PALU, MERCUSUAR – Seakan bukan hal baru lagi bagi Wisran, warga Kelurahan Watusampu, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu melihat warga bertikai di kelurahan itu karena masalah tambang. Ia sudah melihat kejadian tersebut berkali-kali.
Terakhir yang paling parah saat salah seorang warga setempat meninggal dunia saat dirawat di salah satu rumah sakit. Menurutnya, kematian warga tersebut tidak wajar karena saat ditahan kondisinya baik-baik saja. Tetapi setelah di dalam penjara, korban jatuh sakit.
Wisran yang adalah tokoh pemuda di daerah itu, terpanggil untuk mengadukan persoalan tersebut ke LPS-HAM dengan alasan pihak kepolisian dianggap lamban menyelamatkan korban.
“Namun kematiannya tidak ada yang mengatahuinya, media juga tidak pernah memuat kasus ini,” kata Wisran.
Wisran bercerita, sebelumnya korban ditangkap aparat Kepolisian karena diketahui menimbun solar. Sebenarnya, korban tidak sendiri kala itu, melainkan bersama warga lainnya. Praktik itu menurut Wisran sudah lama terjadi.
Solar dikumpulkan lalu dijual ke perusahaan tambang Galian Batuan. Solar biasanya diperoleh warga dari hasil menarik kapal tongkang, lalu sebagai ucapan terima kasih, warga diberikan beberapa galon solar.
Saat ditangkap petugas kepolisian, korban sempat membantah memiliki solar ilegal. Ia beralasan solar itu dibelinya secara langsung dari warga yang mendapat upah menarik kapal tongkang. Ia mengumpulkannya dan berencana menjualnya.
“Jangan tanya keuntungan, sejauh ini perusahaan sangat membutuhkan solar untuk menggerakkan alat-alat beratnya. Namun yang menjadi semakin tidak terkendali, praktik tersebut sulit dihilangkan karena ada oknum aparat penegak hukum juga mengambil peran,” ujarnya.
“Mereka menangkap warga yang menjual solar dari hasil patroli, lalu solarnya ternyata para oknum jual kembali sama perusahaan,” kata Wisran.
Cerita Wisran adalah gambaran kecil dari persoalan yang terjadi di wilayah galian bantuan. Selain hak masyarakat yang tidak terpenuhi sebagai yang terkena dampak, pertikaian di daerah itu kerap terjadi karena berbagai kepentingan yang muncul, baik itu kepentingan warga, aparat desa, pemerintahan daerah, dan penegak hukum.
Menjanjikan Rumah Ibadah
Beberapa perusahaan ketika akan masuk ke daerah ini memang mengadakan sosialiasi. Mereka malah menjanjikan akan membangun rumah ibadah serta memberikan bantuan lain. Tapi itu hanya isapan jempol. Dari banyak perusahaan itu, hanya satu saja yang menepati janji. Sebuah masjid telah selesai dibangun oleh seorang pemilik galian batu yang sudah lama menjadi penambang di daerah itu. Kabarnya, ia juga sudah membiayai beberapa warga setempat menunaikan ibadah haji.
Namun, menurut Direktur Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Sulteng, Dedi Irawan, tindakan itu tidak bisa dibenarkan. Perusahaan galian batuan mencoba menarik simpati warga dengan masuk dalam lingkup agama agar aksi ekploitasinya berjalan lancar.
“Hal itu tidak benar. Tidak bisa membawa-bawa nama agama kalau mau mengeksploitasi seperti itu. Itu adalah praktik yang sering dilakukan para pemilik perusahaan untuk mendapatkan kepercayaan warga,” tandas Dedi.
Upaya Perbaikan
Kamil Badrun, selaku Ketua Asosiasi Pengusaha Tambang (Aspeta) Sulteng mengakui jika selama ini perusahaan galian batuan masih lalai melaksanakan kewajibannya. Namun, ia tetap berusaha agar ke depan perusahaan lebih peduli pada kewajibannya.
Ia mengatakan rasa ketidakpeduliaan itu dapat dilihat dari masih kurangnya perusahaan memberikan bantuan sosial kepada masyarakat. Sebagian perusahaan belum melakukan penghijauan. Menurut dia, ada beberapa perusahaan juga yang masih kekurangan dana.
“Dalam keanggotaan kami, masih ada perusahaan ekonominya lemah. Untuk berinvestasi galian batuan membutuhkan dana yang besar. Maka, tidak heran bila ada perusahaan galian yang berhenti di tengah di jalan setelah melakukan eksplorasi,” katanya.
Hal tersebut, katanya, memperpanjang daftar persoalan yang disebabkan perusahaan galian batuan. Untuk bantuan Corporate Social Responsibilty (CSR), menurut Kamil, tidak semua perusahaan memberikan jumlah yang sama kepada warga. Bantuan tersebut berdasarkan kesepakatan dengan warga setempat.
“Saya tidak bisa menjelaskan berapa dana yang diberikan tiap-tiap perusahaan kepada pemerintah desa. Ada desa yang diberi Rp 15 juta per bulan,” ungkap Kamil.
Untuk memperbaiki semua itu, pihaknya berusaha selalu mengingatkan para pemilik perusahaan agar terus meningkatkan kepedulianya terhadap warga sekitar lokasi tambang.
Tetapi, menurutnya, saat ini situasi keuangan perusahaan sedang krisis akibat rendahnya permintaan dari pasar terbesar seperti, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Papua. Karena penyebab itu pula, beberapa perusahaan terpaksa merumahkan karyawannya.
Padahal diakuinya, material batu dari Palu sudah dikenal luas warga Kalimantan akan kualitasnya. Bahkan, material batu asal Palu dimasukkan sebagai standar batu oleh pemerintah setempat untuk pembangunan jalan. Sirtu berasal galian batuan, juga membantu pembangunan gedung di Kota Palu, yang terbesar yakni, untuk pembangunan Bandara Mutiara Sis Al-Jufri Palu.
“Walaupun begitu, keuntungan mereka sebelum itu kan besar. Jadi meskipun tahun ini perusahaan kesulitan uang, setidaknya keuntungan tahun lalu bisa diberikan kepada masyarakat,” imbuhnya.
Kamil juga telah mendorong agar setiap perusahaan memberikan bantuan pendidikan berupa beasiswa dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk warga sekitar.
“Sudah ada perusahaan yang menyekolahkan warga sekitar. Tapi sifatnya masih satu-dua perusahaan. Ke depan kami ingin bantuan seperti itu bertambah lagi,” kata Kamil.
Sayang, ketika ditanya soal berapa keuntungan perusahaan per tahun, Kamil yang juga memiliki perusahaan galian batuan dengan nama Radar Stone berlokasi di Kabupaten Donggala ini, menolak menjawabnya dengan alasan belum cukup memiliki data untuk itu. Namun, ia mengakui keuntungan yang dihasilkan setiap perusahaan cukup besar.
Tulisan ini telah diterbitkan di Mercusuarnews.com, 10 Oktober 2016, dan diedit untuk dimuat kembali di Jaring.id.