PALU – Direktur PT Panca Logam Utama, Willem Chandra kembali membeberkan bahwa beberapa waktu lalu, pihak perusahaan pernah dipanggil oleh Polda Sulteng yang berkeinginan untuk melihat semua kelengkapan dokumen izin yang dimiliki oleh perusahaan.
“Kata pihak Polda, izin dokumen PT Panca Logam Utama tidak lengkap. Tapi saya menjawab, memang benar izinnya tidak lengkap, tapi kami mau lengkapi, bukannya kami tidak mau lengkapi. Kami sebagai perusahaan terbuka saja, apa syaratnya untuk kami lengkapi, kalau kami mau mundur sudah kepalang tanggung, karena sudah banyak investasi yang kami keluarkan di lokasi tambang,” katanya menekankan.
Menurut Willem, pihaknya dan investor yang memberikan dana untuk kegiatan pertambangan tersebut telah mengeluarkan anggaran yang cukup besar.
“Investasi yang sudah kami keluarkan sekitar 10 miliar, mungkin perusahaan besar tidak ada apa-apanya, tapi bagi bos kami, itu sudah investasi dari semua hartanya,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Sulteng, Bambang Sunaryo mengemukakan soal penambang emas tanpa izin (PETI) di Keluarahan Poboya, Kota Palu, pihaknya telah mengirimkan surat penyampaian informasi kepada Polda Sulteng Nomor 540/9002-PU/DESDM tertanggal 29 Februari 2016. Bersama surat tersebut ikut dilampirkan dua lembaran poin penting dari Laporan Revisi Studi Kelayakan 2015 dari PT Citra Palu Mineral (CPM).
“Surat dan lampiran tersebut merupakan salah satu dasar yang menjadi bukti bagi Polda Sulteng untuk melakukan penertiban PETI di Poboya,” ujarnya.
Ketua tim Investigasi PETI Poboya, Sigit Purnomo Said menyatakan bahwa yang berhak untuk menutup tambang ilegal tersebut adalah pemerintah Provinsi Sulteng. Pemkot Palu kata dia, hanya sebatas memberikan tindakan menegur.
“Kalau secara kewenangan, Pemprov Sulteng yang harus menutup tambang ilegal tersebut, kami mengingatkan dan meminta provinsi untuk segera ditindak lanjuti,” katanya.
Wakil Walikota tersebut juga merasa heran bagaimana mungkin instansi terkait yakni Dinas Kehutanan Sulteng, tidak mengetahui orang-orang yang masuk dalam kawasan mereka seperti Tahura Sulteng.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kota Palu, Yusrini Sushanty Ariani bahwa tidak ada wewenang Pemkot Palu untuk menutup pertambangan atau perusahaan yang tidak punya izin tersebut.
“Pemkot Palu hanya sebagai pemiliki wilayah,” katanya.
Yusrini menganalogikan, lokasi tambang Poboya sebagai rumah dan pemilik rumah itu pihak CPM.
“Kalau saya punya rumah, kemudian diobok-obok orang, saya dong yang mengusir, masa orang lain yang mengusir atau Pemkot Palu yang harus mengusir. Sementara sebagai pemilik rumah, hingga kini tidak pernah mengadu kepada siapa-siapa,” tuturnya.
Yusrini juga menampik pernyataan PT Panca Logam Utama yang mengatakan mereka tidak bekerja di kawasan konsensi CPM ataupun kawasan Tahura Sulteng.
“Tahura jelas tidak bisa diapa-apakan, selalu perusahaan berlindung dibalik masyarakat, sedangkan sebagian lahan CPM masuk dalam kawasan Tahura,” ungkapnya.
Sehingga Pemkot Palu kata Yusrini meminta CPM untuk menciutkan sebagian lokasinya, agar hasil penciutan itu bisa digunakan sebagai areal penggunaan lain.
Terkait tanggungjawab tersebut, Kepala Bidang Pertambangan Umum Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Tengah, Aris Bulo membantah pernyataan Ketua Tim Investigasi Pemkot Palu dan Kadis ESDM Kota Palu.
Kata Aris, pihaknya pernah menerima surat Dinas ESDM Kota Palu, yang menindaklanjuti surat dari Ombudsman Sulteng kepada Pemkot Palu. Surat balasan Pemkot kepada Ombudsman Sulteng, kata Aris, hanya menjawab dengan sederhana, bahwa kewenangan menutup tambang ilegal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ada pada pemerintah provinsi.
“Kami kemudian membalas kembali surat itu dengan mengatakan bahwa belum ada di dalam UU Nomor 23 tahun 2014 yang mengatur soal pertambangan tanpa izin, kan tidak ada. Selain itu, dimana UU No 4 tahun 2009 tentang minerba yang mengatur tentang tambang ilegal,” tuturnya.
Pihaknya mencontohkan tambang ilegal itu seperti perampok yang masuk ke dalam rumah, dalam hal ini rumah tersebut adalah Pemkot Palu.
“Kalau ada perampok yang datang kerumah saudara, masa pergi mengadu kepada orang lain, atau memanggil orang lain untuk mengusirnya,” ujarnya.
Pihaknya telah menyampaikan kepada Kadis ESDM Kota Palu bahwa Pemkot sendiri yang menjaga wilayahnya. Yang bertanggung jawab adalah walikotanya dan tidak mungkin dilemparkan kepada provinsi.
“Siapa yang mempunyai peran untuk tambang Poboya, ya pemerintah Kota Palu, jadi siapa yang melihat kegiatan itu, orang terdekat di daerah itu yang harus mengusirnya. Masa sudah jelas barangnya diambil, masih disuruh orang lain lagi mengusirnya,” imbuhnya.
Secara terpisah,, Gubernur Sulteng Longki Djanggola membenarkan bahwa tanggung jawab dalam mengelola ada di pihaknya jika dilihat dari undang-undang yang berlaku. Longki menganalogikan soal Tahura maupun Taman Nasioanal Lore Lindu (TNLL) yang ada di Sulteng, merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Jadi untuk menutup PETI di Tahura itu bukan sama kami, tidak ada kewenangan secara undang-undang sama kami, tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” kata Longki.
Namun soal penertiban dan penutupan Tahura, Longki mendukung hal tersebut dan merekomendasikan untuk ditindaki.
“Jadi pemprov dan pemkot tidak boleh ada yang melepas tanggung jawab untuk itu,” tutup Longki.
Meninjau kembali siapa yang bertanggung jawab untuk menutup tambang ilegal di Poboya, dasar hukum terakhir yang digunakan yakni Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Koordinasi Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin yang ditandatangani oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Inpres itu dikuatkan lagi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2001 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin, Penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak Serta Perusakan Instalasi Ketenagalistrikan Dan Pencurian Aliran Listrik.
Dalam regulasi tersebut, pemerintah pusat memberikan kewewenang bagi daerah untuk membuat tim yang dikoordinasikan oleh kepala dearah, untuk menindak tegas terhadap kegiatan pertambangan tanpa izin. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas operasional tim penanggulangan di daerah, tim pelaksana daerah oleh gubernur dan bupati/walikota selaku penanggung jawab penuh, dapat memastikan penegakan hukum sesuai lingkup kewenangan masing-masing.
Tulisan ini telah diterbitkan, Media Alkhairaat, Kamis, 20 Oktober 2016, dan diedit untuk dimuat kembali di Jaring.id.