur, Agoes Tinus Lis Indrianto memahami apa yang dikhawatirkan pemerintah. Sejumlah hotel dan restauran di bawah PHRI pun belum dapat memenuhi standard minimal protokol kesehatan. “Selama ini yang sudah siap adalah hotel tertentu, terutama yang bintang 4 ke atas,” katanya.
Itu sebab, Agoes berharap pemerintah memberikan stimulus kepada pengusaha restoran maupun hotel agar dapat membangun kembali kepercayaan masyarakat. Saat ini tingkat hunian hotel hanya mencapai 20 hingga 30 persen dari kapasitas kamar yang tersedia.
Epidemiolog Unair Windhu Purnomo mengingatkan agar pemerintah daerah berhati-hati sebelum membuka keran ekonomi warga. Pasalnya, Perwali Surabaya Nomor 33/2020 masih rapuh untuk menjadi benteng terhadap penularan virus corona. Alih-alih menyediakan instrumen hukum yang kuat, Bab XI Pasal 34 hanya mengatur soal sanksi administratif terhadap pelanggar.
Berdasarkan beleid tersebut, sanksi bagi pelanggar hanya berupa teguran lisan atau tertulis, penyitaan kartu tanda penduduk (KTP), maupun pencabutan izin. Menurut Windhu, sanksi yang terkandung dalam peraturan wali kota harusnya lebih berat mengingat minimnya tingkat kedisiplinan warga. “Seharusnya sanksi denda bisa diterapkan, meski nantinya besarannya tidak sama. Sanksi semacam itu di negara lain bisa memberikan efek jera,” ujar Windhu.
Wakil Ketua Bidang Humas Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Kota Surabaya, M. Fikser menyatakan bahwa Perwali Nomor 33 dimaksudkan untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Sebab itu, Wali Kota Tri Risma tidak hanya mencantumkan sanksi administratif. Sementara itu, sanksi denda tidak dipilih lantaran mempertimbangkan faktor ekonomi.
“Kami sudah menerapkan sanksi sosial seperti membantu petugas memberikan makanan kepada orang yang tinggal di Liponsos, pengambilan KTP, dan yang terberat adalah pencabutan ijin usaha bagi perusahaan yang terbukti melanggar protokol kesehatan,” terang Fikser.
“Pencabutan ijin usaha, harus mendapat rekomendasi dari Satpol PP karena merekalah petugas penegak perwali dan perda. Saat ini, tim Satpol PP juga terus melakukan pemantauan terhadap perusahaan-perusahaan di Surabaya,” imbuhnya.
Tak Taat Protokol
Sebelumnya, Windhu dan tim survei Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya menemukan fakta bahwa sebagian besar warga tidak taat pada protokol kesehatan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu sebab munculnya klaster baru dan mengerek jumlah kasus positif di Surabaya. Berdasarkan temuan survei tersebut didapati fakta bahwa masih banyak pasar tradisional maupun warung yang tidak menerapkan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker dan menjaga jarak lebih dari 1 meter.
Survei sendiri dilakukan dalam dua tahap, yakni pada 4-8 Mei 2020 dan 19-23 Mei 2020. Metode pengumpulan data dilakukan secara daring terhadap warga yang berdomisili di Jatim. Uji statistik tahap akhir dilakukan dengan menggunakan rumus Chi Square Correction.
Pada tahap pertama, survei itu diikuti 2.834 responden dari 38 kabupaten/kota di Jatim. Dengan dominasi warga dari Surabaya Raya (56,6 persen). Hasil survei menunjukan bahwa sebanyak 12,8 persen sekolah, kampus, dan tempat kursus tetap beroperasi selama masa pandemi. Sementara itu, 84,6 persen masyarakat yang berkegiatan di dalamnya tak mengenakan masker dan 90,6 tidak menjaga jarak aman.
Kondisi yang kurang-lebih sama terjadi di warung maupun kafe. Bahkan menurut Windhu, hasil survei tahap kedua yang diikuti 3.407 responden di 38 kabupaten/kota di Jatim tidak jauh berbeda. Masyarakat dianggap belum disiplin menerapkan pembatasan sosial. Hal ini tercermin dari jumlah kasus positif yang saat ini tercatat paling tinggi se-Indonesia.
“Surabaya kini adalah kota yang memiliki attack rate tertinggi di Indonesia. Nilainya sekitar 150 per 100.000 penduduk. Attack rate ini meningkat sebesar 75% ketika masa transisi dan PSBB sudah tidak diberlakukan lagi di Surabaya. Tentu, tingginya risiko terinfeksi ini menjadi faktor utama Jawa Timur menjadi episentrum Covid-19 di Indonesia,” jelas Windhu.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Advokasi PSBB & Surveilans Covid-19 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga itu mengungkapkan bahwa salah satu faktor tingginya risiko terinfeksi di Surabaya disebabkan oleh tingkat kepadatan penduduk yang mencapai angka 8.600 orang per kilometer persegi.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Untuk bisa menekan persebaran Covid-19 di Surabaya Raya dan Jawa Timur, Windhu menganjurkan agar pemerintah daerah memberlakukan sanksi tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan serta melakukan penapisan secara massif. Selain itu, ia berharap pemerintah membuat payung hukum untuk meningkatkan kapasitas rumah sakit. Menurut Windhu, dalam sehari rapid test yang dilakukan di Jatim tergolong baik, yakni mencapai 4500 kali.
“Meskipun belum sesuai standar WHO, namun apa yang dilakukan pemerintah sudah cukup baik,” ujarnya.
Pemeriksaan massal, lanjutnya, seharusnya 1000 orang per 1 juta penduduk. Dengan total penduduk di Jawa Timur sebanyak 40.821 juta jiwa, pemerintah daerah mesti mengusahakan penapisan sebanyak 40 ribu kali dalam sehari. Terpenting, menurutnya, pemda bertolok pada hasil riset terkait epidemologi, sistem kesehatan, dan protokol kesehatan sebelum membikin kebijakan.
Windhu pun menyarankan agar pemerintah kota menyediakan satu rumah sakit khusus Covid-19. Hal ini penting untuk mempermudah proses penindakan medis. “Surabaya kan memiliki dua rumah sakit, yakni RS. Soewandhi dan RS. Bhakti Dharma Husada. Itu bisa dipilih salah satu, mana yang harus menjadi rumah sakit khusus Covid-19,” katanya.
Cara lain yang harus dipertimbangkan pemerintah adalah kembali membatasi aktivitas masyarakat melalui kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), baik terhadap provinsi atau Pulau Jawa. Langkah ini dinilai tepat untuk membatasi pergerakan masyarakat dari zona merah ke zona hijau.
“Selama ini wilayah yang hijau kembali kuning karena memang ada pergerakan dari zona merah ke wilayah tersebut. Harusnya ini yang tidak boleh,” tegas Windhu.
Bila hal itu dilakukan, maka perintah Presiden Joko Widodo pada Kamis, 25 Juni lalu bisa tercapai. Sebelumnya, Jokowi memerintah agar seluruh elemen bekerjasama mengendalikan penyebaran virus corona dengan cara melakukan tes massif, pelacakan secara agresif, perawatan, dan isolasi mandiri terhadap pasien tanpa keluhan. “Saya menilai pesan Presiden adalah untuk pengendalian, bukan penurunan angka. Sebab kalau penurunan, tidak usah rapid test, tidak akan ditemukan kasus baru,” terangnya.
Wakil Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana optimis dapat mencapai target yang sudah diberikan oleh Presiden Jokowi. Pemkot, menurutnya, akan mengoptimalkan peran Kampung Tangguh. Pihaknya juga tidak menutup kemungkinan bila harus menerapkan kembali PSBB.
Sementara Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menyatakan akan berupaya maksimal menekan angka penularan Covid-19 di tiga zona merah, yakni Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kota Pasuruan. Di samping melibatkan seluruh elemen di masyarakat, menurutnya, seluruh kebijakan Pemprov Jatim mengacu pada data dan fakta di lapangan.
“Termasuk di level pemerintahan itu sendiri. Dari pusat, hingga ke level provinsi dan berlanjut ke kabupaten/kota hingga desa harus linier. Tidak bisa beda-beda dan sendiri-sendiri,” tegasnya.
Saat ini, Pemprov Jatim membuat lantatur untuk pemeriksaan Covid-19 bagi pengguna jalan di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya. Mereka juga menyiapkan fasilitas cuci tangan di sekitar daerah tersebut.