Terlunta-lunta karena Junta

Setelah pemilihan umum Myanmar berakhir pada November 2020 lalu, jurnalis Agence France-Presse (AFP), Lawi Weng memilih untuk menyeberang ke Thailand. Ia merasa tidak aman bila harus bertahan di negerinya setelah hasil pemilu memenangkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Dari 476 kursi di parlemen Mynmar, NLD berhasil meraup 396 kursi, sedangkan oposisi yang disokong militer, yakni Partai Solidaritas dan Pembangunan (USDP) mengantongi 33 kursi sisa. Dengan perolehan suara ini, saat itu Lawi memprediksi, pihak militer tidak akan tinggal diam. Pasalnya selama enam dasawarsa, pemerintahan Myanmar tidak bisa dipisahkan dari cengkeraman kediktatoran junta militer. Hegemoni ini berlanjut sekalipun Myanmar tengah berada dalam jurang krisis ekonomi, gejolak protes massa, hingga berbagai tekanan internasional.

Itu sebab, menurutnya, lebih baik memantau dinamika politik melalui aplikasi Signal dari Thailand ketimbang harus bertahan di Myanmar. “Kami ada koneksi dengan aplikasi itu,” ujar Lawi Weng dalam diskusi daring bertajuk Solidarity for Myanmar Democracy yang diselenggarakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Kamis, 22 April 2021.

Benar saja. Lepas 3 bulan setelah pelarian, tepatnya pada 1 Februari 2021, Lawi mendapat kabar dari kolega bahwa pimpinan junta militer, Jenderal Min Aung Hlaing menangkap pimpinan Partai NLD, seperti Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Mynt. Melalui stasiun televisi milik angkatan militer, Myawaddy TV, pihak militer mengungkapkan bahwa Myanmar berada dalam situasi darurat selama setahun dan secara sepihak mengangkat Panglima Tertinggi Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing sebagai penguasa di Myanmar. Para pelaku kudeta berdalih bahwa pemerintah gagal menindaklanjuti klaim Tatmadaw alias angkatan bersenjata Myanmar tentang kecurangan dalam pemilu 2020. “Saya tidak ada ekspektasi bakal terjadi kudeta,” ujar Lawi.

Kudeta melengserkan pemerintahan sipil seperti yang dilakukan Jenderal Min merupakan kali kedua terjadi di Myanmar. Peristiwa serupa terjadi 1962 ketika Jenderal Ne Win merebut mandat pemerintahan dari Perdana Menteri U Nu. Salah satu hal yang paling disesali Lawi dari kudeta militer ini ialah penangkapan demi penangkapan yang dilakukan militer terhadap penentang kudeta. Bahkan aksi damai yang dilakukan warga direspon dengan pemukulan, penembakan secara serampangan dan penahanan. Akibatnya 700 warga sipil tewas sepanjang kudeta militer, sementara 3000 orang lainnya ditangkap hingga April 2021.

Kekejaman militer tersebut mengingatkan Lawi pada aksi sewenang-wenang junta militer pada 1988-1990 silam. Saat itu, Lawi terpaksa mengasingkan diri ke Thailand karena terus menerus mendapatkan teror. Baru pada 2004, Lawi kembali ke Myanmar. Pasalnya Tatwadaw meminta seluruh pekerja media yang sempat meninggalkan Myanmar kembali untuk membantu mengangkat perekonomian dan kesejahteraan warga. “Jenderal militer tidak ingin membuat masalah. Mereka akan mengizinkan melakukan reportase,” cerita Lawi.

Sejak saat itu, Lawi kerap mendatangi lokasi-lokasi konflik di seluruh wilayah Myanmar sekalipun lokasi tersebut dijaga ketat oleh tentara. Kegiatan jurnalistik bisa dilakukan Lawi hanya dengan cara menunjukkan kartu pers kepada pihak militer. “Saya benar-benar merasa ini lah demokrasi. Saya mendapatkan kebebasan pers. Itu berlangsung selama lima tahun,” ungkapnya.

Pada 2015, dinamika politik di Myanmar mulai beriak setelah Partai USDP kalah pemilu. Di mana Aung San Suu Kyi berhasil menjadi kepala negara. Namun, menurut Lawi, kemenangan sipil saat itu tidak mengubah banyak hal. Myanmar seakan memiliki dua pemerintahan. Satu sisi dikelola oleh sipil, sisi lain dikuasi militer. Pihak militer mengendalikan pos-pos penting, seperti keamanan nasional yang meliputi kementerian-kementerian urusan dalam negeri, perbatasan dan pertahanan.

Lepas dua tahun, Lawi yang saat itu bekerja untuk majalah Irrawadyy bersama dua rekannya, Aye Nae dan Pyae Phone Naing dari media Voice of Burma (DVB) ditangkap saat melakukan peliputan terhadap pemusnahan narkoba oleh Ta’ang National Liberation Army (TNLA), salah satu kelompok etnis bersenjata di Shan. Ketika itu pihak TNLA dan militer terlibat kontak senjata di Desa Phayargui. Karena berada di tengah konflik, maka Lawi dan koleganya diseret ke tahanan di salah satu fasilitas militer Negara Bagian Shan yang terletak di Kawasan timur laut Myanmar. “Padahal ini di bawah pemerintahan sipil, saya tidak menyangka,” ungkapnya.

Sedangkan saat ini, kata Lawi, praktik kekerasan yang dipertontonkan oleh militer tidak terkendali. Mereka acapkali mengejar massa aksi dan jurnalis hingga ke rumah-rumah. “Mereka bilang akan menangkap jurnalis. Sudah 40 jurnalis ditangkap,” ujarnya.

Dua di antaranya ialah Than Htike Aung yang merupakan jurnalis Mizzima News, serta jurnalis BBC Burma bernama Aung Thura. Keduanya ditangkap oleh polisi berpakaian sipil di luar gedung Pengadilan Negeri Naypyidaw pada pertengahan Maret lalu. Saat itu, keduanya tengah meliput persidangan politisi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi, Win Htein.

Akibatnya, menurut Lawi, tidak sedikit jurnalis yang ingin mengikuti Langkah Lawi untuk melarikan diri ke perbatasan Myanmar dan Thailand. Namun bersembunyi di Thailand bukan tanpa masalah. Pasalnya sampai saat ini pemerintah Thailand belum dapat memberikan kepastian tentang pemberian suaka bagi warga Myanmar yang menyeberang karena krisis politik. “Sewaktu-waktu saya bisa dideportasi ke Myanmar. Kita membutuhkan bantuan PBB,” ungkap Lawi.

 

Perkuat Solidaritas Jurnalis

Peneliti The Asian Network for Free Election (ANFREL), Tharindu Abeyrathna menyampaikan sejumlah temuan terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Myanmar pasca kudeta. Di antaranya ialah pemutusan sambungan internet dan menekan media agar tidak mengabarkan seluruh peristiwa yang terjadi di Myanmar. “Kantor media dijarah. Digeledah. Mereka menghentikan kerja-kerja jurnalis saat meliput,” ujar Tharindu dalam diskusi daring Perludem, Kamis, 22 April 2021.

Untuk membungkam kebebasan berekspresi, junta militer bahkan menangkap aktivis, selebritis, tokoh berpengaruh dan pemengaruh (influencer) media sosial. Bahkan, seluruh akses publik terhadap informasi dikendalikan oleh junta militer. “Satu sisi junta menggunakan televisi pemerintah untuk propaganda adanya kecurangan dan alasan mengkudeta,” ujarnya.

Dalam hal ini, Tharindu menyayangkan pihak militer yang lebih memilih menggunakan cara-cara kekerasan ketimbang menuntaskan dugaan kecurangan pemilu di pengadilan. “Harus dilakukan penyelidikan dan diarahkan ke dalam sengeketa pemilu bukan kudeta,” ujarnya. Kata dia, penyelesaian sengketa pemilu merupakan bagian integral dari setiap proses demokrasi. “Ke depan harus didorong untuk membentuk dialog politik baru dengan semua pemangku kepentingan,” tambah Tharindu.

Sementara itu, Direktur Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), Eni Mulia menekankan pentingnya solidaritas jurnalis untuk Myanmar. Salah satu yang bisa diupayakan, menurut Eni, ialah memberikan perlindungan kepada jurnalis yang memilih pergi dari Myanmar, sekaligus menggunakan organisasi profesi wartawan untuk mengikuti perkembangan informasi dari Myanmar. “Ini untuk mendukung jurnalis dan warga sipil di Myanmar,” kata Eni.

Sekretaris Jenderal Asian Democracy Network (ADN), Ichal Supriyadi menilai bahwa rezim militer di Myanmar bertanggungjawab pada krisis kemanusiaan. Korban yang tumbang, kata Ichal, tidak hanya pemuda tapi juga anak-anak. Tidak sedikit pula dari masyarakat yang meminta suaka ke negara lain. “Ini krisis kemanusiaan. Mereka membutuhkan makanan dan kebutuhan dasar dan sampai saat ini belum disediakan pemerintah India dan Thailand yang berada di perbatasan,” kata Ichal.

 

Berharap pada ASEAN

Di samping bantuan kemanusiaan dari negeri jiran, negara-negara di Asia Tenggara juga diharapkan dapat menekan Panglima Militer Myanmar Min Aung Hlaing untuk segera menghentikan krisis politik dan keamanan. Menurut Lawi, negara-negara anggota perlu mengingatkan kembali tujuan ASEAN dan mendesak Myanmar menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Jakarta, Indonesia pada Sabtu, 24 April 2021. Pasalnya, kata dia, persoalan domestik di Myanmar sudah menjadi isu kawasan, terutama terkait pengungsi dan hak asasi manusia. Asia Tenggara saat ini menjadi sorotan dunia internasional. “Bisa jadi junta akan mendengar suara negara ASEAN yang menentang kekerasan,” kata Lawi.

Lawi berharap, pimpinan ASEAN tidak hanya menghadirkan junta militer dalam KTT ASEAN. Kata dia, pimpinan di kawasan juga perlu mendengar suara pemerintahan sementara Myanmar yang sebagian masih dikendalikan oleh sipil. Pemerintahan sipil ini yang perlu berbicara atas nama warga dan korban junta militer. “Tidak ada yang mendengar suara masyarakat di Myanmar kalau hanya mengundang militer dan mengakui militer sebagai pemerintah resmi,” pungkas Lawi.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.