Membaca Jurnalisme Pacuan Kuda

Setiap kali berlangsung kontestasi politik, baik Pemilihan Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), fenomena yang sama selalu terjadi, yakni media mengerahkan liputan pacuan kuda (horse race coverage). Simaklah ketika media menyajikan laporan tentang bagaimana kandidat pasangan gubernur, wali kota, dan bupati tertentu meraih angka dukungan lebih tinggi daripada pasangan lain. Gejala serupa juga berlangsung ketika awak media melakukan peliputan Pilpres. 

Hampir semua media mereduksi kompleksitas persoalan dalam kontestasi politik hanya menjadi siapa yang menjadi pihak yang menang dan siapa pula sosok yang bakal menjelma sebagai pecundang. Dan, tampaknya, itulah yang diharapkan dan menjadi kebiasaan publik untuk sekadar menyimak para kandidat berperan sebagai figur-figur dalam arena balap kuda.

Tentu saja, media merujuk fenomena keunggulan-kekalahan kandidat itu dari berbagai lembaga survei. Institusi-institusi yang menyelenggarakan jajak pendapat publik (public opinion poll) itu melakukan riset untuk menghitung berapa banyak (persen) kelompok masyarakat yang memiliki preferensi pada kandidat tertentu. Dari situ, maka muncullah angka-angka statistik yang mendeskripsikan kandidat tertentu mendapatkan tingkat keterpilihan yang dominan atau sebaliknya. Sebenarnya, tidak hanya angka-angka tingkat keterpilihan yang ditampilkan dalam survei. Sejumlah pertanyaan mengenai popularitas kandidat, persepsi terhadap lembaga-lembaga negara, penilaian terhadap kondisi ekonomi, evaluasi terhadap situasi politik, dan komentar mengenai keadaan sosial juga dikemukakan. 

Namun, dalam liputan tentang kontestasi politik tersebut, media hanya lebih berfokus pada perolehan angka-angka dukungan bagi para pasangan kandidat. Hal ini dapat disimak secara cermat pada Pilpres yang diselenggarakan pada Februari 2024 sebagaimana judul-judul berita ini mendeskripsikannya seperti berikut: Survei Indikator: Prabowo-Gibran Unggul “Head to Head” Lawan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud (Kompas.com, 19 Januari 2024); Survei CSIS Prabowo-Gibran Unggul di 8 Zona Pemilih, Ini Detailnya (Detik.com, 27 Desember 2023); Survei Indikator Politik: Prabowo-Gibran Unggul 56,2 Persen di Jatim (CNN Indonesia, 1 Februari 2024); Survei SPIN: Elektabilitas Prabowo-Gibran tembus 54,8 persen (Antara, 10 Februari 2024); dan, Quick Count PRC Sudah 100%, Prabowo-Gibran Unggul 59,22% (CNBC Indonesia, 18 Februari 2024).

Gejala serupa pun bergulir ketika momentum Pilkada serentak dijalankan pada November 2024. Sejumlah judul semacam ini gampang ditemukan dalam aneka pemberitaan media, yakni: Andika Unggul Tipis dari Luthfi dalam ”Margin of Error” (Kompas, 4 November 2024); Hasil Survei 4 Lembaga: Peluang Mas Pram-Bang Doel Menang Satu Putaran Terbuka Lebar (sindonews.com, 20 November 2024); Elektabilitas Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan di Pilgub Jabar Masih Unggul, Begini Kata Pakar (liputan6.com, 15 Oktober 2024); H-7 Pilkada Jatim: Elektabilitas Khofifah-Emil Unggul di 3 Lembaga Survei (tempo.co, 20 November 2024); dan Airin-Ade Unggul, Andra-Dimyati Optimalkan Koalisi Gemuk (Kompas.id, 15 Oktober 2024). Kata unggul acap kali hadir dalam judul-judul berita tersebut.

Pertanyaannya adalah mengapa kalangan jurnalis lebih memilih liputan pacuan kuda? Sebab, dengan cara itulah, jurnalis mampu menunjukkan nilai konflik yang terjadi pada peristiwa kontestasi politik. Sementara apa yang disebut dengan kontestasi politik merupakan rumusan lain dari kompetisi politik dan persaingan di antara para kandidat, maka di dalamnya berlangsung pertikaian dan saling baku hantam. 

Tentu saja, bentuknya bukan dalam pertarungan fisik, melainkan saling serang dalam wujud retorika. Kandidat yang lebih ofensif mendapatkan keriuhan sambutan dari para pendukungnya. Sebaliknya, kandidat yang berkedudukan lebih defensif juga memperoleh sokongan untuk terus bertahan. Konflik adalah kunci pada setiap peristiwa yang diseleksi, ditampilkan, dan lalu ditonjolkan oleh para jurnalis. Bahkan, bisa ditegaskan bahwa konflik merupakan nilai berita tertinggi dalam peristiwa-peristiwa politik. Terlebih lagi kosa kata yang tersedia dalam arena politik menunjukkan tentang siapa yang menjadi petahana (incumbent) dan siapa pula yang menjadi penantang (challenger) dengan begitu gampang diformulasikan.

Angka-angka keunggulan maupun kekalahan yang ditampilkan oleh para jurnalis untuk setiap kandidat yang bertarung sedemikian meyakinkan. Deretan statistika itu menjadi bahasa yang sulit terbantahkan. Pada satu sisi, para jurnalis bisa mengklaim bahwa data yang mereka sajikan memang benar-benar ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Apalagi, yang menjalankan jajak pendapat itu adalah lembaga-lembaga survei kenamaan yang sulit disangkal kredibilitasnya. 

Hanya saja, pada sisi lain, apa yang paling mungkin dikhawatirkan adalah jurnalis dengan begitu saja memamah biak hasil survei dari aneka lembaga yang baru muncul pada saat kontestasi mendekati momentum pemungutan suara. Aneka survei opini publik semacam ini bisa jadi sekadar dikehendaki untuk menciptakan dampak ikuti saja siapa yang sedang menjadi pemenang (bandwagon effect) bagi masyarakat awam. Tanpa kekritisan jurnalis dan masyarakat, seakan-akan semua angka adalah bahasa yang sangat meyakinkan. Padahal, bisa jadi semua itu adalah jajak pendapat palsu, sekadar bernilai abal-abal yang tidak lebih pantas disebut sedang membual.

Survei abal-abal itu mungkin saja terjadi. Sebabnya adalah konsumen media sudah dibiasakan dan pada akhirnya terbiasa untuk melahap pemberitaan mengenai kontestasi politik dari sudut pandang yang telah di simplifasikan menjadi siapa yang unggul dan bakal menjadi pemenang dan siapa yang tertinggal yang akan keluar sebagai pecundang. Pacuan kuda adalah metafora yang menunjukkan bahwa berita politik masuk dalam logika liputan olahraga. Dalam peristiwa olah raga, terutama olahraga yang mengerahkan pertarungan fisik, adegan-adegan baku pukul dan saling membanting lawan merupakan hiburan yang mengasyikkan. Pada olahraga, siapa yang menang dan siapa yang kalah menjadi oposisi biner yang telah menjadi keniscayaan. Pendukung bagi kalangan pihak yang menang bersorak riang. Sebaliknya, pendukung bagi pihak yang kalah hanya terdiam diliputi kemarahan.

Demikian pula apa yang berlangsung pada jurnalisme pacuan kuda. Di sana tersedia bagi konsumen media yang sebenarnya sudah memiliki preferensi politik dan dukungan terhadap kandidat tertentu untuk bersorak gembira atau terbisukan dalam kenestapaan. Hal paling penting yang bisa diterka dari jurnalisme pacuan kuda adalah kerumitan politik disederhanakan menjadi sekadar pertarungan bagi dua atau lebih kandidat yang saling baku serang.

Problem itu juga menandakan bahwa jurnalisme pacuan kuda menjadikan masyarakat mengalami depolitisasi. Artinya, masyarakat memang sengaja dijauhkan dari kompleksitas politik yang seharusnya ditangani secara serius. Penampilan fisik calon, luapan kedangkalan retorika, dan tata busana para kandidat memang lebih mempesona daripada sekian banyak visi, misi, dan program-program yang hanya terpelanting menjadi janji-janji yang muskil direalisasikan. Jurnalisme pacuan kuda, dengan begitu, tampaknya telah menjadi kanal terbaik bagi massa dan konsumen media untuk melampiaskan hasrat keterasingan politik yang semakin merebak di mana-mana.

 


Triyono Lukmantoro, dosen Komunikasi Politik pada Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

Dua Wajah Retorika Gibran Rakabuming Raka

Pada debat calon wakil presiden yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 22 Desember 2023 itu, Gibran Rakabuming Raka dipandang sebagai pemenangnya. Muhaimin Iskandar, seorang politisi

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.