Aditya Perdana: Pengamanan Pemilu 2019 Terkendali Dengan Catatan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI telah menetapkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai pemenang pemilu 2019. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sempat tak mengakuinya. Hal tersebut berlanjut dengan demonstrasi di depan Gedung Bawaslu pada 21-22 Mei 2019. Demonstrasi yang semula berjalan damai berubah rusuh.

Jaring.id mewawancarai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) Universitas Indonesia, Aditya Perdana mengenai pengamanan pemilu secara keseluruhan. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana anda melihat pengamanan pemilu 2019  secara keseluruhan?

Dari sisi keamanan relatif terkendali. Yang menjadi catatan penting itu ketika penetapan suara. Orang punya spekulasi macam-macam, polisi dan tentara dianggap berpihak dan tidak netral dalam pengamanan.

Kejadian di Bawaslu itu menjadi trigger. Apakah polisi netral dan profesional dalam tugas dan fungsinya atau ada aktor politik yang ambil kesempatan? Soal penembakan, pemukulan, pembakaran apakah itu sebuah setting, kita nggak tahu. Itu (demonstrasi) seharusnya bisa dilalui tanpa kekerasan.

Polarisasi semestinya bisa diselesaikan dengan pendekatan dialog, silaturahmi. Tapi at the end-nya nggak bisa. Itu sangat disayangkan.

Keamanan perlu ditingkatkan karena tingginya eskalasi politik?

Itu faktanya. Polarisasi dukungan memang kuat. Loyalitas pendukungnya juga kuat. Kekhawatiran keamanan terhadap polarisasi itu wajar. Mereka (pemerintah) harus berpikir serius bagaimana menanganinya.

Bagaimana dengan anak-anak yang turut terseret eskalasi politik dan kerusuhan 21-22 Mei 2019?

Ada banyak hal. Pertama, faktor keluarga. Dalam keluarga itu ada sosialisasi politik yang akan mempengaruhi pilihan politiknya. Wajar (kalau) anak-anak di bawah umur punya sikap politik.

Kedua, sosial media. Mereka punya peran mengakses informasi dan responsnya luar biasa. Siapa yang harus mendampingi anak, itu kan tidak gampang. Apalagi di usia belum memilih. Mereka akan telan semua informasi. Kalau diajak demo akan ikut, tanggung jawab harusnya (ada di) keluarga dan pihak yang lain (pemerintah).

Saya percaya kehadiran mereka pada demo Bawaslu 21-22 Mei atas dasar kemauan sendiri. Karena penasaran, ingin tahu, atau diajak teman (atau) gurunya. Semestinya hal itu yang diperhatikan. Ini pekerjaan rumah bersama.

Terkait penggunaan sosial media, pemerintah sempat membatasi akses internet pada 21-22 Mei. Apakah itu langkah tepat?

Pembatasan internet atas nama keamanan itu isu yang sangat sensitif. Ini baru pertama kali di Indonesia. Apa tidak ada cara lain yang bisa dilakukan pemerintah?

Sebagai orang awam, saya was-was. Pada satu sisi ingin tahu. Memang TV (menyiarkan) live, tetapi aksesnya terbatas. Keterbatasan itu menjadi kekhawatiran. Orang tua yang anaknya ikut demo damai maupun rusuh juga ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Saya menilai pemerintah tidak bijak menangani keamanan pemilu di Indonesia. Sikap pemerintah melakukan itu kita harus kritisi sama-sama. Saya khawatir rezim Jokowi punya sisi otoritarian.

Kerusuhan seharusnya bisa dicegah?

Mestinya bisa. Logikanya, intelejen kan seharusnya bisa. Pertanyaaannya adalah kenapa kemudian (kerusuhan) bisa terjadi?

 

Apa yang harus diperhatikan polisi dan pemerintah ketika mengamankan demonstrasi pemilu?

Mereka sudah punya standar, punya SOP, ikuti saja. Jangan pernah berpikir bahwa mereka harus berpihak (saat) menangani demonstrasi. Koridornya tetap koridor hukum.

Joko Widodo sudah bertemu dengan Prabowo, pun dengan Megawati. Apakah hal itu akan mendinginkan suasana politik Indonesia?

Pertemuan Jokowi dan Prabowo di MRT itu adalah awal. Kalau Mega dan Prabowo menunjukan kedekatan partai besar bertemu. Pemilu sudah selesai kalau dilihat dari pesannya. Intinya pemilu sudah selesai, nggak usah lagi caci maki.

Di konteks sekarang (pertemuan) itu bagian dari negosiasi. Kita lihat saja arahnya, ini masih dinamis. Apakah polarisasi akan berhenti? Menurut saya bukan hal gampang. Dua kali pemilu pendukung sama, dua kali kalah secara emosional.

 

Pemilu sudah selesai, tetapi banyak juga yang akhirnya harus diproses hukum. Apa yang anda lihat dari peristiwa tersebut?

Dugaan saya ini akan natural. Setelah urusan politik selesai (mereka) akan dibebaskan bersyarat. Ini kan juga di (tingkat) elit seperti Eggi Sudjana. Persoalanya kan (kalau) yang ditahan orang biasa, bisa jadi polisi lupa. Tapi feeling saya di titik tertentu mereka bisa dilepaskan.

Ada orang yang menjadi korban dalam situasi demikian akan menjadi nggak loyalis karena spa yang diperjuangkan berbeda dengan kesepakatan di ujung. Kedua, mungkin menjadi loyalis (garis) keras. (Abdus Somad & Damar Fery Ardiyan)

Dirjen PSDKP KKP: Kami Bisa Membaur dengan Pelaku

Berdasarkan indeks risiko IUU Fishing yang dirilis Global Initiative Against Transnational Organized Crime (Gitoc) pada Desember 2023, Indonesia tercatat sebagai negara terburuk keenam dari 152 negara dalam menangani praktik illegal, Uunreported, and unregulated fishing (IUUF).

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.