Di Maluku, iklim yang makin tak menentu membuat petani cengkeh tak lagi bisa menggantungkan hidup pada rempah yang dulu jadi daya tarik para penjajah.
Terik matahari di Pulau Ambon pada pertengahan Januari lalu terlampau menyengat. Situs prakiraan cuaca Accuweather menunjukkan suhu siang itu sepanas 34⁰ celcius. Irawan Ruhuputty (33)—petani di Negeri Tial, Maluku Tengah—memperlihatkan sebatang pohon cengkeh kering yang hampir sekarat. Sebagian besar daunnya rontok hingga hanya menyisakan lembar daun berwarna kuning kecoklatan.
“Beta tidak tahu ini karena terkena penyakit atau terlalu panas. Kalau sudah begini biasanya pasti mati,” kata Irawan pada Minggu, 19 Januari 2020.
Cengkeh di Kepulauan Maluku tumbuh alami. Ia menyebar mulai dari bibir pantai hingga merangsek jauh ke pegunungan yang berada di balik pemukiman. Jangan bayangkan pola perkebunannya teratur seperti kelapa sawit yang monokultur. Pepohonan cengkeh terserak tak beraturan. Kadang di selingi pohon lain, macam durian dan kenari.
Cengkeh dan juga pala punya arti penting bagi masyarakat Maluku. Sebelum abad ke-18, seluruh pasokan cengkeh dan pala dunia cuma datang dari kepulauan ini. Saking pentingnya, masyarakat Maluku biasa menyimpan hasil panen sebagai tabungan. Ia baru dijual ketika ada keperluan mendesak atau ketika hendak membiayai hajatan besar, seperti pesta pernikahan.
Namun beberapa tahun terakhir, para petani kian sulit ‘menabung cengkeh’ atau sekadar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hasil panen cengkeh tiap tahun tak lagi menentu. Terkadang petani bisa meraup puluhan juta Rupiah, tetapi lebih sering hasilnya habis cuma buat mengupah buruh petik.
“Tidak bagus (hasil panen). Beta cuma dapat 10 kilogram,” tutur Thalib Ruhuputty (54), ayah Irawan, bercerita tentang panen September 2019 silam.
Keluarga Ruhuputty sudah ratusan tahun berkebun cengkeh di Negeri (desa) Tial, Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah. Dengan luasan kebun warisan tak sampai satu hektar, Thalib cuma dapat Rp 700 ribu saat panen 2019. Saat itu cengkeh hasil panennya dihargai Rp 70 ribu per kilogram.
“Tidak ada beta simpan lagi. Habis sudah semua beta jual untuk kebutuhan sehari-hari,” Thalib menambahkan.
Tidak semua bernasib sial seperti Ruhuputty. Karena tumbuh alami, produktivitas cengkeh di setiap wilayah bervariasi saat masa panen tiba. Di Negeri Lima, Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah kebetulan tengah panen raya. Panen macam begini cuma terjadi tiga sampai empat tahun sekali. Sementara di tahun-tahun biasa hasil panen cengkeh rata-rata cuma seperlima hasil panen raya. Salah satu petani yang menikmati panen raya tahun lalu ialah Apik Soulisa (55). Ia dapat memanen 1 ton cengkeh kering dari kebun seluas 1 hektare lebih.
Mengapa hasil panen cengkeh di Pulau Ambon berfluktuasi? Ireng Darwati, peneliti fisiologi tanaman dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian menjelaskan bahwa fluktuasi disebabkan oleh variasi perubahan iklim yang berpengaruh terhadap fitohormon dan ekspresi gen pembuangan.
Selain faktor iklim, terutama suhu dan curah hujan, pola pemeliharaan tanaman juga sangat memengaruhi hasil panen. Sementara selama ini, cengkeh di Maluku tumbuh tanpa perawatan khusus. Para petani tidak memberi pupuk, tidak pula menyiram.
“Paling kita bersihkan saja kira-kira sebulan sekali,” tutur Apik pada Senin, 20 Januari 2020.
Tidak heran jika petani lebih sering gigit jari saat sedang tidak panen raya. Belum lagi ditambah fenomena iklim seperti El Nino dan La Nina yang kian menambah pelik persoalan. Saat El Nino 2015, Apik Soulisa cuma bisa meraup puluhan kilogram cengkeh kering saja dari kebun yang sama.
Sensitif Iklim
Setiap awal tahun, petani harap-harap cemas menanti panen mendatang. Jika panas bertahan hingga Maret—tidak kurang tidak lebih—mereka bisa bernafas lega. Bunga cengkeh dapat tumbuh baik dan hasil panen bakal melimpah.
Namun, beberapa tahun terakhir cuaca kian tak menentu. Awal tahun yang biasanya panas bisa tiba-tiba hujan. Alih-alih jadi bunga, hujan berlebih akan membuat tunas berubah jadi daun. Pun jika musim kemarau terlalu panjang, tanaman cengkeh akan kering dan mati.
“Kalau sudah soal iklim begitu ya kita pasrah saja,” keluh Imron Soumena (49), Sekretaris Desa Negeri Lima pada Senin, 20 Januari 2020.
Menurut Ireng Darwati, cengkeh memang sangat sensitif dengan perubahan iklim. Ia memerlukan hujan yang cukup saat proses pembungaan yang diikuti dengan musim kering selama dua sampai tiga bulan.
Musim panas berkepanjangan akan meningkatkan kadar hormon asam abisat (abscisic acid/ABA) dalam pohon cengkeh. Akibatnya, stomata yang menjadi gerbang masuk CO2 akan tertutup dan menghambat fotosintesa. Panas berlebih juga menghambat cengkeh mendapatkan asupan air dan nutrisi.
“Akar cengkeh itu pendek sehingga kalau panas dia akan susah dapat air,” ujarnya.
Sebaliknya, hujan terlalu panjang akan memicu akselerasi hormon asam giberelat (gibberellin acid/GA) yang memengaruhi pertumbuhan tanaman. Alih-alih menjadi bunga, hormon GA yang terlalu tinggi akan mengubah bakal bunga menjadi daun. Hasilnya bisa ditebak, panen bunga cengkeh tentu akan merosot tajam.
Iklim Kepulauan Maluku sebenarnya sangat cocok untuk pertumbuhan cengkeh. Perkebunan cengkeh yang dekat dan menghadap laut juga sangat baik untuk pertumbuhan dan produksi. Pasalnya perbedaan suhu siang dan malam tidak terlalu besar.
“Suhu ideal cengkeh antara 25°-32° celcius dengan curah hujan rata-rata 1.500 mm-3.500 mm,” tambah Ireng Darwati pada Senin, 25 Februari 2020.
Tidak heran jika tanaman khas ini tersebar di hampir seluruh wilayah kecuali Maluku Tenggara Barat dan Kepulauan Aru. Produksi cengkeh Maluku juga jadi nomor dua secara nasional setelah Sulawesi Selatan. Masalahnya, iklim di Kepulauan ini kian tak menentu.
“Frekuensi kejadian ekstrem seperti El Nino dan La Nina jadi semakin sering terjadi,” ujar Rion Salman, prakirawan dari Badan Klimatologi, Meterologi dan Geofisika (BMKG) Pattimura, Ambon saat ditemui pada Selasa, 21 Januari 2020.
El Nino ditandai dengan memanasnya suhu permukaan di lautan pasifik. Fenomena ini umumnya terjadi dua hingga tujuh tahun sekali. Saat El Nino terjadi, curah hujan dan sirkulasi atmosfer terganggu, sehingga menyebabkan disrupsi iklim ekstrem di pelbagai wilayah dunia. Indonesia, jadi salah satu negara yang paling terdampak.
EL Nino terjadi dengan intensitas beragam mulai dari lemah, moderat, hingga kuat. Para ilmuwan sebelumnya memperkirakan bahwa El Nino intensitas kuat yang dapat menyebabkan kekacauan iklim ekstrem terjadi setiap 23 tahun sekali. Belakangan, sejumlah penelitian menunjukkan pemanasan global memicu frekuensi El Nino ekstrem ini semakin sering.
Pada 2014, sekelompok peneliti iklim yang dipimpin oleh Wenju Cai dari The Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization menerbitkan hasil penelitian mengenai frekuensi El Nino di jurnal Nature. Mereka menggunakan simulasi komputer untuk memilih 21 kejadian iklim periode 1900-1999 dan membandingkannya dengan prediksi iklim periode 2000-2090 yang berbasis rerata tingkat emisi saat ini. Hasilnya, para peneliti memperkirakan frekuensi kejadian El Nino ekstrem akan meningkat dua kali lipat menjadi 13 tahun sekali.
Tidak berhenti sampai di situ, Cai dan timnya juga memperkirakan variabel pemicu El Nino dan La Nina akan semakin rumit.
“Memprediksi kejadian El Nino dan La Nina menjadi lebih sulit,” tulis Cai dalam laporan tersebut.
Iklim global
Manajer Hutan dan Iklim World Resource Institute Indonesia, Arief Wijaya menjelaskan El Nino sangat berkait erat dengan kenaikan temperatur bumi yang terus meningkat sejak masa praindustri. Bahkan jika tidak ada kebijakan serius mengurangi emisi, temperatur bumi diprediksi bakal naik melebihi 3 derajat.
“Frekuensi El Nino diperkirakan akan semakin sering dengan intensitas yang lebih tinggi,” ia menjelaskan pada Rabu, 26 Februari 2020.
El Nino, menurut Arief, berdampak pada iklim yang lebih kering dan dapat memicu kebakaran. Saat intensitasnya kuat, kondisi ini bisa bertahan hingga lebih dari setahun.
“Tanaman-tanaman yang hidup dalam rentang suhu tertentu tidak akan bisa bertahan jika terlalu panas. Mungkin cengkeh dan pala salah satunya,” Arief menambahkan.
Bagaimana dengan kondisi di Kepulauan Maluku? Guna memantau tingkat kekeringan suatu wilayah, para ilmuwan mengandalkan beberapa metode. Salah satu yang paling populer adalah indeks presipitasi terstandarisasi atau Standarized Precipitation Index (SPI). Indeks yang dikembangkan oleh T.B McKee, N.J. Doesken dan J. Kleist dari Colorade State University pada 1993 ini mengukur tingkat curah hujan atau presipitasi yang terjadi di suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu.
Indeks minus 0,99 sampai 0,99 didefinisikan sebagai normal, sedangkan jika di atas satu menandakan kondisi basah. Sebaliknya, jika indeks menunjukkan minus 1 berarti wilayah tersebut berada dalam kondisi kering. Dalam jangka pendek, SPI berkaitan erat dengan kelembaban tanah. Adapun dalam skala yang lebih panjang, SPI membantu pemantauan ketersediaan air tanah.
Data Resource Watch, organisasi nirlaba yang fokus pada penelitian di bidang keberlanjutan, menunjukkan selama lima belas tahun terakhir persoalan yang dihadapi oleh Kepulauan Maluku bukan hanya kekeringan. Kondisi yang terlalu basah juga kerapkali terjadi. Tahun 2008 dan 2017 misalnya, data SPI Maluku menunjukkan angka 2,4 dan 2 yang berarti kondisi sangat basah.
Waspada El Nino
El Nino dengan intensitas kuat terakhir kali tercatat pada 2015. El Nino berbeda dengan gelombang panas. Fenomena ini membuat curah hujan merosot, sehingga menyebabkan kekeringan panjang. Dalam skenario terburuk, kebakaran kebun cengkeh warga juga kerap terjadi.
Prakirawan Stasiun Klimatologi Seram Bagian Barat Steven Cahya menceritakan bahwa dampak El Nino 2015 sangat terasa di Kepulauan Maluku. Fenomena ini terdeteksi sejak April 2015 dan terus berlanjut hingga Februari 2016. El Nino baru mereda pada Mei 2016.
“Ini (El Nino 2015) merupakan fenomena dengan intensitas terkuat yang pernah tercatat. Lebih kuat dibanding El Nino 1997-1998,” ujarnya melalui balasan email pada Sabtu, 8 Februari 2020.
El Nino 2015, Steven menjelaskan, memengaruhi sifat hujan bulanan dan ketersediaan air tanah di Maluku. Pada Juli 2015 seluruh stasiun BMKG di Maluku sudah mendeteksi sifat hujan di bawah normal yang terjadi di semua wilayah Maluku. Analisis pada Agustus 2015 juga menunjukkan kurangnya ketersediaan air tanah.
“Nilai normal setiap wilayah di setiap bulan berbeda-beda, tetapi dikatakan di bawah normal ketika curah hujan yang terjadi kurang dari 85 persen dari biasanya,” jelas Stevan.
Secara umum, El Nino membuat musim hujan terlambat datang.
Fenomena ini jelas sangat merugikan ekonomi masyarakat yang bergantung pada kondisi iklim. Laporan United States Agency for International Development (USAID) bertajuk Dampak Iklim dan Non-Iklim Terhadap Produktivitas Cengkeh dan Pala di Provinsi Maluku yang dirilis pada 2017 menyebutkan produksi cengkeh dan pala di Maluku anjlok hingga 70 persen pada saat El Nino 2015.
Marcus Pattinama, salah seorang peneliti riset tersebut menjelaskan penurunan produktivitas cengkeh dan pala ini juga diperparah dengan praktik pola tanam yang kurang memadai.
“Petani tidak menggunakan sarana produksi pertanian seperti benih tersertifikasi, bibit unggul dan pupuk yang memadai. Pengaturan dan jarak tanam juga tidak teratur. Jarak tanam cengkeh terlalu rapat antara 6 x 6 m sampai 9 x 9 m,” ujar Marcus yang juga Guru Besar Etnobotani di Universitas Pattimura, Ambon pada Selasa, 21 Januari 2020.
“Selain itu, tidak ada pemeliharaan dan sanitasi tanaman dari hama dan penyakit. Praktik budidaya non-intensif ini dapat menurunkan produktivitas tanaman,” ia menambahkan.
Padahal cengkeh seharusnya dirawat secara intensif. Ireng Darwati, peneliti fisiologi tanaman dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro) Kementerian Pertanian menyarankan pemberian pupuk kandang saat musim panas. Tanah di sekitar pohon cengkeh juga tidak boleh dibersihkan terlalu sering demi menjaga kelembaban.
Saat curah hujan berlebih petani disarankan untuk memberikan retardan paclobutrazol. Ini adalah zat penghambat organ tanaman yang berfungsi untuk memblok biosintesis gibrelin, salah satu fitohormon yang merangsang pertumbuhan vegetatif di pohon cengkeh.
“Curah hujan tinggi menyebabkan pertumbuhan vegetatasi tanaman cengkeh meningkat sehingga akan memblok ekspresi gen pembungaan,” ujarnya.
Mengapa petani tidak menerapkan pola tanam yang memadai? Sekretaris Desa Negeri Lima, Imron Soumena mengungkapkan petani cengkeh hanya mengikuti praktik berkebun secara turun temurun. Oleh masyarakat, cengkeh dianggap sebagai tanaman warisan yang tidak perlu dirawat. Letak kebun cengkeh yang jauh dari permukiman juga menghambat petani melakukan perawatan secara rutin.
“Selama ini kami biarkan saja tumbuh alami. Tidak ada juga penyuluh perkebunan yang datang membantu,” tegas Imron bercerita.
“Memang sudah begini cara kita bertani sejak nenek moyang dulu,” timpal Imron. (Rezza Aji Pratama)
*Liputan kolaborasi ini didukung dana hibah oleh Earth Journalism Network dan Resource Watch, organisasi nirlaba yang fokus pada penelitian di bidang keberlanjutan.