Para politisi muda yang tengah ancang-ancang bertarung menjadi bakal calon legislatif Pemilihan Umum 2024 mengeluhkan sistem politik biaya tinggi, sehingga membuat politisi tersandera penyandang modal. ”Karena politik ada janji-janji. Kita tersandera bohir dan cukong karena biaya politik sangat besar dalam pencalegan,” ungkap Setyawati Molyna, politisi muda dari DPP Partai Amanat Nasional (PAN) dalam siaran Youtube Cak Nur Society bertajuk “Politik Gagasan, Teladan dari Guru Bangsa,” Sabtu, 28 Januari 2023 di Jakarta, yang diadakan Sumbu Kebangsaan bekerja sama dengan Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute.
Selain Setyawati, bincang-bincang itu turut dihadiri Zebi Magnolia dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Bona Simanjuntak dari Partai Kebangkitan Nusantara (PSN), Abe Tanditasik dari PDI Perjuangan, dan Pitria Nopa Asriani dari Partai Demokrat.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Ummat, Nazaruddin pun tak menampik. “Biaya politik di Indonesia sangat besar,” ujarnya kepada Jaring.id, Senin 6 Februari 2023. Mantan politikus PAN ini menyebut perhelatan pemilu legislatif sedikitnya memerlukan biaya Rp5-10 miliar per calon. “Kalau untuk kabupaten dan kota enggak besar sekitar ratusan juta. Kalau DPRD provinsi berkisar ratusan juta mendekati atau melebihi 1 miliar Rupiah,” lanjutnya.
Partai Ummat merupakan satu dari 18 partai yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024. Sebelumnya partai ini sempat dinyatakan tak lolos verifikasi faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Desember 2022 lalu. Partai Ummat kemudian menempuh gugatan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk meminta proses verifikasi ulang. Dari perubahan hasil verifikasi ini, Pemilu 2024 akan diikuti 9 partai parlemen dan 9 partai nonparlemen.
Sebagai partai nonparlemen, menurut Nazaruddin, Partai Ummat harus bekerja dua kali lebih keras ketimbang partai lain. Tanpa itu, sulit untuk dapat berpartisipasi dengan maksimal dalam pemilu nanti. ”Kami partai baru harus ekstra keras” ujarnya.
Salah satu cara yang yang dilakukan Partai Ummat ialah mencari caleg yang mampu membiayai dirinya sendiri, iuran anggota, donatur, dan urun dana (crowdfunding). ”Kami bisa ajak nyaleg. Kami memperjuangkan nilai yang kami yakini dari itu kami sasar kelompok yang setuju dengan pemikiran kita jadi itu lah modal kami,” ungkap Nazaruddin.
Platform urun dana Partai Ummat tercantum dalam situs partaiummat.id. Tak hanya mengumpulkan dana publik, mereka melapak sejumlah barang untuk dijual. Mulai dari masker kain seharga Rp15 ribu, kaos anak Rp85 ribu, sejumlah buku karangan Amien Rais yang dihargai paling mahal Rp75 ribu, hingga merchandise berupa hoodie Rp250 ribu. “Kemarin waktu partai harus bersengketa di Bawaslu, kita membuka donasi yang disebarkan ke pengurus, kader, dan simpatisan. Saat itu terkumpul lebih dari Rp500 juta,” kata dia.
Partai baru lain yang menggunakan platform digital untuk mendapatkan dana publik ialah Partai Buruh. Partai yang mengklaim sebagai partainya kelas pekerja ini membikin platform donasi. Para simpatisan bisa menyumbang mulai dari Rp15 ribu-100 ribu kepada Partai Buruh. Partai Buruh memilih cara pendanaan operasionalnya melalui sistem ini agar dapat menghindari campur tangan kepentingan oligarki. Yang berbeda dari milik Partai Ummat, Partai Buruh tidak menjual aneka barang dalam situsnya.
Sebelum crowdfunding dimanfaatkan partai baru di Indonesia, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah melakukan penggalangan dana publik pada Pemilu 2019. Hanya saja, partai nonparlemen ini tidak membangun platform urun dana sendiri, melainkan lewat fitur yang sudah disediakan portal kitabisa.com.
Mahalnya biaya politik juga sempat membuat Partai Gerindra memilih pendanaan kolektif. Ide crowdfunding untuk biaya politik Gerindra dicetuskan sang ketua umum, Prabowo Subianto lewat akun Facebooknya. “Saya mohon bantuanmu, berapa banyak itu tergantung kemampuanmu. Kalau kau, katakanlah, mengirim Rp5.000 kami sudah terima kasih. Kalau bisa kirim Rp10.000, Rp20.000 dan seterusnya akan sangat berarti,” kata Prabowo saat itu, Kamis, 21 Juni 2018.
Mekanisme crowdfunding sebetulnya bukan sesuatu yang baru dilakukan dalam pemilihan umum. Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dan Donald Trump sudah pernah menerapkannya. Obama sukses menggalang dana publik saat akan maju dalam pilpres 2008. Dilaporkan New York Times, Obama sukses mengumpulkan hampir US$750 juta, melampaui semua perolehan serupa calon presiden sepanjang masa. Ada US$136 juta ia habiskan dalam periode 16 Oktober sampai 24 November 2016. Tak heran, cara tersebut lantas diadopsi sejumlah negara lainnya, termasuk di Indonesia.
Hanya saja, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum membatasi jumlah dana yang dapat diberikan ke partai. Dana perseorangan tidak boleh lebih dari Rp 2,5 miliar dan non perorangan (kelompok, perusahaan, dan/atau badan usaha non pemerintah) tidak boleh lebih Rp 25 miliar. Jika lebih, maka dapat diancam pidana penjara maksimal 2 tahun seperti tertera dalam Pasal 525 (1). Regulasi ini juga belum dapat menjangkau penggunaan virtual account sebagai wadah pendanaan kolektif. Selama ini, KPU hanya mengenal nomor rekening partai yang terdaftar guna melihat arus kas parpol.
***
Baru-baru ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya dugaan penggunaan dana hasil tindak pidana pencucian uang dalam proses Pemilu 2014 dan 2019. Uang hasil korupsi dan sumber ilegal lain diperkirakan mencapai triliunan Rupiah. Hal ini diungkapkan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam rapat kerja Komisi III DPR, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa, 14 Februari 2023.
Sementara itu, hasil riset yang dikeluarkan oleh Konsorsium Pendidikan Tata Kelola Pemilu Indonesia bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Mei 2020 mencatat sumber penerimaan dana kampanye pada pemilu 2019 didominasi oleh sumbangan calon legislatif sebesar Rp1,99 triliun. Setelah itu sumbangan partai politik (Rp315,6 miliar), perseorangan (Rp19,7 miliar), badan usaha non-pemerintah (Rp15 miliar), sumbangan kelompok (Rp9,5 miliar), dan lain-lain mencapai Rp16,5 miliar.
Dana sebesar itu untuk membiayai jasa kampanye calon legislatif, penyebaran bahan kampanye, produksi iklan, pembuatan alat peraga kampanye, dan sumbangan terhadap calon legislatif. “Pengeluaran untuk jasa kampanye memiliki porsi terbesar untuk mayoritas partai senilai Rp 1,9 triliun,” tulis riset tersebut.
Riset tersebut juga menyebutkan pengeluaran bahan kampanye sebesar Rp77 miliar, produksi iklan keseluruhan mencapai Rp74 miliar, pembuatan alat peraga (Rp60,5 miliar), keperluan rapat untuk kampanye (Rp 6,1 miliar). ”Hanya dua partai politik lama yang masih melakukan, Golkar sebesar Rp4,2 miliar dan PDIP sebesar Rp1,9 miliar.” tulis laporan tersebut.
Mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Patrice Rio Capella mengungkapkan salah satu komponen biaya tinggi ialah pencetakan alat peraga kampanye, seperti baliho yang nilainya berkisar antara Rp10 ribu-Rp15 ribu per meter, cetak kaos, dan juga sticker. Iklan layanan politik, transportasi, biaya kampanye juga termasuk komponen berbiaya tinggi. ”Itu bikin komponen biaya tinggi,” ungkap Rio kepada Jaring.id, Rabu, 10 Februari 2023.
Selain itu, kebutuhan biaya tinggi juga dapat ditaksir dari daerah pemilihan. Rio mencontohkan, untuk Dapil Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu membutuhkan biaya politik mencapai Rp60 miliar hingga 30 juta USD atau setara dengan Rp450 miliar. Berbeda dengan di daerah daerah pemilihan Bengkulu yang hanya menghabiskan Rp5 miliar. ”Karena penduduknya tidak banyak dan tingkat persaingan caleg tidak keras. Jadi politik berbiaya tinggi antar daerah berbeda, meski tetap tinggi,” ujarnya.
Biaya politik ini, menurut Rio, akan bertambah tinggi apabila Mahkamah Konstitusi (MK) mengganti sistem pemilu. MK tengah menguji materi pasal-pasal yang mengatur sistem proporsional daftar terbuka dalam Undang-Undang Pemilu. MK diminta mengganti sistem pemilu anggota legislatif dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup. Permohonan uji materi diajukan sejumlah politisi untuk membatalkan Pasal 168 Ayat 2 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Kata Rio, sistem pemilihan proporsional terbuka akan membuat para caleg berlomba-lomba mengangkat citra sendiri dengan menghiraukan elektabilitas partai. ”Ini akan membuka peluang di tubuh partai salah satunya berlomba-lomba bertemu masyarakat terbuka peluang untuk money politik untuk kompetisi caleg. Itu yang bikin politik biaya tinggi,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Nazaruddin. sistem proporsional terbuka memunculkan pasar bebas persaingan internal caleg dalam satu partai. Sementara proporsional tertutup mengedepankan sistem pemilihan yang hanya mencantumkan nama caleg yang nomor urutnya ditentukan oleh partai politik. ”Jadi kalau proporsional terbuka itu berlaku hukum ekonomi yang sangat barbarian. Untuk caleg yang bertarung butuh kekuatan uang yang cukup banyak,” kata dia.
Nazaruddin tak heran apabila kader-kader yang mencoba maju dalam pemilihan mencari pendanaan dari para pengusaha. Tanpa itu, sulit untuk mengumpulkan biaya bertanding. ”Yang bisa mengeluarkan uang segitu banyak untuk kontestasi kan dua kelompok saja. Satu yang mau mengeluarkan uang untuk hobi, kedua investor yang mau investasi miliaran,” ungkapnya.
Senada, Rio menyebut para pemodal akan menjadi penentu calon legislatif hingga presiden ketika bertanding. ”Jadi mereka yang maju dan menang bukan karena kehebatan calon tapi karena permainan oligarki yang main modal besar untuk bisa kalahkan lawannya,” kata Rio.
Rio menyarankan agar KPU membikin batasan minimal dan maksimal dana kampanye calon maupun partai politik, transparansi keuangan, dan audit. ”Selama ini kan audit tidak dilakukan KPU,” kata Rio.
Anggota Dewan Penasihat Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini sepakat dengan apa yang diungkapkan Rio. Menurutnya, partai politik perlu memperbaiki dulu pengelolaan keuangan partainya sebelum melangkah ke sistem penggalangan lain, seperti crowdfunding. Selama ini, kata dia, laporan pendanaan kampanye yang disampaikan parpol ke KPU tidak menyeluruh. ”Belum ada keseriusan keseriusan mengatur dan menegakkan tata kelola kampanye terbuka, transparan, akuntabel. Selama ini dana kampanye basa basi tidak mencerminkan kebenaran. Harusnya dana kampanye menjangkau seluruh dana diterima dan dibelanjakan untuk kepentingan pemilu,” kata Titi, Kamis, 11 Februari 2023.
Padahal merujuk UU tentang Pemilu, parpol perlu melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye ke akuntan publik (KAP) yang ditunjuk KPU paling lama 15 hari sesudah pemungutan suara. Setelah itu, KAP akan menyampaikan hasil audit kepada KPU, KPU provinsi, kabupaten paling lama 30 hari sejak diterima laporan. ”Kondisinya diperparah pengawasan dan penegakan hukum tidak ada penelusuran dan pemeriksaan kebenaran validitas laporan. Sehingga yang didalami hanya kepatuhan pelaporan tidak mengecek kebenaran seluruh penggunaan dana kampanye,” ujarnya.
Jaring.id sempat mencoba menelusuri laporan dana kampanye Pemilu 2019 baik pemilihan presiden maupun legislatif, namun tidak ditemukan di laman KPU. Sementara Laporan Akhir Dana Kampanye (LADK), Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK), dan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) Pemilu 2019 tidak tersedia. Dalam laman datapemilu.KPU.go.id, hanya bertuliskan ”tabel kosong.”
Hingga tulisan ini terbit, Komisioner KPU, Betty Epsilon Idroos tak merespons permintaan wawancara Jaring.id. Ketika dihubungi melalui pesan Whatsapp dan telepon ia tidak menjawab.
***
Di Timor Leste, partai politik baru tipis peluang meraih kursi parlemen dalam pemilu legislatif yang akan digelar 21 Mei 2023. Permintaan kenaikan parliamentary threshold oleh partai-partai besar, akan menjadi salah satu pengganjal parpol baru untuk lolos ke parlemen. Bahkan menjadi ancaman bagi parpol kecil yang telah memiliki kursi parlemen dalam pemilu sebelumnya.
Kesimpulan ini disampaikan secara terpisah oleh Direktur Eksekutif Centro Nacional Chega! Hugo Fernandes dan Ketua Ombudsman Hak Asasi Manusia dan Keadilan Timor Leste (PDHJ) Virgilio da Silva Guterres. “Partai-partai besar mengajukan parliamentary threshold hingga 25.000 untuk satu kursi di parlemen,” ungkap Fernandes dalam wawancara jarak jauh kepada Jaring.id, Jumat, 17 Februari 2023.
Usulan ini, menurut Fernandes, akan membuat partai-partai baru seperti Partido Democratika Republica de Timor (PDRT) ataupun Partido os verdes de Timor atau Partai Hijau Timor sulit lolos ke parlemen.
Puluhan parpol bakal mengikuti pemilu legislatif di Timor Leste Mei nanti. Beberapa diantaranya adalah parpol baru yang sudah dinyatakan lolos administrasi. Namun besarnya dana kampanye yang diperlukan untuk mendulang suara bakal menghambat langkah parpol kecil menuju parlemen.
Fernandes, yang pernah menjadi tim kampanye kandidat presiden Lere Anan Timur, menyebut bahwa rata-rata parpol akan mengeluarkan dana kampanye sebesar US$10-15 juta atau sekitar Rp150 miliar – Rp227 miliar. Setidaknya dua partai besar, yakni Fretilin dan CNRT diprediksi akan menggelontorkan dana sebesar itu.
Dana kampanye Rp150 miliar tentu bukan jumlah sedikit untuk partai-partai seperti Partidu Unidade Dezenvolvimentu Demokratiku (PUDD), Frente de Reconstrução Nacional de Timor Leste-Mudanca (FM), Uniao Democratica Timorense (UDT), apalagi untuk partai seperti PDRT dan Partai Hijau. PUDD, FM, dan UDT—tiga partai lama yang sudah duduk di parlemen dalam pemilu sebelumnya, menurut Fernandes, berencana akan membangun koalisi jika ambang batas parlemen benar-benar dinaikkan.
Seperti diketahui, dari 65 kursi parlemen, tidak ada satupun partai yang dapat memperoleh 33 kursi—syarat yang diperlukan untuk memimpin kabinet—dalam pemilu-pemilu sebelumnya, termasuk pemilu 2018.
Dalam pemilu 2018, sempat terjadi koalisi antara CNRT, Fretilin, Partai KHUNTO, dan Partai Pembebasan Rakyat (PLP), dimana kursi dominan dimiliki oleh Fretilin (23 kursi) dan CNRT (21 kursi). Di tengah jalan, koalisi ini pecah. Meski begitu Fretilin dan CNRT masih akan dominan dalam pemilu 2023. “Panggung politik Timor Leste masih akan diisi oleh wajah-wajah lama. Narasi politiknya juga akan sama,” kata Guterres dalam wawancara daring Jaring.id, Kamis, 16 Februari 2022.
Menurut Guterres, semangat untuk mendirikan partai baru di Timor Leste tidak seiring antusiasme pemilik suara. “Niat untuk mendirikan partai baru ada di kota besar, seperti Dili. Sementara di desa, orang-orang tetap memilih partai dengan tokoh-tokoh lama,” ungkap mantan Ketua Dewan Pers Timor Leste ini. Selain Fretilin dan CNRT, PLP dan dan Partai Demokrat juga punya peluang besar untuk meraup suara pemilih dengan keberadaan tokoh-tokoh perjuangan di situ.
Guterres menambahkan, suara pemilih di Timor Leste terlalu kecil untuk diperebutkan banyak partai. Mayoritas pemilih juga cukup loyal dengan partai yang telah dipilihnya. Jika parpol baru ingin memperoleh suara dari orang muda, maka setiap kali pemilu, parpol hanya akan memperebutkan 100.000-200.000 suara.
Pertarungan untuk memperebutkan suara pemilih ini diperberat dengan kesanggupan partai untuk melakukan kampanye. Baik Guterres maupun Fernandes mengakui bahwa kampanye pemilu di Timor Leste membutuhkan dana yang sangat besar. Jika dikomparasikan dengan Indonesia, Timor Leste bahkan bisa dibilang lebih boros.
Dalam UU Partai Politik Timor Leste tahun 2018, ada beberapa sumber pendanaan parpol yang diperbolehkan. Diantaranya iuran anggota, sumbangan pribadi/individu (tidak boleh kelompok usaha), penggalangan dana (fundraising), dan alokasi dari negara sesuai dengan perolehan suara/kursi. Khusus untuk sumbangan individu hanya diperbolehkan dari Timor Leste, tidak boleh dari luar atau warga negara asing.
Berdasarkan UU, sumber pendanaan ini harus diaudit oleh Comissao Nacional De Eleicoes (CNE), badan pengawas pemilu Timor Leste. Namun tentu saja audit ini, menurut Fernandes dan Guterres, belum bisa menjadi jaminan bahwa parpol bersikap transparan terhadap perolehan dana kampanye mereka.
Aturan yang kurang lebih sama berlaku di Filipina. Otoritas pajak di sana, Bureau of Internal Revenue (BIR) kerap meminta partai politik dan politikus untuk melaporkan dana kampanyenya. Filipina sendiri baru saja melangsungkan Pemilu pada 9 Mei 2022 lalu. Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong lah yang memenangkan kursi presiden.
Laporan dana kampanye yang digunakan politisi, parpol, maupun koalisi parpol di Filipina wajib diserahkan ke KPU setempat (Comelec) dan kantor pelayanan pajak dalam waktu 30 hari setelah pemilu. Hal ini tidak hanya berlaku bagi pemenang pemilu, mereka yang kalah pun akan diminta menyerahkan surat pernyataan sumbangan dan pengeluaran kampanye. Dengan begitu, sesuai surat edaran BIR, para kontestan perlu mencatat semua iuran dari peserta pemilu, parpol, dan bahkan pemodal kampanye.
Sementara regulasi dana politik di Malaysia seperti tertuang dalam Undang-Undang Pelanggaran Pemilu 1954 tidak banyak membatasi sumber dana parpol. UU ini tidak mewajibkan pengungkapan identitas donor dan melaporkan jumlah penerimaan, pengeluaran dana pemenangan pemilu, baik di luar tahapan maupun hingga hari pemungutan suara. Partai bahkan juga tidak diwajibkan mengembalikan kelebihan penerimaan dana kampanye.
Di Asia Tenggara, Malaysia merupakan satu-satunya negara yang tidak melarang donasi dari pihak asing, baik perusahaan, negara, perorangan, maupun lembaga asing. Menurut Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), Malaysia membolehkan sumbangan dari identitas yang tidak diketahui atau tidak dibuka identitasnya oleh partai politik atau calon. Oleh sebab itu, mantan Perdana Menteri Mahatir Muhamad sempat membentuk Komite Reformasi Pemilu (KRP) untuk mendorong audit independen terhadap dana politik, membangun kapasitas komisi pemilihan terkait pelaporan dana kampanye, serta menetapkan batasan pengeluaran kampanye berdasarkan wilayah geografis daerah pemilihan dan jumlah pemilih.