Antara Bukti Konservasi dan Batas di Atas Kertas

Hutan Adat Marena. Foto: Debora/Jaring

Marena menjaga kawasan hutan sesuai dengan aturan adat. Namun, tak seluruh kawasan mendapat pengakuan. Pemerintah masih enggan memberikan status Hutan Adat di sebagian kawasan Taman Nasional Lore Lindu.

Pohon beragam jenis sebesar pelukan orang dewasa berdiri tegak. Berselang-seling dengan rotan, dari yang berduri lebat hingga yang panjang melilit. Jalan setapak di hutan adat yang beririsan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) tersamarkan daun kering hingga ilalang yang tingginya mencapai dua meter. Wajar saja, kawasan tersebut jarang dimasuki orang.

“Hutan kita di sini kan sering orang hilang, sering orang cilaka (celaka). Jadi kalau ada orang dari jauh, dari luar harus ada pengantarnya,” ujar Gaspar Lanjtia, Ketua Lembaga Adat Marena saat ditemui di Desa Marena April lalu.

Gaspar mengatakan sudah sejak dahulu hutan adat tidak boleh dimasuki sembarangan. Aktivitas apapun di dalam hutan harus seizin lembaga adat. Mereka yang melanggar bakal dikenai sanksi.

“Dari dulu orang tua kami punya prinsip: kahua-hua katogo-togo ka’ala-ala. Artinya sembarang masuk, sembarang menebang dan sembarang ambil saja hasil hutan tanpa pamit, berat sanksinya di sini,” kata Gaspar.

Kepala Adat Marena Gaspar Lantjia menjelaskan zona hutan adat mereka. Foto: Silvano/CNN Indonesia

Orang tua yang dimaksud Gaspar adalah nenek moyang mereka dari masyarakat adat To Kulawi. Sekitar tahun 1930an, sub etnis Moma Kulawi membuka Marena untuk lahan penggembalaan kerbau. Lama-kelamaan, mereka beranak-pinak hingga membentuk permukiman dan perladangan.

Namun, usaha mereka mencukupi sandang dan papan yang terus bertambah punya aturan tertentu. Warga Marena terikat dengan nilai Katuwua yang mengatur hubungan manusia dengan alam.

Salah satu aturan yang masih dipegang teguh hingga kini adalah larangan membuka wilayah berstatus Taolo. Ciri kawasan ini adalah kemiringan tanah yang cenderung curam.

Alih-alih menjadikannya landai, warga Marena berpantang diri mengusik Taolo. Mereka tahu kalau alam punya logikanya sendiri.

“Hutan yang dibuka untuk kebun itu dari dulu tidak pernah longsor, erosi atau apa, karena memang ada (kawasan) yang tidak boleh diolah,” terang Gaspar.

Keberadaan hewan langka juga dipertimbangkan. Seturut gagasan konservasi yang berusaha menjaga keanekaragaman hayati, mereka membatasi aktivitas di wilayah berstatus Wana Ngkiki yang menjadi habitat hewan langka. Kawasan ini tidak boleh dimasuki dan mengambil apapun di kawasan ini dilarang keras.

Berbagai larangan yang diterapkan tak membuat warga Marena kehilangan mata pencaharian. Di wilayah Wana mereka tetap bisa mengambil pandan, rotan, dan kayu. Hasil hutan tersebut kemudian digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperi membuat ayaman, alat rumah tangga dan rumah mereka.

Dulunya, nenek moyang mereka turut menggunakan kawasan tersebut berburu hewan seperti Anoa untuk memenuhi kebutuhan makanan. Kini, aktivitas perburuan hewan sudah tidak diijinkan karena jumlahnya semakin sedikit.

Kearifan lain dalam menjaga hutan juga muncul dalam sistem perladangan. Masyarakat Marena menerapkan sistem perladangan rotasi di kawasan berstatus Oma. Mereka menanam berbagai tanaman jangka pendek seperti padi dan sayuran.

Ketika hasil panen di Oma mulai menurun, wilayah tersebut akan ditinggalkan sehingga menyandang status Pangale.  Larangan berladang ditetapkan di Pangale setidaknya selama lima sampai sepuluh tahun, jangka waktu yang dianggap warga Marena bisa mengembalikan kesuburan tanah.

Tanaman utama di Marena adalah kakao atau coklat. Foto: Debora/Jaring

Seperlunya

Untuk memastikan aturan pemanfaatan hutan ditaati, lembaga adat membentuk Tondo (penjaga) yang secara berkala memantau hutan. Lima belas orang pelanggar aturan penebangan pohon dan pemburu liar telah dibawa ke peradilan adat sejak 2004. Mereka dikenai sanksi denda dan ada yang dierahkan ke pihak kepolisian.

Tak sembarang pohon bisa ditebang oleh masyarakat Marena. Hanya yang berdiameter minimal 50 cm bisa dibalak dan dimanfaatkan kayunya untuk membangun fasilitas umum dan rumah penduduk.

Ketika kebutuhan sudah terpenuhi, pembalakan dihentikan. Belakangan, aturan serupa mulai digunakan untuk pengambilan rotan. Lembaga adat menerapkan Ombo yang  melarang pengambilan rotan selama lima tahun, kecuali untuk keperluan sehari-hari. Aturan tersebut diterapkan agar rotan tidak punah.

Penerapan Ombo dinikmati warga Marena di kemudian hari. Mereka bisa mendapatkan satu ton rotan berdiamater 5 cm dengan panjang mencapai 30 meter. Setiap satu kilo yang dijual, lembaga adat menarik restribusi Rp200 untuk mengisi kas adat.

“Sebelum menerapkan pelarangan-pelarangan hukum, kita sudah pikirkan bahwa itu akan menjadi keberhasilan kita sendiri. Bukan mempersulit,” kata Gaspar.

Aturan adat yang diterapkan Marena terbukti ampuh menjaga hutan adat dari kerusakan. Dosen Kehutanan Universitas Tandaluko Dr Golar menyebut warga Marena hampir tidak pernah melakukan pelanggaran di hutan adat yang berada di Taman Nasional Lore Lindu.

Praktik adat di hutan Marena mencerminkan pemahaman masyarakat terhadap kerentanan ekologi. Golar mengatakan hal tersebut juga dipraktikkan komunitas adat Toro yang masih satu garis keturunan dengan masyarakat Kulawi di Marena.

“Marena mengembangkan komunitas adatnya belakangan dari Toro, tetapi menurut saya Marena lebih maju kelembagaaan adat dan pengelolaan sumber daya alamnya,” kata Golar.

Salah seorang masyarakat Marena mempraktikkan cara mengambil rotan. Sejak dulu, mereka sudah terbiasa mengambil rotan di hutan. Foto: Debora/Jaring

Ganjalan

Meskipun aturan adat Marena terbukti ampuh dalam menjaga hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih ragu memberikan status hutan adat yang beririsan dengan TNLL.

Dari wilayah seluas 1.488 hektar yang diajukan masyarakat Marena untuk mendapatkan status sebagai Hutan Adat, baru sebagian yang dikabulkan pemerintah. Wilayah seluas 732.10 hektar yang berada di timur taman nasional masih ragu dilepas. Ketidakjelasan batas dan penanda hutan adat di kawasan tersebut menjadi pengganjal.

“Batasnya kemarin waktu dilihat peta ini tidak beraturan. Peta partisipatifnya kita bingung petanya atas dasar apa. Nggak ada batas alam, tidak ada batas pohon”, kata Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal Yuli Prasetyo Nugroho di Gedung Manggala Wanabakti, saat ditemui Akhir April lalu.

Prasetyo menambahkan belum adanya zonasi TNLL menjadi kendala lainnya. Apabila kawasan hutan adat masuk zona inti, maka status kawasan tersebut harus diubah menjadi zona pemanfaatan tradisional terlebih dahulu sebelum diserahkan pada warga Marena.

“Tapi zona tradisional sebatas apa pasti teman-teman KSDAE (Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem-red) punya hitungan. Sampai hari ini memang belum ada zona pemanfaatan tradisional. Baru akan mau,” katanya.

Senada, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Tengah Nahardi menilai langkah pemerintah sebagai bentuk kehati-hatian dalam melepas kawasan konservasi. Pelepasan kawasan konservasi, menurutnya, perlu menunggu revisi Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Konservasi dan Sumber Daya Alam.

“Bukan kita tidak percaya masyarakat adat, tapi kata pak Dirjen perlu dilakukan secara bertahap,” kata Nahardi ditemui di Kantor Kehutanan dan Lingkungan Palu.

Peta wilayah adat Marena yang sudah disahkan Bupati Sigi. Sumber: Lembaga Adat Marena

Verifikasi Ulang

Prasetyo mengusulkan verifikasi ulang untuk mewujudkan keinginan masyarakat Marena mendapat hutan adat di sebagian wilayah TNLL. Mereka harus menyajikan bukti untuk memperkuat klaim bahwa daerah tersebut masuk dalam wilayah hutan adat.

”Kalau bukti-buktinya cukup kuat, KSDAE juga saya kira bisa diajak bicara,” katanya.

Alternatifnya, masyarakat Marena bisa menunggu penetapan zonasi TNLL. Apabila kawasan yang diajukan masuk zona pemanfaatan tradisonal, peluang bekerjasama dengan taman nasional bakal terbuka.

Hutan Adat Marena yang berada di Kawasan Taman nasional Lore Lindu. Foto: Debora/Jaring

Peneliti Hutan Adat Eko Cahyono juga mengusulkan dilakukannya verifikasi ulang. Ia menilai Alasan KLHK tidak mengakui Hutan Adat Marena masih bisa diperdebatkan karena kesalahan verifikasi terletak pada pemerintah, bukan masyarakat.

Standar pengakuan Marena tidak bisa disamakan dengan masyarakat adat lainnya. Asal-usul Marena yang merupakan bagian dari masyarakat adat Kulawi harus dipertimbangkan. Dengan demikian, penataan alam Marena berdasarkan ruang adat tidak bisa diragukan.

“Apa pembuktiannya? (kawasan) dijaga secara adat, tidak ditebang, tidak dikomersilkan,” kata Eko.

Usaha masyarakat Marena mendapatkan kembali hutannya yang beririsan dengan TNLL bukan semata dilandasi faktor ekonomi. Penetapan wilayah tersebut sebagai hutan adat bakal memberi kepastian hukum bagi pengelolaan berbasis hukum adat yang turut mempraktikkan konservasi ekologi.

Selain itu, Putusan MK 35 bukan hanya mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, tetapi juga koreksi bagi negara yang selama ini salah mengurus masyarakat adat.

“Jadi, (pemerintah) jangan cari-cari kesalahan (masyarakat adat) sekarang. Ditimpakan ke masyarakat adat harus membuktikan (klaim) dulu,” katanya.

Masyarakat Marena membuat batas dengan menetapkan beragam status wilayah agar hutan bisa dimanfaatkan sembari dijaga kelestariannya. Sementara itu, pemerintah bersikukuh dengan batas di atas kertas. (Debora Blandina Sinambela)

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.