Jakarta, Jaring.id – Direktur Eksekutif Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia mendorong agar jurnalis perempuan lebih banyak berkontribusi di dalam ruang redaksi. Kesadaran kolektif tentang pentingnya peran jurnalis perempuan, menurut dia, bisa menjadi lompatan jauh untuk mewujudkan keberagaman, baik dari segi konten maupun jabatan. Selama ini, budaya patriarki menghambat jurnalis perempuan untuk mengisi posisi strategis di media.
“Kontruksi ini tidak hanya karena perempuan sebagai perempuan yang memiliki karakter berbeda tapi juga ada faktor budaya, sosial dan politik. Sehingga perebutan argumentasi dan gagasan menjadi tantangan bersama. Tantanganya, bagaimana kita mampu menunjukkan bahwa kita itu kompeten dan kafabel?” ungkap Eni ketika membuka kegiatan nonton bareng dan diskusi bertajuk “Mendorong Posisi Perempuan di Media” di ruang Multimedia Gedung K3 Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Rabu, 11 Maret 2020.
Menurut peneliti sekaligus pengajar ilmu komunikasi, Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta, Andina Dwifatma, masalah yang dihadapi jurnalis perempuan sangat kompleks. Mereka tidak hanya menghadapi stereotip, kultur maskulin, dan tindakan diskriminasi di media, tetapi juga harus bisa menghadapi dirinya sendiri. Kata dia, terkadang jurnalis perempuan tidak bersedia atau percaya diri menduduki posisi strategis di media massa.
“Hasil riset kami, mental menjadi hambatan peran jurnalis perempuan di media,” kata Andina.
Kondisi tersebut, lanjutnya, semakin mapan tatkala laki-laki yang berada di pucuk pimpinan media mereproduksi stereotip terhadap perempuan.
“Laki-laki di puncak jabatan akan cenderung memilih laki-laki juga, sehingga para perempuan tidak bakal bisa naik. Jadi akan semakin sedikiti perempuan menjadi pemimpin,” ungkap Andina merujuk riset yang diterbitkan everything PR.
Dalam forum yang sama, Pemimpin Redaksi Harian KOMPAS, Ninuk Mardiana Pambudy menilai bahwa cara pandang masyarakat maupun media terhadap perempuan yang keliru mengakibatkan posisi perempuan semakin tertekan. Menurutnya, peran perempuan selalu diidentifikasi dalam batas ruang privat alih-alih publik dan hal ini tidak lepas dari intervensi rezim Orde Baru selama puluhan tahun. Saat itu, kata Ninuk, pemerintahan Soeharto membatasi kerja-kerja perempuan hingga mengakibatkan wacana di sektor publik termasuk pemberitaan media lebih maskulin.
“Perempuan memang mengalami beban ganda. Di Undang-Undang Perkawinan masih mengatakan demikian. Itu secara legal, meski faktanya tidak begitu,” kata Ninuk saat ditemui Jaring.id di sela-sela kegiatan diskusi.
Jauh sebelum menjabat pucuk pimpinan KOMPAS pada akhir 2019 lalu, Ninuk mengungkapkan bahwa dirinya juga sempat berada di persimpangan antara memilih keluarga atau karir. Jam kerja jurnalis yang tidak teratur, menurutnya, menjadi masalah utama.
Penulis buku kumpulan cerpen berjudul Cinta di Atas Perahu Cadik itu mengaku pernah menyampaikan niat untuk mundur dari KOMPAS sebanyak dua kali. Lain waktu, Ninuk pernah menawar untuk tidak dipromosikan sebagai redaktur. Saat itu, ia lebih memilih untuk tetap turun ke lapangan sebagai wartawan agar dapat lebih banyak punya waktu dengan keluarga. Namun para petinggi KOMPAS, termasuk Jakob Oetama menghalangi niatnya untuk mundur dari koran yang berdiri pada 1963.
“Akhirnya saya ditawari KOMPAS Minggu, terbit hanya Jumat dan Sabtu. Itulah yang membuat saya bertahan dan akhirnya setelah dari situ, saya ditawari posisi redaktur pelaksana. Pada posisi redpel mesti pulang Pukul 12 malam, paling cepat. Pada 2018 saya ditawari pimred,” kenangnya disambut tawa peserta diskusi.
Ninuk mengaku beruntung punya pimpinan yang tidak membedakan perempuan dari laki-laki. Kata dia, KOMPAS selalu berpedoman pada affirmative action, baik dalam pemilihan narasumber maupun rapat redaksi.
“Kita mendorong dia (perempuan-red) berpikir kritis, kita egaliter. Semua orang bisa berkontribusi,” ungkap Ninuk.
Di samping itu, Ninuk menambahkan, jurnalis perempuan maupun laki-laki harus punya kompetensi yang setara.
“Standar itu tidak bisa dikompromikan. Kompetensinya itu diukur mulai dari kinerja, etos kerja, kemampuan, integritasnya hingga berpikir analistis,” katanya.
Sementara itu, pembawa berita Desi Anwar yang kini menjabat sebagai Board of News Director CNN Indonesia TV menyatakan bahwa tidak mudah mengubah kultur maskulin di media. Selain memperbanyak jumlah pekerja perempuan, menurutnya, jurnalis laki-laki juga harus mendapatkan pengetahuan tentang pengarusutamaan gender.
“Laki-laki harus belajar dari perempuan. Sebab laki-laki cenderung punya ego, sehingga lebih mendahulukan kompetisi dan konflik ketimbang kolaborasi,” kata Desi.
Menurutnya, laki-laki dan media yang sentisif gender akan berpengaruh pada dinamika di ruang redaksi. Mulai dari keberagaman pemikiran, hingga penentuan isu yang akan dikabarkan kepada masyarakat. “Ini penting sekali terutama menyangkut hak perempuan,” ujar Desi.
Hasil penelitian Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2012 menunjukkan bahwa jumlah jurnalis perempuan dan laki-laki tidak setara atau 1 berbanding 4. “Kalau di CNN TV banyak perempuan,” ungkap Desi. Hal ini terjadi, menurut Desi, bukan hanya karena kebutuhan industri televisi yang melulu bicara shot dan rating. Tetapi juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi televisi. Beberapa tahun ke belakang, profesi kameraman didominasi oleh laki-laki lantaran beban dari kamera yang mesti dipanggul saat itu kelewat berat. Dengan ukuran kamera yang semakin kecil saat ini, maka profesi tersebut menjadi lebih terbuka bagi jurnalis perempuan. “Dulu dinamakan cameraman, sekarang camera person,” tutup Desi.