Skema perhutanan sosial yang digalakkan pemerintah diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Tapi bagi warga Desa Kalibandung, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, jalan untuk bisa mengelola hutan lestari sepertinya masih akan panjang.
Ribuan pohon sawit itu tinggi menjulang. Brondolan buahnya yang berukuran kecil tampak ada di setiap dahannya. Rumput bersemak memenuhi setiap sudut kawasan kebun sawit itu. Tak ada satupun warga yang berani memanen sawit tersebut.
Inilah perkebunan kelapa sawit milik PT. Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (PT. BLKS). Perkebunan ini sudah hampir berumur 20 tahun. Ditanam sejak 1997 silam. Lokasinya berada di areal Hutan Produksi Konversi yang berada tak jauh dari Desa Kalibandung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Luasnya mencapai hampir 1000 hektare. Hingga kini perusahaan tersebut pun tidak pernah memetik hasil dari investasi perkebunan sawit yang ditanamnya.
“Sejak ditanam tahun 1997 perkebunan sawit PT. BLKS hanya beroperasi selama setahun saja waktu itu. Lalu kembali lagi beroperasi pada 2004 dan sempat membangun basecamp,” kata Marjono, salah seorang warga yang ditemui di areal PT BLKS.
Pria yang akrab disapa Jon itu mengisahkan, saat itu warga sempat berharap banyak dengan kembali beroperasinya PT. BLKS. Mereka mengira bisa diserap perusahaan untuk bekerja di perkebunan sawit. Namun harapan itu segera pupus karena aktivitas perusahaan terhenti kembali sampai sekarang.
Di areal perkebunan terlantar PT. BLKS, Jon didampingi Usman, Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Kalibandung dan pegiat LSM Jari Borneo Barat Indonesia, Firdaus. Jon kemudian mengarahkan telunjuknya menyasar bekas lokasi areal pembibitan. Deretan tanaman di areal itu tak lagi tampak lokasi pembibitan, sebab bibit yang diterlantarkan sudah tumbuh menjulang mirip pohon kelapa.
Dari kawasan pembibitan, Jon mengajak rombongan bergeser ke lokasi lain yang juga tak terurus. Kondisi yang mereka lihat sudah tak lagi menyerupai kebun. Rumput dan semak tumbuh liar hingga menutupi jejeran sawit yang terbengkalai. Menurutnya, PT BLKS dulu memiliki kantor di areal kebun. Namun kantor tersebut ikut terbakar saat peristiwa kebakaran lahan pada 2015 lalu. Setelah itu semua karyawan dan buruh pergi menelantarkan kebun sawit yang sudah tumbuh dengan subur.
“Ada keinginan dari sebagian warga untuk mengelola lahan sawit seluas 1000 hektare milik PT BLKS dalam sistem kelola hutan desa di Kalibandung. Harapannya bisa meningkatkan perekonomian warga yang banyak membutuhkan lapangan pekerjaan,” paparnya.
Untuk menyambung hidup, sebagian warga desa menoreh karet yang harga jualnya tidak stabil, termasuk Jon. “Untuk menopang perekonomian keluarga kadang saya harus bekerja di luar desa sebagai buruh lepas seperti di Pontianak, sebab hasil karet yang harga jualnya paling tinggi Rp8000 per kilonya sangat tidak mencukupi,” terangnya.
Sanhaji, Kepala Desa Kalibandung terus berdoa dan berupaya agar perkebunan yang telantar bisa mereka kelola dengan skema perhutanan sosial. Hingga kini, pemerintah desa bersama JARI sudah mulai mengagas pengajuan hak kelola hutan desa yang masuk dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) sejak 2017 lalu.
Menurut Sanhaji, dengan mengelola Hutan Desa, warga tak lagi menghadapi masalah keterbatasan lahan untuk usaha di desa. Kebetulan, dari seluruh penduduk desa yang sebanyak 2.171 jiwa itu, sebagian besar adalah petani dan pemanen karet. Sedang sisa warga lainnya bekerja di luar desa sebagai buruh, pedagang dan nelayan.
“Hutan Desa bisa menjadi harapan baru bagi masyarakat di desa yang sulit mendapatkan pekerjaan dan mulai minimnya lahan garapan. Harapan kami bila nanti Hutan Desa benar terbentuk, setidaknya ada program pemberdayaan yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti di beberapa Hutan Desa yang ada di pesisir Padang Tikar,” terangnya.
Asa untuk mengelola Hutan Desa sebenarnya sudah mulai ada. Apalagi saat ini PT. BLKS sendiri sudah tak lagi memiliki hak untuk mengelola perkebunan sawit yang mereka tinggalkan sejak 2015 lalu. Kepala Bidang Perkebunan Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian dan Peternakan Kabupaten Kubu Raya, Dedi Hidayat membenarkan hal itu.
“Setelah dicek ada perusahaan atas nama PT. BLKS di Desa Kalibandung, namun tidak memiliki perizinan yang sah dalam usaha budidaya perkebunan,” jelas Dedi sambil menunjukkan peta perizinan yang ada di belakang meja kerjanya.
Menurut Dedi, status lahan adalah syarat utama pelepasan hak dari pemerintah kepada warga desa. “Lahan harus free and clear alias tidak tumpang tindih atau bersengketa,” tegasnya.
Sementara, Kepala Bidang Penyuluhan dan Pengembangan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Lassarus Marpaung menyebutkan proses penetapan Hutan Desa di Kalibandung masih dalam proses. Aparat dari kementerian bahkan sudah turun ke lapangan untuk melakukan identifikasi dan verifikasi. “Dari hasil tersebut nanti akan dituangkan ke dalam peta hasil yang menjadi pelengkapan syarat pengajuan Hutan Desa,” jelasnya.
Sekretaris Wilayah JARI Indonesia Borneo Barat Yudith Evametha yang membantu warga Kalibandung mengurus pengajuan hak pengelolaan hutan desa menegaskan, saat ini status 1000 hektare lahan perkebunan sawit yang ditanam PT. BLKS sudah free and clear, alias tidak bersengketa. Kepastian ini terungkap dalam sebuah Forum Group Discussion pada 4 Juni lalu di Pontianak.
Forum ini juga dihadiri Aciang, perwakilan PT. BLKS yang dulunya merupakan manajer di perusahaan tersebut. Menurut Yudith, PT. BLKS mendapatkan izin untuk mengelola perkebunan sawit pada tahun 1996. Namun, pada tahun 2000 status perizinan perusahaan tersebut dicabut.
“Memang dari penuturan Bapak Aciang dalam pertemuan tersebut, selama hampir 20 tahun perusahaan tidak pernah memanen buah sawit yang ditanam,” ungkapnya.
Dengan adanya kejelasan status lahan ini, Yudith, Sanhaji dan Marjono optimistis proses pengajuan HPHD bisa lebih cepat. Saat ini, proses pengurusannya masih menunggu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait Pengelolaan Perhutanan Sosial di Kawasan Gambut. Beleid tersebut terus dinanti sebab kawasan yang diajukan sebagai Hutan Desa sebagian berupa lahan gambut.
“Harapan kita SK Hutan Desa ini cepat mendapat persetujuan dari kementerian,” katanya.
Jika SK Hutan Desa telah terbit, warga bersama JARI Borneo akan lebih cepat menyusun rencana pemberdayaan yang tepat, seraya memperkuat kapasitas masyarakat dalam membangun Hutan Desa untuk bisa mensejahterakan mereka.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo menerbitkan beleid perhutanan sosial pada 2016 lewat PermenLHK No.83/2016. Target alokasi pemenuhan perhutanan sosial yang ditetapkan pemerintah yakni seluas 12,7 juta hektare area hutan. Pemerintah sendiri menyediakan lima skema dalam perhutanan sosial. Hak untuk pengolahan hutan dapat diajukan oleh masyarakat di atas area yang diidentifikasi dalam Peta Indikatif Akses Kelola Hutan Sosial.
Sementara Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Gusti Hardiansyah mengatakan, masyarakat harus mengorbankan tenaga dan pikiran untuk merealisasikannya. Sebab bila nanti masyarakat dapat akses untuk mengelola hutan desa, warga harus siap dengan rencana pemberdayaan dan implementasinya. Masyarakat menurut Gusti penting menyiapkan diri, agar skema pengelolaan melalui pemberdayaan warga dan alam bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat desa.
Dia menambahkan mengingatkan pesan utama setelah warga bisa mengakses hutan, yakni perubahan prilaku masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan hidup. Hal ini menjadi penting, sebab masyarakat yang ada di kawasan hutan harus terus menjaga ekosistem hutan agar bisa mendapatkan manfaat yang optimal.
“Dari pengalaman saya saat turun langsung ke lapangan bahwa daerah yang berdampak positif secara langsung dalam pengembangan perhutanan sosialnya adalah daerah Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Kubu Raya seperti daerah bentang pesisir Padang Tikar,” ungkapnya.
Secara umum Gusti mengatakan bahwa capaian kinerja pemberian akses kelola kawasan hutan di Kalimantan Barat sendiri masih belum menggembirakan. Sebab dari target realisasi per 10 Juli 2018, pemberian akses yang terealisasi baru 235.180.91 hektare dari target yang dicanangkan pemerintah Kalimantan Barat seluas 1.330.431 hektare. Artinya capaiannya hanya 30 persen saja dari target yang ditentukan.
“Perlu keseriusan pemerintah daerah dan pihak terkait untuk mendorong agar capaian target tersebut cepat terealisasi, “terangnya. (*)
Artikel ini telah diterbitkan di Pontianak Post dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id