Ribuan penyadang disabilitas mental yang sebagian tinggal di panti sosial rentan tertular Covid-19. Perhimpunan Jiwa Sehat mencatat terdapat sekitar 3000 penyandang disabilitas mental di tiga panti sosial milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sementara ada ratusan orang lain di panti sosial milik swasta. Menurut Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yenny Rosa Damayanti kondisi bangunan dengan kamar tidur yang sesak dan tertutup membikin kesehatan orang dengan disabilitas mental memburuk. Kondisi itu makin mengkhawatirkan, ketika penghuni panti sosial tidak mendapat banyak informasi terkait Covid-19. Bila dibiarkan tanpa perlindungan yang serius dari pemerintah selama masa pertumbuhan curva penularan Covid-19, ribuan penyandang disabilitas yang terkurung di panti sosial bakal terancam jiwanya. Berikut petikan wawancara Jaring.id dengan Yenny yang dilakukan pada 20 Juni 2020.
Bisa Anda jelaskan bagaimana penyintas disabilitas mental menghadapi pandemi Covid-19?
Kondisinya berbeda-beda. Kalau disabilitas yang terkurung di panti situasinya kurang baik. Penuh sesak. Tidur berjejal-jejal. Satu ruangan bisa 20 orang. Kebijakan pemerintah seperti physical distancing, penggunaan masker dan cuci tangan tidak diterapkan di panti. Seolah mereka bukan warga negara Indonesia. Padahal penyandang disabilitas mental di Jakarta dalam hitungan kami sebanyak 3000-4000. Kita beranggapan mereka dilupakan. Tidak diperlakukan sebagai warga negara. Ada double standar dalam melihat mereka. Tentu saja sifat itu melahirkan diskriminasi yang mereka hadapi di panti.
Apa yang dimaksud standar penanganan penyandang disabilitas mental?
Standar ada dua. Pertama handware dalam bentuk fisik bangunan-tempat tinggal penyintas. Kedua dalam bentuk perlakuan. Handware itu bangunanya harusnya memadai tidak seperti penjara dan tidak berjejal kalau tidur. Sanitasi dan tempat mandi perempuan tidak terbuka. Nutrisi gizi cukup baik. Sedangkan standar perlakuan dapat dilihat dari petugas ke penghuni panti. Tidak melakukan kekerasan tentunya.
Apakah ada kasus yang ditemukan di panti disabilitas mental?
Ada 20 kasus dinyatakan reaktif. Mereka di antaranya 15 orang penghuni panti, 5 orang lagi petugas. Mereka dikirim ke Rumah Sakit Duren Sawit untuk di swab test. Untung kita dengan cepat mengetahui sehingga bisa dilakukan pencegahan. Kalau saja tidak melakukan rapid test bisa ke menular ke mana-mana. Sejak dulu kita sudah minta pemerintah untuk rapid test. Tapi sampai sekarang pemerintah belum juga melakukannya. Karena lambat, kami berinisiatif melakukannya sendiri atas bantuan pihak swasta.
Sumber penularan apakah diketahui?
Kita tidak tahu dari mana. Kalau panti milik pemerintah penghuninya di dalam kan tidak bisa keluar masuk. Kemungkinan masuk lewat petugas dan barang-barang. Ini tidak ada kepastian, kemungkinan besar dari luar, bisa dari petugas atau barang-barang.
Selain di panti, ada juga disabilitas mental yang di luar panti. Banyak di antara mereka khawatir untuk berobat jalan, mengapa demikian?
Mereka kan pasien lama yang kategorinya setiap tahun berobat. Mereka cerita kalau ke rumah sakit tidak lagi dilakukan untuk mencegah penularan. Disabilitas mental kan rentan terhadap penyakit terutama kadiopaskuler, jantung, diabetes. Itu efek samping obat psikiatri. Saya khawatir setiap pergi ke rumah sakit, mereka kan naik kendaraan umum lalu di rumah sakit menunggu lama malah nanti terinfeksi covid-19. Saya mengusulkan ke pemerintah dan rumah sakit apakah bisa pasien yang memiliki penyakit kronis tidak perlu datang, tapi diupayakan secara online. Selanjutnya perpanjangan resep bisa dilakukan di apotek dan obatnya bisa dikirim. Untuk ongkosnya bisa dibebankan kepada orang yang membutuhkan.
Masalah lain?
Keluhan lain ialah keterbatasan pilihan obat. Kalau di DKI Jakarta lumayan, kalau di daerah pilihan obatnya terbatas. Hanya satu atau dua obat yang tersedia cocok dan tidak cocok dikonsumsi saja. Itu permasalahan di daerah. Di Ibukota pun terkadang masih ada yang kurang lengkap. Di fasilitas kesehatan pertama, yakni puskesmas tidak ada. Kita ada perkumpulan yang sering membicarakan keluhan melalui Whatsapp group. Kami curhat satu sama lain bahwa obat sulit di dapat selama pandemi. Namun kita tidak tahu, apakah ketersediaan obat ada hubungan dengan covid-19 atau tidak.