“Jangan ki naik, kalau tenggelam mi kapal bagaimana?” cerita Iwan, nelayan Kodingareng, kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Selasa, 25 Agustus 2020.
Iwan merupakan salah satu saksi mata peristiwa penangkapan beberapa nelayan Kondingareng oleh Polairud Polda Sulawesi Selatan yang terjadi pada Minggu, 23 Agustus 2020. Meski sempat mencegah aparat agar tak naik ke kapalnya, ia tak dapat berbuat banyak ketika aksi anggota Polairud menyebabkan kapalnya tenggelam.
“Biar tenggelam nanti kita bayar,” lanjut Iwan menirukan pernyataan salah seorang anggota Polairud.
Konflik antara nelayan Kodingareng dengan aparat Polairud Polda Sulsel merupakan puncak dari protes berulang terhadap kegiatan pengerukan pasir yang telah berlangsung berbulan-bulan. Operasi kapal bernama lambung Queen of The Netherlands di perairan Spermonde, Sulawesi Selatan dinilai menjadi biang keladi kaburnya ikan dari daerah tangkapan yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakat sekitar.
Direktur Polairud Polda Sulses, Kombes Hery Wiyanto menjelaskan bahwa anggotanya tidak hendak melakukan penenggelaman. Menurutnya, kapal nelayan tidak mampu menahan hempasan gelombang laut.
“Tidak ada penenggelaman. Waktu itu kondisi laut ombak besar,” kata Hery saat dihubungi Jaring.id, Rabu, 26 Agustus 2020
Adapun penangkapan terhadap nelayan, sambungnya, dilakukan untuk mencegah gangguan terhadap proyek strategis nasional yang sudah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2017 juncto Peraturan Presiden nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Stategis Nasional. Apalagi, kata dia, pihaknya sempat mendapat laporan mengenai percobaan perusakan kapal penambang pasir dengan menggunakan bom molotov.
“Dia (Nazarudin-red) terlibat kasus sebelumnya 23 Juli, termasuk upaya membakar kapal,” kata Hery.
Nazarudin yang dimaksud Hery ialah satu dari dua nelayan yang ditangkap Direktorat Kepolisian Perairan (Polair) Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan. Satu orang lain ialah Manre yang disangka melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Manre dituding merobek uang di dalam amplop yang diberikan perusahaan agar nelayan tidak lagi melakukan protes terhadap pembangunan Makassar New Port (MNP).
MNP merupakan proyek jangka panjang yang diperkirakan menelan dana hingga Rp 89,57 triliun. Dermaga sepanjang 9.923 meter dan berkapasitas 17,5 juta TEUs per tahun tersebut ditarget rampung pada 2025. Peresmian proyek ini dilakukan Presiden Joko Widodo pada Mei 2015.
Perusakan lingkungan
Menyikapi protes masyarakat setempat, pihak PT Pelindo IV maupun PT Boskalis menyatakan akan terus melakukan persuasi kepada masyarakat. Sekretaris Perusahan PT Pelindo IV, Dwi Rahmad Toto mengaku terbuka untuk mencari solusi bersama.
“Harapan kita ke depan dapat komunikasi dengan baik, sehingga bisa menjelaskan dengan baik kepada nelayan,” ujarnya kepada Jaring.id, Senin, 31 Agustus 2020.
Dwi juga mengaku sudah berkomunikasi dengan pihak kepolisian agar para nelayan dibebaskan.
“Kami tidak tahu apakah ada yang melapor atau tidak. Kami sudah komunikasi dengan pihak terkait (kepolisian-red). Kalau memang bisa dilepaskan,” kata Dwi.
Kepada Jaring.id, Dwi menjelaskan bahwa penyedotan pasir laut sudah sesuai Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Selatan. Sementara penentuan lokasi serta pemberian ijin bertolok pada Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Sulawesi Selatan.
“Lokasi tambang terletak di Galesong, Takalara, bukan di Kepulauan Kodingareng,” jelasnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Andi Hasdullah meminta agar masyarakat pemrotes melampirkan bukti, baik foto, video maupun kajian terkait pengrusakan lingkungan yang ditimbulkan penyedotan pasir laut. Kata dia, pemda tidak bisa begitu saja mencabut izin yang sudah diberikan.
“Kalau tidak ada bukti yang dipertanggungjawabkan tidak bisa mencabut (izin-red) atau memberikan sanksi baik administrasi, hingga pidana,” kata Hasdullah kepada Jaring.id, Jum’at, 28 Agustus 2020.
Menurutnya, PT Royal Boskalis dapat beroperasi lantaran sudah mengantongi izin lingkungan. Pihaknya bersama tim kajian analisis dampak lingkungan juga telah meninjau lokasi penambangan yang letaknya di Galesong, Takalar, Sulawesi Selatan.
Hasdullah menjelaskan, lokasi tambang terletak sejauh 8 mil atau 14 kilometer dari bibir pantai. Jarak tersebut sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2019 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sementara itu, kata dia, jarak lokasi tambang dengan Pulau Kodingareng lebih dari 50 kilometer.
“Tetap kami akan mengawasi,” kata Hasdullah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Muhammad Amin menegaskan bahwa penyedotan pasir laut berdampak langsung pada kerusakan lingkungan, sosial, dan perekonomian warga. Menurutnya, air laut yang berubah keruh dapat mengganggu ekosistem laut. Di antaranya menghalangi proses fotosintetis bagi algae dan fitoplankton.
”Maka sudah dapat dipastikan akan mengganggu makhluk hidup (produsen) tingkat I dan seterusnya,” jelas Amin.
Selain itu, penambangan pasir juga akan mengakibatkan terumbu karang mati. Hal ini dikarenakan partikel suspensi yang ditimbulkan dari penyedotan pasir dapat menutupi pori-pori terumbu karang. Lebih buruk lagi, menurutnya, bahan kimia yang dikeluarkan dari kapal penambang pasir dapat meracuni biota laut.
“Pada akhirnya seluruh organisme dan biota laut yang ada akan terdampak,” kata Amin.
Hal lain yang tak kalah penting, lanjutnya, adalah pelibatan masyarakat dalam proses pengkajian analisis dampak lingkungan. Hal itu diatur Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012.
Aturan lain yang menurut Amin juga ditabrak oleh operasi pengerukan pasir ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya ikan dan Petambak Garam. Beleid tersebut menjelaskan bahwa nelayan harus disejahterakan, dilindungi usaha dan keselamatannya dan dipastikan keberlajutannya.
“Ini praktik ketidakpatuhan,” ungkap Amin.
Berdasarkan berbagai risiko tersebut, Walhi Sulsel meminta agar pemerintah pusat dan daerah membatalkan penyedotan pasir laut untuk proyek Makassar New Port.
“Kami mendesak penghentian reklamasi dan tambang pasir,” tegas Amin.
Kriminalisasi berulang
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Andi Muttaqin menilai bahwa penangkapan maupun kriminalisasi terhadap warga yang mencoba mempertahankan ruang hidupnya dari ancaman koorporasi merupakan pola yang berulang dari tahun ke tahun.
“Itu jadi strategi oleh perusahaan dengan menggunakan aparat hukum,” ujarnya kepada Jaring.id, Kamis, 27 Agustus 2020.
Dalam laporan Elsam mengenai situasi pembela HAM dan lingkungan sepanjang 1 Januari 2020 sampai 30 April 2020, terdapat 22 kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela lingkungan. Kasus tersebut tersebar di 10 provinsi dan 14 kabupaten/kota. Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan jumlah kasus terbanyak.
“Penangkapan, penahanan, dan intimidasi paling banyak dialami,” ujar Andi Mutaqin.
Dari 58 pelaku, sebagian besar kasus kekerasan melibatkan aparatur negara. Polisi tercatat sebagai aktor yang paling banyak, yakni 39 aktor. Adapun dari aktor non-negara, praktik kekerasan terhadap pembela HAM dan lingkungan paling banyak dilakukan perusahaan dengan jumlah kejadian sebanyak 12 kali.