Penggusuran di Jakarta selalu memantik polemik karena tujuan maupun prosedur yang dijalankan Pemerintah DKI Jakarta dianggap pihak korban tidak sesuai standar hak asasi manusia. Laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang berjudul Atas Nama Pembangunan, misalnya, mengungkapkan bahwa dari total 113 kasus penggusuran sepanjang tahun lalu, 18 kasus diputuskan melalui musyawarah sementara 95 kasus lainnya dilakukan sepihak.

“Persoalannya di Indonesia tidak ada regulasi yang tegas tentang bagaimana sepatutnya melakukan penggusuran di kawasan pemukiman yang informal,” terang pengacara publik LBH Jakarta Alldo Fellix Januardy.

Karena tak adanya aturan jelas, lanjut Alldo, penggusuran di Jakarta kerap dilakukan dengan mengerahkan alat-alat berat dan melibatkan tentara serta polisi.

“Itu tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai tugas pokok dan fungsi tentara dan polisi,” katanya.

Menanggapi laporan LBH Jakarta, Kepala Dinas Tata Air DKI Jakarta Teguh Hendarwan menyatakan pemerintah telah menempuh semua tahapan sebelum mengeksekusi. “Saya rasa tidak mungkin ada (warga) yang bilang ‘kita tidak diberitahu’. Pemerintah tidak akan gegabah karena sudah ada SOP. Ada tahap inventarisasi, sosialisasi, dan pelaksanaan,” kata Teguh saat ditemui di kantornya.

Aturan Baru
September lalu, LBH Jakarta menggugat 4 pasal dalam Perpu Nomor 51 Tahun 1960 mengenai Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya ke Mahkamah Konstitusi. LBH Jakarta menilai aturan ini memberi wewenang ke pemerintah untuk bertindak diskriminatif terhadap warga saat melakukan penggusuran. Alldo mencontohkan tindakan diskriminatif itu seperti klaim sepihak tanpa perlu menunjukkan sertifikat, proses musyawarah, penggunaan kekerasan, dan pengerahan tentara saat menggusur.

Selain itu, aturan ini juga dianggap sudah tidak relevan lantaran lahir ketika Indonesia dalam kondisi darurat. “Ini bisa jadi titik balik mendorong pemerintah melahirkan regulasi baru yang manusiawi dan sesuai dengan standar HAM terkait penggusuran.”

Menurut Alldo, ada rujukan internasional yang bisa diadopsi pemerintah sebagai panduan dalam melakukan penggusuran yang sesuai prosedur hak azasi manusia seperti tertuang dalam Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya serta dalam Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997.

Dalam Pasal 14 dikatakan, misalnya, sebelum dilakukan penggusuran, harus didiskusikan segala alternatif penyelesaian dalam musyawarah antara warga terdampak dengan pelaku penggusuran. Namun, jika penggusuran tak bisa dihindari, pemerintah wajib memastikan ada solusi yang cocok bagi warga terdampak.

Sementara dokumen PBB berjudul Basic Principles and Guidelines on Development Based: Eviction and Displacement menyatakan: penggusuran tak boleh melanggar hak azasi manusia dan mencederai harga diri warga terdampak. Ketika proses penggusuran dilakukan, aparat pemerintah atau perwakilannya harus hadir di lokasi dan diketahui oleh warga terdampak.

Hal teknis juga ada dalam aturan itu. Dikatakan, umpamanya, penggusuran tidak boleh dilakukan pada saat cuaca buruk, malam hari, hari libur keagamaan, sebelum pemilihan umum, dan menjelang atau saat pelaksanaan ujian sekolah.

Cerita Lama dari Jakarta

Penduduk Jakarta terus bertambah secara eksplosif. Di tahun 1900, saat namanya masih Batavia, populasinya baru 150.000 jiwa. Penguasa Hindia-Belanda membangun sarana dan prasarana kota sesuai

Onggokan Nestapa di Rumah Susun

Sekitar 100 meter sebelum sampai ke pintu gerbang, jalan menuju rusun masih tanah kuning berbatu dan sedikit bergelombang. Debu akan beterbangan setiap kendaraan melintas. Berbeda

Gaya Hidup pun Berubah di Rusun

Menempati ruang berukuran 4×6 meter di rusun, Saodah merasa hidupnya tidak senyaman seperti di rumahnya yang dulu. Selain karena alasan ekonomi, kegiatan sehari-harinya menjadi terbatas.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.