Kasus intoleransi kerap terjadi di Indonesia. Berbagai pihak sepakat soal pentingnya peran aktif pemangku kepentingan dari berbagai sektor untuk menghentikannya.
“Intoleransi banyak sekali terjadi. Kebencian agama terlihat jelas oleh banyak orang kondisinya cukup memprihatinkan,” ujar Savic Ali, penggagas media islami.co, selepas mengikuti focus group dialogue (FGD) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Jum’at (22/3).
Salah satu yang patut dicermati, lanjutnya, adalah beragamnya bentuk intoleransi. Mulai dari ungkapan di media sosial, perisakan, hingga perusakan tempat ibadah.
Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, mengungkapkan bahwa sikap intoleran banyak muncul di kalangan masyarakat berusia 15 tahun hingga 30 tahun. Kelompok tersebut, menurutnya, perlu didekati untuk mencegah meluasnya intoleransi.
“Mereka itu tidak selaras dengan kehidupan mereka. Pengawasan orang tua dan tidak ada sehingga mereka bebas melakukan apa saja,”ujarnya, Jumat (22/3).
Kondisi tersebut tergambar dari hasil riset Jaringan Gusdurian yang dilakukan pada 2017. Menurut Alissa, dinamika tersebut muncul karena perkembangan Internet sebagai ruang untuk mengakses informasi yang tidak bisa dikontrol.
“Ternyata makin muda makin intoleran. Penting sekali bicara dengan anak muda supaya mereka nggak semakin intoleran,’’ tegasnya.
Peran Media
Berdasarkan hasil FGD, lanjut Alissa, formulasi untuk mencengah intoleransi dan mengajak masyarakat untuk sadar akan pentingnya toleransi akan dilakukan.
“Setelah ini teman-teman penyelenggara akan membuat rumusan jelas dan strategis dan bisa menghubungkan organisasi yang fokus kerjanya di ide mencengah intoleransi, salah satunya kampanye sosial media, mengunjungi rumah ibadah dan aksi nyata lainnya,’’ ujarnya.
Salah satu langkah konkrit yang muncul dari FGD adalah mendorong munculnya panduan dasar bagi jurnalis untuk meliput isu toleransi.
“Memang harus ada keterampilan untuk meliput masalah ini. Jangan menulis kejadian intoleransi saat terjadi saja,” ujar Jurnalis Senior The Jakarta Post Endy Bayuni.
Endy menyebut bahwa media massa cenderung memberikan ruang kepada kelompok intoleran untuk bicara perihal kasus-kasus kekerasan terhadap agama. Hal tersebut secara tak sadar turut mempromosikan sikap intoleran.
“Kesadaran di media masih rendah. Media punya peran mengatasi masalah ini (intoleransi), bukan membiarkan dan ikut menyebarkan kebencian,” ungkapnya.
Endy juga menyatakan tindakan media mengejar jumlah pembaca dengan melakukan liputan lanjutan soal kasus intoleransi perlu segera dihentikan. Di sisi lain, media harus cerdas dalam menulis isu-isu yang berkaitan dengan keberagaman.
“Banyak media menyebarkan pesan kebencian, membangun rasa kebencian di masyarakat. Ini harus berhenti. Harus ada perubahan paradigma dan menyaring informasi, nggak usah ikut-ikutan juga,’’ imbuhnya. (Abdus Somad)