Pertaruhan Jurnalis di Tengah Pandemi

Nurdin Amir, jurnalis VE Channel Makassar tidak bisa tidak panik ketika mengetahui beberapa orang yang ia wawancarai teridentifikasi sebagai pasien positif covid-19 klaster Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara.

“Saya langsung was-was dan minta disemprot (desinfektan) oleh petugas Puskesmas,” kata Amir yang juga menjabat sebagai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar pada Senin, 27 April 2020.

Sedikitnya ada delapan pasien covid-19 di Makassar berasal dari klaster Muna. Sebelum didiagnosa positif, mereka memiliki riwayat kontak dengan pendeta yang meninggal dalam status pasien pengawasan (PDP). Empat belas hari pascaliputan tersebut, Nurdin tidak mengalami gejala covid-19.

Dua wartawan di Tanjungpinang tidak seberuntung Nurdin. Mereka mulai demam, nyeri dan sesak nafas setelah melakukan kerja jurnalistik terhadap kegiatan Wali Kota Tanjungpinang, Syahrul. Saat itu, wali kota menerima bantuan berupa Alat Pelindung Diri (APD) untuk tenaga medis. Sehari setelah acara, Syahrul dinyatakan positif Covid-19 dan meninggal pada Selasa, 28 April 2020. Sementara itu, kedua wartawan yang meliputnya masih berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Protokol

Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan, mengatakan menerima sejumlah laporan jurnalis yang berpotensi tertular Covid-19. Selain laporan dari Tanjungpinang, ada juga jurnalis di Pontianak dan Kediri yang sempat kontak dengan satuan gugus tugas (satgas) daerah yang positif Covid-19.

“Rata-rata jurnalis melaporkan gejala setelah wawancara (satgas) dan kepala daerah yang baru diketahui positif pascawawancara,” kata Manan dalam diskusi daring tentang Aspek Keamanan dalam Meliput Pandemi Covid-19 pada Sabtu, 25 April 2020.

Untuk melindungi jurnalis, AJI sudah menerbitkan Protokol Keamanan Liputan dan Pemberitaan Covid-19 bagi Jurnalis dan Perusahaan Media. Salah satu klausulnya, pemilik media diimbau tidak mengirim jurnalis meliput acara yang dihadiri banyak orang tanpa penerapan aturan jarak aman minimal 1,5 meter.

Hanya saja, Manan menilai beberapa lembaga pemerintah masih mengundang wartawan hadir dalam jumpa pers tatap muka tanpa menerapkan standar jarak aman. Misalnya, jumpa pers tatap muka yang dilakukan Kementerian Koordinator Bidang Kamaritiman dan Investasi di Bandara Soekarno – Hatta dan pengumuman Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) oleh Gubernur DKI Jakarta.

“Kita mengharapkan jurnalis kerja dari rumah, tapi jadi masalah karena masih ada lembaga yang menyelenggarakan kegiatan tatap muka, apalagi tanpa jarak aman,” kata Manan.

Dalam protokol juga disebut perusahaan yang terpaksa mengirim jurnalis ke lapangan wajib menyediakan alat pelindung diri berupa pakaian pelindung tubuh, masker, dan penyanitasi tangan. Akan tetapi APD juga tidak sepenuhnya dipenuhi perusahaan media.

Nurdin misalnya, sebagai kontributor untuk dua media nasional dan satu internasional, harus meliput tanpa bantuan APD dari media massa tempatnya bekerja. Masker yang ia kenakan selama liputan diupayakan sendiri dan didapat dari sumbangan organisasi profesi jurnalis.

“Ada media yang bantu, ada yang tidak. Tapi kalau dibantu pun tidak ada yang lengkap. Jadi kita inisiatif saja sekarang, teman bantu teman,” katanya.

PHK

Tidak hanya masalah APD, sejumlah jurnalis juga dilanggar hak dasarnya oleh perusahaan media selama pandemi. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin menyebut sejak dibukanya posko pengaduan jurnalis terdampak Covid-19, sudah 59 jurnalis mengadukan nasibnya.

“Dari pola kasusnya ada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), mutasi, dirumahkan tanpa digaji, pemotongan, dan penundaan gaji,” papar Ade.

Menurut Ade, momentum pandemi dipandang sejumlah media sebagai keadaan mendesak (Force Majeure) untuk membenarkan pemotongan gaji hingga PHK sepihak. Semestinya, pemotongan gaji dilakukan lewat kesepakatan kedua belah pihak.

Sementara itu, PHK merupakan jalan terakhir setelah perusahaan melakukan sejumlah langkah. Beberapa di antaranya adalah pengurangan upah dan fasilitas di jajaran direksi, pengurangan jam kerja, peliburan pekerja, dan memberikan pensiun bagi jurnalis yang sudah tidak memenuhi syarat.

“Tidak ada cara lain yang lebih baik selain menyelesaikan lewat negosiasi di tengah pandemi ini,” kata Ade.

Krisis Jurnalisme Global

Hampir seluruh media dan jurnalis berada dalam situasi krisis akibat pandemi Covid-19. Survei yang dilakukan International Federation of Journalist (IFJ) terhadap 1300 jurnalis di 77 negara, dua pertiga atau setara 866 jurnalis lepas dan tetap mengalami pemotongan gaji, kehilangan pekerjaan dan penundaan gaji selama pandemi.

Ketua Bidang Organisasi Asosiasi Media Siber Indonesia, Suwarjono, menyebut hal ini terjadi akibat menurunya pendapatan utama media secara global dari iklan sebesar 30-60 persen. Adapun untuk media di Indonesia, ia perkirakan penurunan pendapatan iklan di angka 30 persen.

“Saat ini masih tertolong dengan iklan Ramadan, tetapi pasca-Ramadan akan sangat berat kalau kondisi pandemi tidak selesai. Media yang bisa survive setahun ke depan bisa dihitung jari,” kata Suwarjono yang juga menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Suara.com dalam virtual meeting pada Jumat, 24 April 2020.

Mau tidak mau, Suwarjono mengatakan pengurangan karyawan, pemotongan gaji, hingga pengurangan biaya operasional dipilih sejumlah media agar bertahan hingga pandemi usai. Perusahaan tempatnya bekerja mulai melakukan penghematan operasional kantor dan memotong langganan media internasional. Sementara pemotongan gaji dan pengurangan kontributor merupakan pilihan terakhir jika kondisi bisnis belum membaik.

Selain Suara, Tempo juga melakukan upaya untuk bertahan di situasi krisis. Kepala Pemberitaan Korporat Tempo, Arif Zulkifli mengatakan mereka menerapkan kebijakan saving di kantor. Sebagian karyawan penghasilannya dipotong untuk disimpan di kantor dan akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.

“Itu beda-beda proporsinya, sesuai dengan jabatan dan posisinya. Semakin tinggi posisinya, semakin besar porsi simpan di kantornya,” kata Arif.

Tetap kritis

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah belum membahas skema bantuan untuk media. Sementara ini, ia menyarankan media memanfaatkan sejumlah skema insentif untuk wajib pajak yang terdampak covid-19. Industri yang menggunakan kertas seperti koran dan majalah juga berhak mendapat bantuan penghapusan bea masuk impor kertas.

Adapun bagi karyawan, perusahaan media bisa mengajukan agar karyawan mendapat gaji tanpa dipotong pajak. Syaratnya, penghasilan karyawan tidak lebih dari 200 juta per tahun atau 16 juta per bulannya.

Akan tetapi, Arif mengingatkan beragam bantuan yang dirancang pemerintah terhadap media tidak boleh mengurangi kritis media terhadap pemerintah. Bantuan harus dilihat sebagai respon pemerintah untuk menyehatkan pers, tanpa ada imbalan ‘terima kasih’ dari media.

Frame ‘terima kasih’ bisa berdampak berkurangnya kritik pada pemerintah, padahal di era penanganan Covid-19 kontrol media sangat diperlukan,” papar Arif.

Selain itu, pengawasan juga perlu dilakukan agar insentif tidak semata-mata memperbaiki arus kas perusahaan. Insentif yang diberikan harus berdampak langsung terhadap jurnalis.

Derita Ganda Perempuan dengan Kusta   

Bercak putih kemerahan sebesar uang koin Rp500 di kedua pipi menjadi awal perubahan dari kehidupan Sri. Sebelas tahun lalu usianya baru 21 tahun. Mula-mula, bercak

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.