Dari Indeks HAM Sampai Femisida, Rapor Merah HAM era Jokowi

Indeks HAM Indonesia pada 2024 tercatat mengalami penurunan dibandingkan 2023. Peneliti SETARA Institute, Sayyidatul Insiyah mengatakan skor rata-rata untuk seluruh variabel pada Indeks HAM 2024 adalah 3,1. Angka ini turun 0,1 dari indeks HAM tahun lalu. 

Indeks HAM ini disusun dengan mengacu rumpun hak yang tercantum dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Indeks HAM menetapkan enam indikator, yakni hak sipil dan politik (sipol), serta lima indikator pada hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob).

 

Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat Paling Anjlok dalam Indeks HAM 2024

Sayyidatul mengatakan skor indikator hak atas rasa aman, yaitu dari 3,6 pada tahun 2019 menjadi 1,1 pada akhir kepemimpinan periode kedua Presiden Joko Widodo. Kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berbasis UU ITE, tindakan represif atas penyampaian pendapat, pembubaran diskusi publik, pengerdilan terhadap kebebasan akademik, hingga kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender merupakan rentetan peristiwa yang menjadikan rendahnya skor pada indikator ini.

“Iklim demokratis yang dibangun masyarakat dalam ruang-ruang konstruktif pada tahun politik banyak direngus. Intimidasi dan sabotase aksi Global Climate Strike di Jakarta, pembubaran diskusi tokoh dan aktivis nasional dalam Forum Tanah Air di Kemang, hingga pembubaran bahkan pengusiran Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (I Gede Palguna) dalam Forum Air untuk Rakyat di Bali dan terdapat 61 kasus kekerasan kepada jurnalis sepanjang 2024,” ujarnya. 

“Setidaknya mempertontonkan bahwa telah terjadi upaya pemberangusan terhadap tokoh nasional yang berpotensi mengancam individu maupun masyarakat sipil untuk tidak bersuara lantang dalam mengkritisi dinamika ketatanegaraan saat ini,” ia menambahkan.

Sayyidatul menjelaskan bahwa penurunan indeks HAM semasa pemerintahan Jokowi terjadi sepanjang tahun, terutama pada periode kedua 2019-2024. Dari skala 1-7, Jokowi tidak pernah menyentuh angka moderat 4. Pada akhir periode pertama 2014-2019, Jokowi sempat menyentuh angka 3,2 tetapi turun ke 2,9 pada masa pandemi tahun 2020.

Sementara itu, skor indikator kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) pada Indeks HAM tahun ini terpatok 3,2. Angka tersebut menandakan adanya peristiwa dan pelanggaran KBB yang cukup tinggi di era kepemimpinan Jokowi. Sepanjang dekade pemerintahan Jokowi dari tahun 2014-2023, terjadi 1.792 peristiwa dan 2.815 tindakan pelanggaran KBB.

“Misalnya, Penolakan sekolah kristen di Pare-Pare oleh DPRD, pembiaran aparat terhadap penolakan perayaan Asyura di Kabupaten Bandung, hingga pembatalan kegiatan Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan,” ucapnya.

Gangguan tempat ibadah, lanjutnya, masih terus mengalami peningkatan dalam pemerintahan Jokowi, yaitu 65 gangguan tempat ibadah di tahun 2024, 50 tempat ibadah pada tahun 2022, 44 tempat ibadah di tahun 2021, 24 tempat ibadah pada 2020. Masifnya gangguan terhadap tempat ibadah merefleksikan rendahnya komitmen negara dalam mengakomodir ruang-ruang spiritualitas atas keyakinan terhadap agama dan kepercayaan.

 

Perampasan Wilayah Adat Demi Investasi 

Alih-alih menyelesaikan, pemerintah justru menjadi pelaku perampasan wilayah adat. Sedikitnya terdapat 2.939 kasus konflik agraria di era Presiden Jokowi atas nama Proyek Strategi Nasional, Presiden Jokowi telah menyebabkan 1334 konflik agraria seluas 571 hektar. Di satu sisi, pemerintah justru melanggengkan 537 perusahaan sawit tanpa HGU, yang artinya 25 juta hektar sawit, hanya 10,13 juta hektar sawit yang mengantongi izin HGU. 

“Penghormatan terhadap masyarakat adat seolah hanya dimaknai sebagai peragaan busana adat pada setiap seremoni kenegaraan,” ungkap Sayyidatul.

Pengakuan wilayah adat menjadi hal paling esensial dalam menghormati keberadaan masyarakat adat. Perampasan wilayah adat mencapai 2,5 juta hektar disertai kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

Oleh sebab itu, untuk memperbaiki indeks HAM tahun mendatang, SETARA Institute merekomendasikan beberapa kebijakan untuk dapat diperhatikan oleh Presiden Prabowo Subianto agar dapat mewujudkan pemajuan HAM. Antara lain, bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mendorong pengesahan RUU yang kontributif pada pemajuan HAM, seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU tindakan Pidana Perdagangan Orang, sekaligus meninjau ulang regulasi yang kontraproduktif terhadap pemajuan HAM, seperti RUU Penyiaran, maupun upaya pelemahan checks and balances seperti RUU Mahkamah Konstitusi.

SETARA Institute juga mendesak agar Prabowo menghentikan pelbagai Proyek Strategi Nasional (PSN) yang menjadi sumber konflik di tengah masyarakat. Kata dia, pengamanan terhadap PSN mengakibatkan kriminalisasi berulang dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat maupun aktivis lingkungan. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan hak restitusi kepada korban proyek PSN.

 

Femisida: Angka Pembunuhan Terhadap Perempuan Meningkat

Angka kasus femisida di Indonesia tinggi. Menurut Komnas Perempuan femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Femisida muncul karena didorong oleh superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, ataupun misogini terhadap perempuan, serta rasa kepemilikan terhadap perempuan. Femisida juga berhubungan dengan ketimpangan relasi kuasa dan kepuasan sadistis.  

Berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, terdapat 290 kasus femisida di akhir masa pemerintahan Jokowi, mulai 1 Oktober 2023 hingga 31 Oktober 2024. Angka itu diperoleh dari data sekunder berupa pemantauan pemberitaan media daring.

Salah satu kasus yang belum lama terjadi adalah pembunuhan Dini Sera Afriyanti oleh pacarnya, Ronald Tannur. Pembunuhan ini terjadi pada 3 Oktober 2023, tapi kembali diperbincangkan setelah hakim yang memvonis bebas Ronald terjaring operasi tangkap tangan yang digelar Kejaksaan Agung.

Meski begitu, Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan bahwa data tersebut belum bisa menggambarkan seluruh kasus femisida yang terjadi di Indonesia. Sebab, sampai saat ini Indonesia belum memiliki data nasional yang berhubungan dengan femisida. “Data ini menjadi basis bahwa femisida itu ada,” katanya, Sabtu, 14 Desember 2024. 

Komisioner Rainy Hutabarat menyampaikan data kasus kasus kekerasan pada perempuan yang berujung kematian masih luput. “Sebab tindakan kekerasan pada perempuan masih dianggap kriminal biasa,” ujarnya.

Karenanya Komnas Perempuan menganggap penting melakukan penelusuran kasus melalui pemberitaan. Dalam penyisiran ini, Komnas Perempuan memiliki sejumlah indikator yang dapat membedakan kasus femisida dengan yang lain. Pertama ialah pembunuhan dengan unsur kebencian atau kontrol atas perempuan. Kedua, penghinaan atas tubuh dan seksual perempuan. Ketiga adalah pembunuhan atau penganiayaan yang dilakukan sebagai akibat eskalasi kekerasan dan ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. 

Indikator lain ialah perlakuan terhadap tubuh atau jenazah korban yang bertujuan merendahkan martabat mereka. “Atau sampai ditelanjangi. Walaupun sudah meninggal, korban tetap dipermalukan,” ujarnya. 

Siti Aminah menyebut bahwa hasil pemantauan menunjukan kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat. Sementara pelakunya adalah orang terdekat, seperti suami, mantan suami, pacar, dan mantan pacar. 

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.