Jam besuk kedua di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II Pandeglang, Banten baru saja mulai. Siang itu, lebih dari dua bulan lalu, Rabu, 23 Agustus 2023, suasana di luar penjara sudah cukup ramai. Sejumlah orang yang berkerabat dengan narapidana tampak bercengkrama. Mereka lalu dibiarkan menunggu oleh sipir di ruang seluas 6 x 5 meter setelah melalui pos pemeriksaan.
Selang beberapa waktu, satu per satu narapidana yang mendapat kunjungan datang mengenakan kaos wangki biru bertuliskan “narapidana.” Beberapa dari mereka tak bisa menutupi rasa semringah. Sebagian lagi tak malu ketika berpelukan sambil menangis, juga disuapi makanan rumah. Beberapa orang lain memilih untuk berbicara pada seseorang di ujung telepon.
Di antara narapidana yang mendapat kunjungan siang itu adalah Alwi Husein Maolana. Pria usia 21 ini sedikit heran dan bertanya-tanya ketika ditemui bukan oleh keluarganya. “Karena yang paling sering berkunjung itu kakak dan kakak ipar. Kalau ibu sudah mulai jarang,” ungkapnya sebulan setelah divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Pandeglang, Banten pada Jumat, 14 Juli 2023.
Alwi adalah narapidana kasus penyebaran video asusila, antara dirinya dengan perempuan yang sudah dikenal sejak bangku sekolah, Rita—sebut saja begitu. “Saya tidak menyebarkan video. Hanya mengirimkan video yang diatur dapat dilihat sekali klik saja. Tapi ternyata masih dapat disimpan dan itu yang membuat saya sampai di sini,” Alwi mengklaim.
Atas perbuatan tersebut Alwi dihukum 6 tahun penjara karena melanggar Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada pertengahan Juli 2023 lalu. Ketua Majelis Hakim PN Pandeglang, saat itu, Hendy Eka Chandra juga menjatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk menggunakan dan memanfaatkan perangkat komunikasi elektronik berbasis internet selama delapan tahun.
“Saya lagi apes saja, makanya dihukum maksimal,” ujar Alwi menanggapi vonis penjara dengan air muka datar sambil melemparkan pandangan ke sekeliling.
Sejak putusan tersebut anak dari mantan petinggi Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Pandeglang ini tak lagi dapat menikmati kemewahan yang lama dimilikinya, seperti kasur empuk dan alunan musik dari gawai miliknya. Di penjara, kata Alwi, tidak banyak hal yang bisa dilakukan. Senam pagi, beribadah, dan mengobrol dengan narapidana lain adalah sedikit dari beberapa kegiatan yang bisa dilakukan. Hal lain hanya tidur dan makan. “Apalagi kebanyakan di ruangan yang saya tempati hanya diisi oleh para lansia,” ujarnya.
Di kamar sel berukuran tak lebih dari 2 x 3 meter, Alwi harus berbagi tempat tidur dengan 12 narapidana lain. Di lain waktu ia bisa menempati ruang isolasi. “Saya sudah pindah kamar sel berkali-kali,” ucapnya.
Meski begitu, Alwi menyatakan tidak bisa berbuat banyak selain menerima putusan hakim. Sebab ia tak ingin mendekam di penjara lebih lama. “Apalagi kalau diproses dengan pasal lainnya, bisa lebih lama lagi di dalam penjara,” ujar dia. Terlebih, kata dia, kasusnya sempat menjadi sorotan publik. Tidak hanya oleh jurnalis, melainkan juga warganet. “Semua orang kepo dan sidang berjalan dengan ramai sekali pengunjung yang datang,” ia menambahkan.
***
Kasus penyebaran video asusila yang dilakukan Alwi bermula pada Agustus tahun lalu. Saat itu, Alwi mengirimkan sebuah video pendek berdurasi 8 detik ke salah seorang kakak dari Rita lewat direct message Instagram dengan fitur view once. Dengan begitu Alwi berharap video yang dikirim langsung hilang setelah dilihat penerima DM. “Tapi ternyata masih bisa disimpan,” ucap Alwi.
Sehari berselang, kakak Rita bernama Iman Zanatul Haeri dikabari ihwal video asusila yang diduga dilakukan oleh adiknya. Menurut Iman, video itu sengaja diedit menjadi empat layar, di mana tiga diantaranya menunjukkan foto-foto Rita. “Pada layar empat, adalah adik saya yang sedang dirudapaksa (tanpa ia sadari) dengan kamera dipegang pelaku,” urainya dalam sebuah utas di Twitter yang ditulis pada Senin, 26 Juni 2023.
Video tersebut direkam Alwi pada akhir 2021 di rumahnya. Diambil tanpa izin oleh pelaku saat keduanya tengah berhubungan badan. “Berkali-kali ia ambil, hanya untuk memastikan muka Alwi tak ikut terekam,” ujar Rita dengan lirih ketika ditemui di salah satu kedai kopi di Kemang, Jakarta Selatan.
Saat menceritakan kasusnya Rita berusaha menutupi identitas dengan mengenakan hoodie hitam, berkacamata, lengkap dengan masker. Perempuan usia 21 ini mengaku masih trauma bertemu orang banyak, apalagi di tempat umum. Saking tertekannya ia tampak terus merepih beberapa helai tisu di tangan hingga menjadi potongan kecil-kecil. Dengan ujung jari yang sama, ia sering menggaruk sisi luar dari kuku jempol tangannya hingga luka. “Ini masih ada bekasnya,” ucapnya sambil mengulurkan jarinya dengan bekas luka yang masih memerah.
Kemudian dari atas bangku sembari menyilangkan kedua tangan di atas meja, Rita menceritakan bagaimana hubungannya dengan Alwi bermula. Mereka berpacaran sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama pada 2015. Tapi hubungan itu tak lama. Hanya berlangsung tiga hari tersebab perangai buruk Alwi.
Kabar putusnya Rita dan Alwi kemudian sampai di telinga salah seorang guru. Belakangan ia meminta Rita agar mau berpacaran lagi. Mendengar permintaan gurunya itu Rita mengaku tak punya banyak pilihan selain berkata iya. “Misinya agar Alwi tidak tinggal kelas,” katanya mengulangi permintaan salah seorang gurunya.
Dan sejak saat itu, Rita benar-benar mengalami serangkaian tindakan buruk. Alwi tidak hanya memaksa Rita untuk berhubungan badan, tapi juga memvideokannya. Video itu lalu dijadikan senjata oleh Alwi untuk mengancam Rita. “Hanya untuk membuat dia (Rita) tetap di sini di dekat saya,” Alwi mengakui.
Karena itu sulit bagi Rita untuk melepaskan diri dari Alwi. Keduanya sempat berpisah beberapa saat, tapi Rita bersedia kembali karena tak ingin video yang disimpan oleh Alwi disebarkan ke orang-orang terdekatnya. “Sesekali Alwi berjanji untuk memperbaiki diri dan tidak lagi menyakitinya,” jelasnya. Namun, perangai buruk tersebut terus berulang. Lagi dan lagi. Alwi, menurut Rita, bak kesetanan ketika hendak dipenuhi keinginannya. “Saya sampai menggunakan pembalut agar dapat beralasan, tapi saya salah. Dia kembali memaksa bahkan dengan cara yang lebih kasar,” ungkapnya lirih.
Rita mengungkapkan bahwa tak kurang dari 5 tahun ia mengalami penyiksaan. Mulai dari dikunci di dalam mobil, diseret, dikatai, dan dipukuli. Sering kali pula Alwi mengancam sebarkan video intimnya ke akun-akun porno di Twitter. “Pernah sekali, dia meminta uang kepada saya hingga Rp700 ribu untuk beli games,” ujarnya. Bahkan, Rita mengaku pernah dilarikan ke unit gawat darurat rumah sakit setelah dipukuli Alwi.
“Aku diseret-seret, sehingga seluruh seragamku jadi kotor. Kepalaku dibenturkan ke dinding dan aku masih ingat betul aku diseret di tangga. Sakit. Sudut-sudut anak tangga rumahnya tampak di badanku. Lagi dan lagi,” ungkapnya sambil menahan air mata yang menggantung di sudut mata.
Tindak kekerasan tersebut terjadi di sebuah rumah dua lantai bercat krem yang terletak di Kelurahan Saruni, Kabupaten Pandeglang. Rita, ketika itu, diseret melewati permukaan jalan berkerikil. Tak ada seorang pun yang menolong, sekalipun sudah melontarkan tolong. “Di situ saya direkam dalam keadaan babak belur karena amukannya,” ia menambahkan.
Sejak kekerasan dan eksploitasi seksual itu Rita berkeras mencampakkan Alwi. Tapi yang ditinggalkan tak terima. Dari beberapa bukti percakapan terlihat bagaimana Alwi mengancam untuk menyebarkan video ke teman, dosen di mana Rita berkuliah, dan bahkan keluarga. Mula-mula, Rita merasa Alwi hanya menggertak. Tapi setelah kakaknya menunjukkan video tersebut, ia tak sanggup mengelak. Ia hanya bisa menangis dan meminta maaf, serta memohon kepada Iman—kakaknya, agar tidak melaporkan permasalahan itu ke polisi. Ia takut semua orang tahu dan berbalik merundungnya. “Namun kakak-kakak saya waktu itu memberi penjelasan bahwa hal tersebut sudah melanggar hukum, dan saya perlu diberi perlindungan dan support, sehingga harus dilaporkan,” katanya.
Pada Senin, 19 Desember 2022, Iman bersama pengacara hukum dari Rumah Bantuan Hukum (RBH) Banten akhirnya melaporkan Alwi dengan UU ITE alih-alih UU TPKS. “Selain hasil visum yang tidak mungkin dilakukan kepada adik saya. Saya dan pengacara juga bingung apakah UU TPKS sudah berjalan dengan baik,” ia bertanya-tanya mengenai aturan yang disahkan pada awal Mei 2023 lalu.
Setelah laporan, kata Iman, berita acara perkara (BAP) tuntas dalam tiga hari. Rita diperiksa tim penyidik dari Unit Cyber Crime Polda Banten. Semuanya laki-laki. Salah satunya bernama Okto. Kepada mereka, Rita menceritakan bagaimana tindakan ancaman, teror, dan eksploitasi seksual terhadapnya. “Saya cerita sambil menangis dan bergetar,” ungkap Rita. Namun tak satupun penyidik yang mengarahkan penyidikan ke pidana kekerasan seksual sesuai UU TPKS. “Bahkan saksi ahli hanya untuk pidana IT,” jelasnya.
Hingga pada 23 Februari 2023, polisi menangkap Alwi dengan tuduhan melanggar UU ITE. “Pemeriksaan yang pertama dilakukan secara daring tanpa pemberitahuan awal. Sedangkan pada sidang kedua dilakukan luring,” jelas Iman. Kasusnya kemudian diserahkan ke Kejaksaan Tinggi Negeri (Kejari) Pandeglang. Akan tetapi, menurut Iman, pihaknya tidak pernah mendapatkan salinan BAP dari Ditreskrimsus Cyber Crime Polda Banten. Ia pun mencurigai sikap Kejari yang langsung menyetujui berkas perkara dan menyatakan lengkap. Dengan begitu, Alwi hanya dianggap melanggar satu pasal, yakni Pasal 27 (1) UU ITE yang artinya hanya mendistribusikan konten yang melanggar kesusilaan.
Di samping itu Iman mempertanyakan jadwal sidang pertama yang digelar pada 16 Mei 2023. Sebab pihak keluarga tidak pernah diberitahu ihwal jadwal persidangan. “Saya hanya mengetahui sidang digelar pada tanggal itu dari laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP),” jelasnya.
Kejanggalan lain ialah saat pihak kejaksaan memampang nama lengkap adiknya dengan jelas di aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP). Sedangkan nama pelaku ditulis hanya dengan inisial. “Yang disamarkan justru nama pelakunya. Ini ada buktinya. Aneh,” ia terheran-heran.
Iman menangkap sejumlah kejanggalan lain selama persidangan. Persis pada saat persidangan dimulai, berkas persidangan tidak dapat ditemukan oleh tim penuntut umum dan satu unit handphone yang diklaim sebagai milik pelaku. Padahal, Rita tahu telepon genggam yang digunakan Alwi untuk merekam video tersebut bukan yang dihadirkan ke persidangan. “Pada saat briefing, saya juga didorong agar memaafkan pelaku,” jelas Rita.
Kepala Kejaksaan Negeri Pandeglang, Helena Octavianne tak menampik kendala yang terjadi saat proses persidangan. Namun ia menegaskan bahwa pihaknya sudah memberikan pendampingan selama proses persidangan. Antara lain menyampaikan edukasi hukum dan memberi akses ke posko keadilan bagi perempuan dan anak. “Kami beri saran dan nasihat hukum. Misal jika perlu atau tidaknya pengacara kepada pelaku maupun korban,” jelasnya saat ditemui, Rabu, 23 Agustus 2023.
Dalam penanganan kasus tersebut, kata Helena, mayoritas jaksa yang menangani kasus Rita mayoritas perempuan. Kelimanya berasal dari Kejati Banten dan Kejari Pandeglang. “Kejati Banten menunjuk tiga jaksa, setelah tahap dua, kami pihak Kejari menunjuk dua jaksa. Jadi ada lima jaksa, salah satunya Kepala Seksi tindak Pidana Umum, Nanin, Dessi, dan lainnya,” ia menerangkan.
Meski begitu, Rita mengaku sering tak nyaman selama menjalani proses persidangan. Selain sempat didorong agar memaafkan pelaku, Rita juga merasa tertekan ketika ditanya seputar hubungan dengan Alwi. Mulai dari alasan mengapa masih berhubungan padahal mendapat kekerasan, apakah masih sayang dengan Alwi atau tidak, sampai dimarahi karena menghadiri sidang pemeriksaan saksi. Di samping itu, Rita juga pernah dinyinyiri ketika melibatkan seorang pengacara dalam kasusnya. “Padahal Jaksa sudah menjadi pengacara korban, buat apa lagi pengacara tambahan,” begitu kira-kira pernyataan jaksa saat itu.
“Pengacara kamu duduk-duduk aja kan? Pasif? Kenapa kamu pakai pengacara, sayang kan,” lanjut jaksa sebelum Rita menangisi pertanyaan tersebut.
Yang paling membuatnya heran ialah ketika menerima panggilan telepon dari Jaksa Dessy. Saat itu Rita diajak ke salah satu kedai kopi. “Yang ada live music-nya,” katanya. Namun dalam percakapan itu Rita sempat diwanti-wanti agar tidak mengajak keluarga, apalagi pengacara. “Berdua saja,” begitu tiru Rita.
Tapi kemudian Rita menceritakan ke salah satu teman pamannya yang berprofesi sebagai pengawas di Kejaksaan Tinggi Banten. Dari obrolan itu ia baru mengetahui bahwa pertemuan yang dihadiri seseorang yang tengah berperkara di luar lingkungan kejaksaan tersebut tidak benar. “Bahkan teman paman saya itu sampai menghubungi Helena, tapi dia tidak mengakuinya,” jelas Rita sembari mengaku mengantongi bukti berupa percakapan dan rekaman telepon.
Meski begitu, Helena menampik telah melanggar peraturan. Ia mengklaim sudah menjalankan prosedur sesuai dengan ketentuan hukum. Serta bertindak hati-hati demi kepentingan korban. “Itu kan sensitif. Jelas. Kami tidak melanggar aturan yang ada,” ucapnya.
Helena menjelaskan bahwa penentuan pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku sepenuhnya wewenang penyidik. “Kita nggak bisa nambahin, dan tidak ada berwenang untuk menambahkan karena kita hanya penuntut umum,” ujarnya. Apabila pihak keluarga korban tak puas, maka bisa membikin laporan baru. “Kami hanya bisa menyarankan itu,” pungkasnya ketika ditemui di kantin bersama Dessy dan Kasi Pidum Kejari Pandeglang akhir Agustus lalu.
Ditemui di tempat terpisah, Iman mengaku menyesal tidak melaporkan kasus yang menimpa adiknya dengan UU TPKS. “Jika tahu jaksa bersikap begini dan susahnya mencari keadilan, saya mungkin tidak melaporkan dengan UU ITE saja,” sesalnya.
***
Siti Aminah Tardi, Anggota Komnas Perempuan menyesalkan apa yang dilakukan penyidik polisi dan jaksa dalam kasus Rita. Penyidik maupun jaksa seharusnya bisa lebih proaktif mengkurasi dugaan kasus kekerasan seksual. “Seharusnya ini dapat dilakukan oleh tim penuntut umum, dan tidak buru-buru menganggap berita acara selesai tanpa perspektif korban,” jelasnya, Kamis, 10 Agustus 2023.
Alih-alih UU ITE, perbuatan yang dilakukan Alwi seharusnya bisa dijerat dengan pasal lain, seperti Pasal 285 KUHP tentang perkosaan, UU Pornografi, UU Penghapusan KDRT, dan UU TPKS. Ini karena tindak kekerasan seksual yang dilakukan Alwi lebih dari sekadar kekerasan siber dengan mendistribusikan konten. “Artinya unsur-unsur tindak pidananya bisa mengacu ke tindak pidana perkosaan pada Pasal 285 KUHP dan UU ITE. Tapi hukum acara dan hak-hak korban harus dan wajib diproses dengan menggunakan UU TPKS,” Siti menerangkan.
Dalam UU TPKS, tindak pidana kekerasan seksual, diantaranya terdiri dari pelecehan seksual fiksi dan nonfisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual berbasis elektronik, dan eksploitasi seksual. “Dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,” demikian ancaman Pasal 12 bagi mereka yang melakukan kekerasan seksual dengan menyalahgunakan kedudukan, tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, atau ketergantungan seseorang.
“Semua perbuatan Alwi diatur dalam UU itu secara rinci,” tegasnya.
Di sini lain, korban memiliki hak untuk didampingi, mendapatkan pelayanan yang tidak diskriminatif, dan kebutuhan-kebutuhan korban lainnya, serta memperoleh psikiatrikum alias visum terkait kondisi psikis. “Jadi dalam UU TPKS, visum itu tidak hanya visum fisik, namun ada visum psikis.” Siti menambahkan bahwa visum tersebut bisa digunakan oleh penyidik maupun jaksa untuk membuktikan ada atau tidak adanya tindak kejahatan seksual.
Sebab selama ini Pasal 285 KUHP hanya mensyaratkan pemeriksaan fisik. Sedangkan pemeriksaan itu dapat menimbulkan trauma kepada korban. “Visum fisik itu mau tidak mau organnya akan dilihat oleh orang lain. Tidak banyak korban yang siap secara mental dapat melakukannya,” ia menjelaskan.
Siti berharap aparatur dapat maksimal memberikan perlindungan kepada korban. Baik lewat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA), maupun dalam proses pemeriksaan, persidangan, sampai dalam penggunaan istilah ketika berhadapan dengan publik. Dalam hal ini, Siti menyoroti penggunaan ‘revenge porn.’ Menurut dia, kasus yang dialami Rita bukan hanya penyebaran konten pornografi tanpa persetujuan orang yang ada di dalam foto atau video.
“Komnas perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan juga yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual, maka ini penggunaan istilahnya adalah NCII (non-consensual dissemination of intimate images). Yang harus dilihat kita mampu membedakan perbuatannya dengan transmisinya,” jelasnya. Pasal 27 ayat 1 UU ITE, kata dia, tidak terkait sama sekali dengan adanya hubungan intim tanpa kesepakatan. “Kami saat ini mendorong adanya perubahan di UU ITE tersebut. Minimal disebutkan hak-hak korban untuk penanganan, dan perlindungan korban,” pungkasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu pun berpendapat sama. Menurutnya, penggunaan KUHP dalam kasus NCII lebih tepat ketimbang UU ITE. Ini karena UU ITE berpusat pada distribusi pesan. “Kasus-kasus di UU ITE ini sederhana, pokoknya ada substansi fitnah di sarana elektronik, maka kenalah pasal ini. Di UU ITE tidak ada pembuktian tuduhan, tetapi menguji apakah ada orang yang tersinggung dengan kata-kata kasar di saluran elektronik. Itulah mengapa kami minta ini sebaiknya dicabut,” katanya.
Oleh sebab itu, Erasmus mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera merampungkan pembahasan revisi UU ITE. “Jangan tambah beban polisi dengan pasal-pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Biarkan polisi khusus menindak penipuan dan pinjol ilegal (pinjaman online) menggunakan UU ITE ini,” ucapnya.
Merujuk data yang dihimpun oleh Openparliament.id, terdapat 12 kali rapat pembahasan revisi UU ITE sejak November 2022 hingga Juni 2023. Dari 12 kali rapat itu, hanya ada lima rapat yang melampirkan laporan singkat, sedangkan catatan, dan risalah rapat sama sekali tak ada.
Kementerian Komunikasi dan Informatika sebelumnya telah merumuskan beberapa daftar inventarisasi masalah (DIM) di UU ITE. Namun di dalamnya masih terdapat pasal terkait defamasi. Hal itu yang sampai saat ini masih diperdebatkan di Senayan.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono mengakui pihaknya masih membahas delik defamasi yang masih terkandung dalam UU ITE. “Pasal-pasal krusial masih dalam pembahasan. Jadi, jangan cepat mengambil kesimpulan. Proses masih berjalan dan kami masih menerima masukan,” ucapnya, Kamis, 31 Agustus 2023. Sementara Ketua Panja Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menilai pemerintah tidak berniat merombak UU ITE sejak awal.
Liputan berjudul “Bukan Jalan ITE Pidanakan Pelaku Kekerasan Seksual,” terselenggara berkat dukungan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.