Angin laut bertiup kencang saat Pungut Regge menyiapkan perahu berukuran 6×1,5 meter berkelir putih merah pada Minggu, 9 Februari 2025. Pagi itu, pria yang tinggal di Pulau Pari, Kepulauan Seribu ini buru-buru menyiapkan perahu karena hendak mengantar sejumlah mahasiswa yang tengah melakukan penelitian terhadap kerusakan ekosistem laut di sekitar gugusan Pulau Pari.
Perjalanan mengarungi laut sebelah utara Jakarta dilakukan mulai dari Pantai Pasir Perawan sampai Pulau Biawak. Dari kejauhan sudah terlihat rimbun hutan mangrove. Akar-akarnya menghujam kuat ke dasar laut, sehingga mampu menjadi tameng terhadap gelombang pasang yang mengikis Pulau Pari dari tahun ke tahun.
Baru seperempat jalan, lelaki berumur 53 tahun itu menunjuk bangunan resor wisata yang berada di ujung pulau. Bangunan-bangunan permanen yang akan menjadi penginapan tersebut berdiri di area reklamasi, meski belum sempurna. “Itulah tempat dimana reklamasi ilegal dilakukan,” pekiknya setelah melepaskan tangan dari stang kemudi kapal motor tempel.
Pulau tersebut dikelola oleh PT. Central Pondok Sejahtera sejak 17 April 2018. Dalam RDTR WP Provinsi DKI Jakarta 2022 pulau ini diperuntukan sebagai Sub Zona Taman Pulau Kecil (Sub Zona TPK). Kepada mahasiswa, Regge menceritakan bagaimana perusahaan berupaya menambah daratan dengan mengeruk pasir laut dangkal di Pulau Biawak. Aktivitas proyek ini yang kemudian dikeluhkan warga karena dapat mengakibatkan hutan bakau rusak.
Mula-mula, upaya pengerukan pasir dangkal terjadi pada 1 November 2024 lalu. Satu unit eskavator berwarna hijau tosca yang diduga milik PT CPS merangsek ke Pulau Biawak. Namun upaya tersebut berhasil digagalkan oleh warga. Dua bulan berselang, tepatnya pada 17 Januari 2025, pengerukan pasir laut dangkal pun kembali terjadi sekitar Pukul 14.00 WIB. “Pengerukan pasir laut sempat terjadi sekitar 1-2 jam, namun warga langsung menghadang aktivitas itu. Walau berlangsung singkat, dampak kerusakan ekosistem laut sangat lah parah,” sesalnya.
Pada awal Februari lalu, Jaring.id melihat langsung bagaimana dampak reklamasi terhadap mangrove. Sedikitnya mangrove seluas 1,37 hektar rusak. Khususnya di Gudus Lempeng—kawasan hutan mangrove di sebelah Pulau Biawak, ribuan pohon mangrove berusia tiga tahun yang sebelumnya di tanam oleh Forum Peduli Pulau Pari (FP3) bersama Kelompok Perempuan Pulau Pari musnah. “Di dalam kawasan Gudus Lempeng terdapat bekas mangrove yang dibakar. Tetapi mangrove yang ditanam warga tiga tahun lalu telah hilang. Warga menduga dicabut oleh pihak perusahaan pada malam hari,” ia menjelaskan.

Sebelum adanya praktik reklamasi ilegal, Regge mengungkapkan, kawasan hutan mangrove di Gudus Lempeng sangat lebat, sehingga sulit bagi manusia berkunjung maupun perahu bersandar. Namun kini kawasan Gudus Lempeng sudah mulai gundul. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, Pulau Pari telah kehilangan 11 persen dari total 43,2 hektar luas daratan pulaunya akibat abrasi.
Kerusakan ini tentu berdampak langsung pada kehidupan warga. Antara lain akses nelayan mencari ikan kerap terhalang proyek reklamasi. Pun dengan hasil tangkap menurun karena terumbu karang yang menjadi tempat berlindung ikan semakin berkurang. Sementara jumlah pohon mangrove yang kian menyusut tak lagi mampu menahan pesisir dari abrasi.
Tak hanya itu, menurut Regge, reklamasi ilegal telah merusak terumbu karang dan padang lamun. Akibatnya biota laut di Pulau Pari kini mulai jarang terlihat. “Walaupun proyek reklamasi ilegal itu sudah disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kerusakan lingkungan tidak mudah dipulihkan. Warga Pulau Pari lah yang sangat merasakan dampaknya. Baik dari sisi ekonomi maupun ruang hidupnya,” ujarnya sembari menepikan perahu.
Hal senada disampaikan perwakilan Kelompok Perempuan Pulau Pari (KP3), Asmania. Ia mengaku tak bisa membayangkan eskalasi kerusakan yang terjadi di Pulau Pari apabila warga tak langsung menghadang proyek tersebut. Meski merasa takut, menurutnya, saat itu eskavator yang sedang mengeruk pasir dangkal pada 17 Januari 2025 lalu dihentikan paksa oleh warga lintas usia. Beberapa perempuan Pulau Pari bahkan menyetop alat berat sembari membentangkan poster bertuliskan, “Kami yang Jaga, kalian yang Rusak.”
“Pengerukan pasir laut dangkal bisa kami gagalkan karena perjuangan bersama dari warga Pulau Pari,” ucapnya saat diwawancarai Jaring.id pada Jum’at, 7 Februari 2025.
Tiga hari pasca aksi penolakan itu, Asmania didatangi beberapa laki-laki berperawakan kekar dengan rambut cepak. Salah satunya menyarankan agar Asmania dan warga menyudahi perlawanan dan menerima kompensasi. Namun saat itu, Asmania menolak dengan tegas. Baginya, perjuangan untuk menghentikan upaya pengrusakan ekosistem laut Pulau Pari bukan sekadar demi penghidupan warga, melainkan warisan bagi generasi Pulau Pari selanjutnya. “Kelestarian Pulau Pari adalah hal utama. Kita harus menjaganya demi anak-cucu generasi penerus kita,” ujarnya.
Ia berharap sejumlah pihak, termasuk polisi dan tentara tidak lagi berada di sekitar Pulau Biawak, juga pulau lainnya untuk sekadar mencari informasi maupun membagikan sembako. Warga, ia menegaskan, tidak takut karena sudah bersepakat menolak proyek di sekitar pulau.

Terlebih, lanjut Asmania, praktik reklamasi yang dilakukan tidak memiliki legal standing. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP pun telah menghentikan kegiatan reklamasi usai menindaklanjuti dugaan pelanggaran pemanfaatan ruang laut oleh PT CPS di Pulau Pari. Penghentian itu ditandai dengan pemasangan spanduk bertuliskan, “Penghentian Kegiatan Reklamasi dan Pemanfaatan Ruang Laut Tanpa PKKPRL” berwarna merah.
Sebelumnya, izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 12 Juli 2024, hanya memperbolehkan PT CPS membangun cottage apung dan dermaga wisata seluas 180 hektar.
Berdasarkan kajian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menggunakan metode digitasi manual dengan citra Sentinel 2A & 2B, menemukan bahwa luas daratan Pulau Biawak telah bertambah ± 0,9 hektare area sejak 2016 hingga 2024. Pertambahan luas daratan tersebut berbanding lurus dengan berkurangnya/degradasi luas mangrove sebesar ±0,21 hektar di pulau tersebut.
“Kiara melihat bahwa apa yang terjadi saat ini di Pulau Pari merupakan tindakan kelalaian yang disengaja yang dilakukan oleh KKP, bahkan Menteri Kelautan dan Perikanan telah melakukan pembiaran perusakan perairan untuk reklamasi dan kerusakan lainnya di gugus perairan Pulau Pari,” ungkap Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati dalam siaran pers pada 26 Januari 2025.
Muhammad Aminullah dari Divisi Kampanye Walhi Jakarta menilai kerusakan ekosistem laut di Pulau Pari merupakan imbas dari kebijakan pemerintah yang ingin mengembangkan pariwisata kelas dunia di Kepulauan Seribu. “Ingin diubah layaknya Maldives Beach,” ungkapnya kepada Jaring.id pada Kamis, 13 Februari 2025. Laki-laki yang akrab disapa Anca mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 9 Tahun 2022. Isinya, Kepulauan Seribu dijadikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan fokus pengembangan pariwisata.
“Pendekatan pembangunan wilayah pesisir dengan sistem top to down dapat berdampak negatif. Pemerintah kerap abai dalam mengakomodir kebutuhan dan kepentingan masyarakat pesisir. Hanya mengutamakan kepentingan pemilik modal,” pungkasnya.
Akibatnya, kata Anca, ribuan warga Pulau Pari menjadi termarjinalkan akibat masifnya pembangunan di wilayah pulau. “Reklamasi ilegal Januari lalu menjadi bukti pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat,” tutupnya.
Padahal selama ini Pulau Pari menjadi salah satu destinasi yang digandrungi wisatawan lokal maupun internasional. Merujuk laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), pada 2021 Pulau Pari berhasil memikat 30.531 wisatawan, jumlah itu menjadi yang tertinggi dibandingkan pulau wisata lainnya di Kepulauan Seribu. Pada tahun 2024, jumlahnya meningkat menjadi 103.382 wisatawan.
Di sisi lain, Pulau Pari merupakan ladang penghidupan bagi sekitar 3.805 penduduk yang mayoritasnya berprofesi sebagai nelayan tangkap maupun budidaya. Oleh sebab itu, mereka menolak dengan keras upaya pengrusakan ekosistem laut di gugusan Pulau Pari. Pasalnya, tanpa perusakan ekosistem laut pun para nelayan kini sudah susah memperoleh ikan. Hal ini diakui nelayan setempat, Mustaghfirin—akrab disapa Boby.
Pada Sabtu, 8 Februari 2025 lalu ketika matahari tepat berada di atas kepala, ia terlihat baru saja pulang sehabis melaut. Di pekarangan rumah seluas 4×1,5 meter itu ia kemudian menumpahkan karung berisi pelbagai jenis ikan hasil tangkapan. Pria berusia 53 tahun itu mengungkapkan bahwa terpaksa pulang melaut lebih dini karena cuaca sedang tidak bersahabat. “Terpaksa pulang karena di laut angin sedang kencang dan ombaknya juga besar,” ucapnya dengan raut wajah lelah.
Alhasil, hari itu, ia hanya membawa pulang ikan seberat 5,1 kilogram. “Dijual paling dapat Rp161.000,” ucapnya. Dengan perolehan sebesar itu, Boby mengaku hanya mengantongi Rp110.000. Sisanya adalah ongkos perjalanan melaut yang menghabiskan sekitar 5 liter solar seharga Rp50.000.
Profesi sebagai nelayan sudah dilakoni Boby sedari muda. Keluarga besarnya sudah berpuluh tahun mengandalkan hasil tangkapan ikan sebagai mata pencaharian. Namun, kata dia, perolehan nelayan kini kian menyusut. Hal itu diperparah dengan pengrusakan ekosistem laut di Pulau Pari. Reklamasi ilegal beberapa waktu lalu mengakibatkan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang merupakan tempat hidup biota laut rusak. “Akibatnya daerah tangkapan ikan nelayan semakin jauh. Dahulu, nelayan Pulau Pari mencari ikan tidak jauh dari bibir pantai karena ekosistem laut masih terjaga. Kalau sekarang makin susah buat cari ikan,” keluhnya sambil melempar pandangan ke tengah laut. (Lalu Adam Farhan Alwi & Zahra Pramuningtyas)