Agar Rokok Tak Lagi Murah

Konsumsi rokok di tengah masyarakat tak banyak berubah meski sedang dalam kondisi kesulitan ekonomi akibat pandemi. Penelitian terbaru Centre for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) yang melibatkan 1.082 responden menunjukkan 29 persen orang mengaku tetap merokok setelah 10 bulan melewati masa pandemi. CISDI memasukkan kelompok ini sebagai persistent current smoker atau perokok aktif persisten. Angka ini jauh lebih besar ketimbang perokok yang berhenti merokok selama pandemi, yaitu sekitar 4,3 persen. Sementara jumlah perokok baru mencapai 0,5 persen.

Sebanyak 40 persen perokok aktif persisten dalam survei ini mengalami pengurangan waktu kerja dan 77 persen lainnya mengalami kesulitan finansial. Meski begitu, menurut Manager Program Tobacco Control CISDI, Lara Rizka mayoritas perokok persisten tidak mengurangi jumlah rokok dan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok.  Selain karena kecanduan nikotin, harga rokok yang masih terjangkau dinilai menjadi sebab tidak berkurangnya jumlah perokok selama pandemi. Temuan CISDI menunjukkan seperempat dari perokok persisten memilih beralih ke rokok yang harganya lebih murah. “Orang-orang yang tidak mampu membeli rokok yang biasa dibeli ketika adanya tekanan ekonomi akibat pandemi, masih mampu beralih ke rokok yang lebih murah,” kata Lara ketika diwawancara pada Kamis, 2 September 2021.

Pasar rokok, menurut Lara, menyediakan pelbagai jenis rokok dengan harga yang bervariasi. Bahkan untuk menekan harga rokok, produsen rokok kretek acapkali mengurangi jumlah batang rokok per kemasan hingga hanya 6 – 20 batang per bungkus. Lara mengatakan bahwa hal ini merupakan akibat dari tidak adanya standardisasi jumlah untuk rokok jenis kretek seperti rokok putih. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, jumlah rokok putih tiap kemasan diatur 20 batang.

Selain itu, Lara juga menyoroti keputusan pemerintah yang tidak menaikkan harga jual eceran (HJE) dalam penaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen tahun depan. Sebelumnya Permenkeu Nomor 198 PMK.010.2020 mengatur HJE per batang Sigaret Kretek Mesin antara Rp 1,020 – Rp 1,700, Sigaret Putih Mesin Rp 1,050 –  Rp 1,790, dan Sigaret Putih/Kretek Tangan Rp 450 – Rp 1,015. Kata Lara, Kemenkeu masih mengizinkan harga jual rokok batangan di bawah HJE atau 85 persen dari HJE. “Terlalu banyak instrument yang membuat harga rokok terjangkau,” katanya.

Oleh sebab itu, Dewan Pembina Komnas Pengendalian Tembakau, Faisal Basri mendesak pemerintah untuk segera mempersempit ruang bagi produsen untuk menciptakan variasi harga. Ia menilai pemerintah perlu membuat standardisasi penjualan rokok per kemasan seperti halnya penjualan air mineral. “Beberapa merek rokok kretek masuk dengan jumlah batang lebih sedikit sehingga seolah-olah tampak lebih murah, sudah itu pun masih bisa diketeng,” ujarnya dalam workshop virtual berjudul Kenaikan Cukai Rokok: Antara Pembatasan Dampak Negatif dan Pemasukan Negara, Kamis, 4 September 2020.

Faisal meyakinkan bahwa langkah menaikkan harga rokok eceran akan dapat mengendalikan konsumsi rokok kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Data kemiskinan pada 2020 menunjukkan bahwa pengeluaran rokok kretek memengaruhi tingkat kemiskinan. Pengeluaran untuk rokok hanya kalah dengan belanja beras. Karena itu ia mendorong agar pemerintah konsisten menaikkan harga eceran rokok untuk mengendalikan konsumsi kelompok masyarakat miskin dan juga perokok anak.

Pasalnya perokok anak cenderung memilih rokok murah, sehingga hal itu memicu peningkatan prevalensi perokok anak. Meskipun produksi rokok menunjukkan penurunan setiap tahunnnya, prevalensi perokok anak terus meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018 menyebutkan prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. Perkiraan Bappenas, prevalensi anak merokok akan naik dari 9,1 di 2018 menjadi 16% di tahun 2030 jika tak ada upaya pengendalian yang sistematis.

Faisal Basri dalam webinar terkait kenaikan cukai rokok

Menanggapi penaikan tarif cukai rokok, Faisal menyarankan agar kebijakan tersebut dibarengi dengan kenaikan harga jual. Pada 2020 pemerintah menaikkan cukai rokok hingga 23 persen dan 2022 sebesar 12,5 persen. Namun kenaikan cukai belum berdampak terhadap pengendalian konsumsi karena harga rokok di pasar masih murah. Padahal tujuan pengendalian akan berjalan jika pemerintah menaikkan harga rokok eceran dan cukai. “Penarikan cukai dibuat untuk mengendalikan, bukan untuk optimalisasi penerimaan negara,” kata Faisal.

Kasubdit Advokasi dan Kemitraan, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Sakri Sabatmaja mengakui bahwa rendahnya harga rokok menjadi salah satu kendala pemerintah mengatasi tingginya prevalensi perokok. Untuk itu dalam dokumen revisi PP 109 Kemenkes mengusulkan beberapa aturan yang membatasi konsumsi. Salah satunya melarang penjualan rokok ketengan. Jika revisi ini disetujui, Ia berharap kementerian terkait mengikuti kebijakan tersebut. Namun jika revisi PP 109 gagal disetujui pemerintah, Kemenkes akan tetap mengusulkan revisi lewat program legislasi nasional. “Kalau Kementerian Keuangan menaikkan harga rokok, maka harus ada harga dasar minimal sebab masih ada peluang perusahaan mengakali harga lewat produksi,” ujarnya pada Jumat, 3 Agustus 2021.

Sementara itu, Kasubdit Tarif dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai, Akbar Harfianto menyatakan pihaknya sudah menetapkan harga jual eceran rokok yang lebih tinggi dari harga pasar. Tingginya harga HJE tersebut dikarenakan kenaikan cukai yang signifikan. Pada 2020, kenaikan HJE mencapai 35 persen dari HJE sebelumnya. Sementara pada 2021, pemerintah tidak menaikkan HJE rokok. “Kecenderungannya harga bandrol (HJE) memang lebih tinggi dari harga transaksi pasar,” katanya.

Kasubdit Tarif dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai, Akbar Harfianto

Untuk tahun 2022, Akbar mengatakan pemerintah masih membahas besaran kenaikan tarif cukai rokok. Akbar mengatakan untuk menentukan tarif cukai, pemerintah harus mempertimbangkan banyak hal. Undang-Undang 39 Tahun 2007 tentang cukai mengatur fungsi untuk  pengendalian dan penerimaan negara. Sehingga penetuan kebijakan harus mempertimbangkan beberapa hal seperti pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, kebelangsungan tenaga kerja dan peredaran rokok ilegal. Dengan tarik-menarik empat kepentingan tersebut, Akbar menilai posisi pemerintah harus netral. “Netral dalam artian harus memperhatikan empat hal ini, meskipun fokus utama cukai itu adalah pengendalian,” ujarnya.

Keputusan terkait tarif cukai ini akan diumumkan pada November 2021. Kenaikan cukai sejalan dengan rencana pemerintah yang menargetkan penghasilan cukai pada 2022 mencapai Rp 203,9 triliun. Rancangan nilai penerimaan tersebut tumbuh 13 persen dibanding pada 2021. Penerimaan cukai oleh pemerintah sepanjang 2021 mencapai 179,8 Triliun. Dari jumlah tersebut, 96 persen merupakan hasil cukai produk tembakau.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.