PALU – Untuk mengevaluasi tambang emas tanpa izin di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Pemerintah Kota Palu akhirnya membentuk tim investigasi yang diketuai langsung oleh Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo Said.
“Saya dipercaya Wali Kota Palu sebagai ketua tim, dalam pelaksanaannya akan bekerja sama dengan seluruh Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, untuk melihat langsung persoalan di lokasi tersebut,” kata Sigit sebelum turun mengunjungi lokasi.
Di hadapan sejumlah wartawan dalam jumpa pers, Kamis (3/9), Sigit menegaskan, tidak ada tawar-menawar dengan pengusaha yang menambang di lokasi pertambangan Poboya Kecamatan Mantikulore.
“Tidak ada tawar-menawar, dan tidak boleh tawar-menawar dengan perusahaan terkait dengan adanya upaya Pemkot Palu menghentikan kegiatan pertambangan,” kata Sigit.
Mantan vokalis Band Ungu tersebut menegaskan seluruh kolam sebagai tempat perendaman material emas yang dikelola pengusaha yang melibatkan pihak-pihak tertentu, juga akan ditutup.
Pemkot, kata dia, akan mengeluarkan masyarakat yang menambang emas dan potensi sumber daya lainnya di lokasi tersebut, yang masuk dalam kawasan Tahura dan areal kontrak karya milik PT. Citra Palu Mineral.
Tim investigasi tersebut dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Wali Kota Palu Nomor 050/522.a/BAPPEDA/2016 tentang tim investigasi dan advokasi penyelesaian permasalahan strategis Kota Palu, yang ditetapkan di Palu tanggal 5 April 2016 dan ditandatangani Wali Kota Palu Hidayat.
Tim terbagi dalam beberapa kelompok kerja (pokja). Salah satunya adalah pokja pertambangan dan lingkungan dengan koordinator staf ahli bidang pembangunan Setda Kota Palu.
Setelah terbit SK Wali Kota Palu, tim investigasi kemudian bergerak untuk menelusuri permasalahan yang terjadi di lokasi tambang Poboya. Kamis (10/3) tim yang diketuai langsung oleh Sigit menuju lokasi eksploitasi tambang bersama koordinator tim dan anggota Pokja pertambangan dan lingkungan.
Hampir lima jam, tim investigasi “mengobrak-abrik” lokasi tambang, melihat kondisi perbukitan Vatutempa dan kawasan Tahura Sulteng yang hancur, melihat aktivitas perusahaan ilegal, berdiskusi dengan sejumlah penambang, ketua adat Poboya serta perwakilan perusahaan.
Setelah kunjungan ke lokasi tambang, Ketua Tim Investigasi Sigit Purnomo Said meminta waktu untuk merumuskan kembali, langkah-langkah apa yang akan dilakukan terkait tambang ilegal tersebut.
Selang beberapa waktu kemudian, Sigit mengatakan hasil investigasi yang dilakukan yakni meminta kepada PT Citra Palu Mineral (CPM) untuk menciutkan wilayah.
Pernyataan tersebut dikuatkan Wali Kota Palu, Hidayat. Pemkot meminta PT. CPM menyiutkan lahan kontrak karya khususnya di blok Poboya Kota Palu seluas 25 ribu hektare. Investigasi tersebut menemukan sejumlah pelanggaran penambangan yang terjadi di atas konsesi CPM.
“Pemerintah Kota sudah menyurat sejak Maret 2016, tapi sampai sekarang belum ada jawaban dari CPM,” kata Hidayat.
Hidayat mengatakan dengan tidak dibebaskannya lahan yang dikuasai pihak lain itu, diduga CPM ikut membiarkan perusakan lingkungan karena aktivitas pertambangan di Poboya sudah merusak lingkungan.
“Selama tidak dibina, sama saja CPM mengamini tambang di sana. Berarti ada pembiaran,” katanya.
Sehingga, menurut Hidayat, jika nantinya lahan tersebut sudah dilepaskan CPM, pihaknya baru dapat melakukan invervensi kebijakan.
Media Relasi PT CPM Amran Amir mengatakan aktivitas tambang rakyat di atas lahan CPM masuk melalui dewan adat setempat. Lebih lanjut, Amran menuturkan CPM sudah melapor ke Kementerian ESDM, terkait adanya aktivitas tambang ilegal tersebut.
“CPM sudah melaporkan ke Kementerian ESDM secara khusus dan ada laporan tiga bulanan. Tembusannya ke Kapolri dan lain-lain,” katanya.
Akibat Tambang Ilegal
Direktur Panca Logam Utama, Willem Chandra membantah bahwa pihaknya bekerja di dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sulteng.
“Dulu pernah ada perusahaan milik Mr. Wang, yang beroperasi di dalam kawasan Tahura, saat ada konflik dengan masyarakat, alat perusahaanya juga ikut dibakar,” katanya.
Menurut Willem, lokasi tambang melewati gerbang pintu masuk Tahura. Tetapi menurutnya, gerbang itu belum dibuat sebelum masuknya perusahaan dan beraktivitas di dalamnya.
“Saya merasa heran, saat perusahaan masuk belum ada gerbang. Tetapi berapa tahun kemuduian, gerbang itu sudah ada dan perusahaan dianggap masuk dalam kawasan Tahura,” tutur Willem.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian, Kehutanan, dan Kelautan Kota Palu, Mukhlis mengatakan kerusakan Tahura akibat PETI memang telah terjadi.
“Kami pantau lewat pemetaan GIS, ada sekian meter tambang ilegal yang masuk ke dalam Tahura dan kami telah laporkan kepada pemerintah provinsi,” ujarnya.
Pengelolaan Tahura, kata Mukhlis, merupakan tugas dari pemerintah provinsi, sementara tugas Pemerintah Kota Palu hanya sebatas memantau dan melaporkan saja.
“Kalau ada pelanggaran ya kami laporkan, terserah Provinsi mau menindak atau tidak,” katanya.
Hal senada juga disampikan Kepala Seksi Konservasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Tahura Sulteng, Nurudin bahwa tingkat kerusakan Tahura Sulteng yang diakibatkan pertambangan emas ilegal sebesar 0,67 persen dari luasan 7.128 hektar atau sekitar 47 hektar.
“Data tersebut berdasarkan hasil pemetaan Tim Investigasi Pemerintah Kota Palu,” katanya.
Tulisan ini telah diterbitkan, Media Alkhairaat, Sabtu, 15 Oktober 2016, dan diedit untuk dimuat kembali di Jaring.id.