JAKARTA, JARING – Jurnalisme investigasi untuk isu human trafficking (perdagangan manusia) harus dikembangkan dan terus didorong. “Media punya peran yang sangat penting untuk mendidik orang tentang berbagai hal terkait perdangan manusia,” kata Maria Hartiningsih, wartawan senior, di hadapan peserta Fellowship untuk Jurnalis: Liputan Investigasi Perdagangan Manusia, Sabtu (27/8) di Jakarta.
Maria mendorong para wartawan untuk tidak menulis cerita di bagian ujungnya saja, ketika sudah terjadi korban. “Ada persoalan di hulu. Tugas jurnalisme membongkar di awal. Sebab, ada tugas yang tidak dikerjakan negara sebagai pemerintah,” kata Maria.
Dia sepakat bahwa hak untuk bekerja adalah hak asasi manusia. Siapa pun bebas untuk bekerja di mana pun juga. Namun, negara juga harus menjamin hak warganya untuk mendapatkan pekerjaan di negerinya sendiri. “Tugas pemerintah adalah menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau tidak dibongkar dari sini, pemerintah akan senang saja. Mereka tidak mengerjakan tugasnya untuk mengurangi pengangguran,” kata Maria.
Pekerjaan bukan cuma untuk yang berpendidikan, tapi juga untuk yang tidak berpendidikan. Sebagian besar rakyat Indonesia hanya mengenyam pendidian kurang dari enam tahun masa sekolah.
Lebih lanjut Maria mengatakan hak untuk bekerja itu bisa terjadi jika dilindungi secara penuh. Yang terjadi saat ini adalah tidak perlindungan terhadap warga negara yang bekerja di luar negeri. Pemeirntah baru tahu ketika organ tubuh warganya sudah diperjualbelikan. Padahal, target devisa negara dari buruh migran terus berkembang. “Buruh migran dijadikan komoditas,” ujar wartawan senior yang bekerja di Kompas hingga 2015.
Maria mengingatkan bahwa sebagai jurnalis, kita harus menerapkan perspektif HAM dalam pelaporan. “Satu pun yang meninggal, itu tetap manusia. Jumlah bukan masalah. Kita wajib memperjuangkan hak-hak dia, hak untuk hidup,” katanya.
Peliputan yang Lemah
Maria juga mengkritik sikap media yang lemah terhadap isu perdagangan manusia ini. “Beberapa media bahkan tidak menyadari fenomena trafficking, atau bingung dengan isu-isu lain seperti migrasi ilegal dan penyelundupan orang asing atau orang dari negara lain,” kata Maria dalam presentasi materi. Padahal, Media berperan sangat penting untuk memobilisasi publik dan terlibat untuk membantu mencegah dan memberantas human trafficking.
“Opini publik dan peliputan media sangat berkaitan, sekaligus berdampak langsung pada kebijakan. Sangat penting bagi konsumen untuk mengamati dengna baik gambaran permukaan dari peliputan berita untuk mendapatkan jawaban yang benar,” tuturnya. Pada konsumen yang hanya menelan berita tanpa kekritisan, pemberitaan yang keliru malah menjadi sumber gosip.
Menggarap isu perdagangan manusia ini membutuhkan kerja yang lebih keras daripada kerja jurnalistik standar. Eksekusi dan penulisan laporannya pun harus memperhitungkan hak-hak asasi manusia dengan perspektif relasi-kuasa yang kuat karena sebagian besar korbannya adalah perempuan, anak perempuan dan anak laki-laki.
“Yang paling penting adalah memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak korban dan survivors atau penyintas, baik dalam penulisan laporan mau pun dalam melakukan kerja jurnalistik. Juga harus mampu mengidentifikasi pelaku,” Maria menjelaskan.
Maria juga berpesan agar jurnalis tidak menuliskan hanya tentang situasi muram, tapi juga yang membangun harapan. “Misalnya mewawancarai korban trafficking yang bangkit, tak hanya kembali hidup normal, tetapi juga menjadi sumber inspirasi karena mampu melawan keterpurukannya dengan kerja keras dan menghasilkan karya nyata. Kisah Ima Matul adalah satu di antaranya,” katanya.