Wisata Kebun Buah di Kampung Bekas Pencuri Kayu Hutan, Impian yang Masih Jauh

BALIKPAPAN – Munirah, 30 tahun, memenggal sebuah cabang pohon buah naga yang menjuntai dengan pisau dapur. Tak panjang cabang yang dipotong itu, tapi hanya selebar telapak tangannya.

Munirah memilih dengan teliti cabang yang penuh bintik, mengering, atau menguning lembek, yang mesti dipotong. Menurut Munirah, sama seperti daun dan ranting kering pada pohon pada umumnya, cabang pohon buah naga yang mengering itu bisa jadi karena penyakit atau batang dan daun yang menua, dan bisa mengganggu pertumbuhan pohon, bila tidak dipotong.

Itulah aktivitas Munirah selepas pukul 08.00 di ladang yang ditumbuhi beragam jenis tanaman, termasuk kemiri, sahang, pohon rambutan, lai atau sejenis durian, dan durian. Munirah bekerja antara satu hingga dua jam sehari. Selebihnya ia menjaga keseluruhan kebun.

“Saat bukan panen, saya membersihkan semua area kebun,” kata Munirah.

Munirah berada di sana bersama Dahlan, suaminya, dan tiga dari lima anaknya. Mereka menempati gubuk panggung dari kayu meranti seukuran minibus. Dua anjing menjadi teman menjaga kawasan.

Jauh dari jalan raya, sekalipun hari siang, perkebunan itu terasa lengang. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah hamparan tanaman palawija dan buah, hanya sedikit pohon berbatang keras menjulang.

Munirah mengatakan, keputusan memilih hidup di situ karena soal penghasilan lebih besar ketimbang menjadi petani sahang di Sulawesi. Selain itu, area bertani yang lebar memuaskan Munirah bercocok tanam .

Munirah dan keluarganya adalah petani penggarap lahan milik Alwi, anggota Kelompok Tani Harapan Sejahtera, sejak 2 tahun lalu. Lahan milik Alwi seluas 3,5 hektare berada dalam Hutan Kemasyarakatan di Hutan Lindung Sungai Wain. Satu-satunya hutan yang masih perawan di Balikpapan.

Hutan Kemasyarakatan sendiri semula bagian dari hutan lindung. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan melepaskannya lewat SK Menhut No.129/Menhut-II/2011 pada 23 Maret 2011, seluas 1.400 ha. Walikota Balikpapan saat itu, Rizal Effendi, menguatkan posisi petani di dalamnya dengan Surat Izin Walikota Balikpapan No.660/39/BLH/XI/2011 tanggal 10 November 2011.

Surat walikota ini yang mengukuhkan luasan masing-masing kelompok tani. Melalui surat izin walikota inilah tiap kelompok bisa mengelola kawasan itu dengan konsep perlindungan bagi hutan lindung di sebelahnya.

Kelompok Harapan Sejahtera menggarap seluas 342,4 ha. Tanah garapan terletak di RT 45 Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara Kota Balikpapan, dengan kontur lereng, bukit, dan dataran.

Alwi, satu dari 57 petani aktif di Harapan Sejahtera, kelompok tani yang sebenarnya beranggotakan 175 orang. Alwi sangat aktif memanfaatkan lahan di situ dan terbilang berhasil menanam secara tumpang sari dengan tanaman keras seperti durian, rambutan, hingga tumbuhan jangka menengah dan pendek.

Tinggi tumbuhan di lahan Alwi ada yang sampai 12 meter, ada yang berdiameter 1,5 meter. Ia bahkan memiliki 3.500 sahang dan 1.000 pohon buah naga.

“Alwi ini salah satu petani yang dianggap cukup berhasil menanam di HKm, dengan memadukan pohon keras dan tegakan dengan tumbuhan jangka menengah dan pendek dengan baik,” kata Anton, staf dari Badan Pengelola HLSW.

Munirah menanggungkan harapan di tanah garapan milik Alwi itu. Bagaimana tidak, nilai jual buah sudah pernah dirasakan. Munirah mengatakan, bila musim saja, untuk buah naga saja bisa sampai lebih dari tiga ton. “Puasa kemarin, (hasil penjualannya) mencapai Rp 30 juta. Kalau hari-hari biasa Rp 17.500 per kilo,” kata Munirah.

Para petani di sana berkarakter “kelompok petani sekitar hutan”. Mereka memiliki ketergantungan serta interaksi terhadap hutan cukup tinggi. Tak hanya Harapan Sejahtera, tapi juga sembilan kelompok lain.

Mereka adalah pendatang yang tiba sebelum 1970-an sepanjang kilometer 19 hingga Km 24. Ada yang bercampur dengan penduduk lokal, ada pula nekat membuka lahan di sana. Saat itu bukan sebagai kelompok tani, mereka mengambil kayu untuk dibuat kayu sirap (atap rumah dari kayu) dan kayu-kayu balok untuk bangunan.

“Kami jual ke orang-orang Madura,” kata Maryono, salah satu petani.

Saat itu, hutan sangat penting sebagai tadah hujan bagi sebuah waduk kecil yang dipakai perusahaan minyak BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) pada 1947 dan Shell di 1969 hingga Pertamina mengambil alih pengelolaan waduk sejak 1972.

Kucing-kucingan terjadi. Pemerintah, polisi, dan sekuriti Pertamina menganggap mereka sebagai pencuri kayu. Sembilan pencuri kayu pernah ditangkap dan dipenjara tujuh bulan.

Kawasan itu terus berkembang. LSM lingkungan juga masuk untuk mempertahankan hutan. Mereka semua beralasan, selain penting untuk menjaga keanekaragaman hayati, hutan ini juga memiliki nilai ekonomi tinggi karena keberadaan waduk penyuplai air bagi Pertamina di Balikpapan.

Lahan yang mereka masuki di sana sempat terbakar hebat di 1998 dan 1999. Jadilah bukaan lahan besar dan masyarakat pendatang semakin banyak. Di lahan itu pula Menhut Zulfikli akhirnya menyerahkan 1.400 ha sebagai area kerja Hutan Kemasyarakan (HKm) di 2011.

“Kami sekarang dianggap sebagai bufferzone-nya hutan lindung. Kalau bukan kita, siapa lagi yang menjaga,” kata Martinus, Bendaraha Tunas Harapan.

Perubahan drastis terjadi pasca2011. Mereka membentuk kelompok tani dan mulai bercocok tanam, tidak menebang pohon, meski sesekali membakar untuk membuka ladang. “Yang penting bagi kami adalah perilaku mencuri kayu itu sudah tidak ada dan menebang pohon itu berhenti dulu,” kata Direktur BP HLSW, Purwanto.

35 Tahun

Fasilitator dari Kawal Borneo Community Foundation, Hendra, membayangkan HKm ini akan menjadi hutan kebun buah yang menarik minat wisatawan untuk wisata buah. Mimpi itu diharapkan bisa terwujud 35 tahun mendatang.

“Orang datang dan disuguhi buah,” kata Hendra.

Sejatinya, itu impian yang masih jauh terwujud. “Sejak semula harapan awalnya dulu adalah berubah dari menebang menjadi membangun tegakan,” kata Hendra.

KBCF bermitra dengan Badan Pengelola HLSW mengubah kebiasaan warga. Kerja sama keduanya tak lama, namun mereka mampu membuat konsep terukur bagi terwujudnya hutan kelola lestari. Dokumen rencana umum dan operasional kerja bagi tiap kelompok bisa dibukukan.

Dengan rencana itu, mereka bisa akan mewujudkan kawasan agroforestry, dimana perkembangan perkebunan terarah dilihat dari perbandingan tegakan kayu dengan tumbuhan jangka menengah dan pendek, yang bisa meningkatkan kesejahteraan warga HKm.

Seperti halnya anggota Kelompok Harapan Sejahtera dengan tanah garapan 342,4 ha, para petani di sana tak lagi berorientasi mendapatkan hasil dari kayu di kawasannya. Kelompok ini malah fokus dalam mengoptimalkan pemanfaatan lahan HKm dengan menanam berbagai jenis tanaman multipurpose trees (MPTs) dan buah-buahan serta tanaman merambat di samping tetap menjaga keberadaan tegakan kayu yang ada.

Harapan bisa mengelola beragam jenis MPTs dan buah-buahan itu sampai terdokumentasi secara tertulis di kelompok tani ini. Di antaranya seperti: tata batas dengan 1.400 pohon baik lai, durian, krantungan, lahung, manggis, aren, rambai, langsat, kledang, kemiri, dan cempedak.

Mereka sepakat akan membangun perkebunan karet seluas 40 persen lahan, lima persen palawija, lima persen perikanan, obat, lebah madu, jamur tiram.

“Bahkan tiap-tiap petani sudah membuat rencana,” kata Anton, fasilitator di BP HLSW.

Hal serupa juga terjadi pada kelompok lain. Mereka mampu membuat rencana kegiatan anggota aktif kelompok, rencana memperoleh sarana prasarana, alokasi peruntukan pengelolaan Hkm, pengembangan usaha, hingga pengembangan kelembagaan kelompok.

Mereka bahkan memiliki aturan main sendiri yang sudah terdokumentasi tiap kelompok. Tiap kelompok berbeda satu dengan lain.

Seperti halnya Kelompok Tani Tanah Leluhur. Mereka menerapkan aturan main, seperti: kewajiban mengikuti gotong-royong rutin kelompok, dan apabila dua kali tidak mengikuti, ada sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000. Anggota juga wajib membayar iuran kelompok Rp 5.000 perbulan, uang administrasi menjadi anggota kelompok Rp 10.000.

Aturan lain, anggota bersedia menanami petak izin pengelolaan lahan dengan tanaman keras yang memberikan manfaat ekonomis dengan tidak menebang tanaman tersebut. Bersedia diberi sanksi dicabut izinnya bila masa telah berakhir dan tidak diperpanjang hingga pelanggaran terhadap ketentuan izin yang telah disepakati.

Termasuk bila memperjualbelikan kayu hasil tebangan atau rintisan kepada pihak mana pun hingga perburuan satwa liar yang dilindungi oleh undang – undang. “Bahkan pembakaran lahan tanpa izin dan mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan dan penebangan pohon harus ada izin kelompok,” kata Maryono.

Pencuri Kayu

Akhir Juni 2016 lalu, empat warga tanpa izin mengambil pohon roboh pasca pembukaan hutan untuk pembangunan penghubung Balikpapan ke Kabupaten Penajam Pasir Utara, Kalimantan Timur. Aksi ini membuat keempatnya berurusan dengan polisi.

Mereka ditangkap saat sedang memotong kayu balok menjadi bentuk papan dengan ketebalan 1 inci dan kayu balok ukuran 8×8 sentimeter. Masing-masing sepanjang 4 meter. Halim, salah seorang yang tertangkap, baru saja menyelesaikan 24 potongan papan dan 25 tiang balok persegi. “Dibayar Rp 1.000.000 satu bulan,” kata Halim.

Polisi menangkap Halim dkk karena tidak menyertakan izin pemanfaatan kayu limbah. “Kayu sebenarnya dibiarkan saja. Kecuali dia ada izin pemanfaatan kayu, ini kategori limbah. Mereka tak punya,” kata Direktur BPHLSW, Purwanto.

HLSW memang terus mendapat ancaman dari sekelilingnya. Februari 2016 silam, lima warga dari Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan bahkan pernah tertangkap di kawasan inti hutan saat mencuri gaharu.

Itulah masa lalu gangguan bagi HLSW. Bagi Slamet Usman, Ketua Forum HKm HLSW, pencurian yang sama juga telah terjadi di masa lalu, sebelum HKm terbentuk. “Pencurian seperti ini sudah berlangsung lama. Gaharu paling banyak dicari,” kata Usman.

Pendatang masuk hutan di tahun 1960-an. Banyak di antara mereka berasimilasi dengan warga setempat. Dalam perjalanannya, mereka mulai membuka lahan di tepian hutan. Mereka mengambil kayu hutan untuk membuat sirap atau sejenis bahan untuk atap rumah dari kayu dan kayu-kayu balok. Aksi ini berbuntut pada kebakaran hebat pada hutan saat kemarau panjang. Sejak itu, kawasan terbuka dan warga mulai masuk ke bekas kebakaran.

Sebelum menjadi HKm, kawasan itu memang menjadi sasaran utama pencurian kayu. Hutan saat itu masih dalam pengawasan pengaman Pertamina, karena air dari DAS Sungai Wain dalam hutan mengalir ke waduk bikinan Pertamina.

Air waduk dikirim ke pengolahannya di Gunung Pancur di Balikpapan untuk diolah dan kemudian dikirim ke berbagai kawasan yang berkepentingan dengan Pertamina, terutama pabrik pengolahan minyak. Ini setara lebih dari 20 persen warga Balikpapan merasakan air olahan Pertamina ini.

Kucing-kucingan dengan petugas Pertamina yang saat itu dibackup TNI Polri, terus terjadi. Sekalipun hutan akhirnya ditetapkan sebagai kawasan lindung di tahun 1983 dan 1988. Sampai setidaknya pernah sembilan warga dipenjara 7 bulan karena didakwa mencuri kayu. Tapi tak jera. “Kami tidak pernah takut. Tak bisa siang, malam pun kami lakukan,” kata Usman.

Titik baliknya warga terjadi setelah area itu terbuka hingga ribuan hektar, lahan pertanian dan kebun warga terhampar seperti kantong-kantong, namun penghidupan mereka tak juga membaik.

Awalnya mereka berniat bergabung dengan kelompok pertanian Karang Joang di kecamatan yang sama Balikpapan Utara, tapi tetap tak diakui dinas pertanian. Akibatnya, penghasilan kurang. Mencuri kayu pun kembali jadi jalan keluar. “Alasannya kami ilegal berada di dalam hutan lindung,” kata Martinus.

HKm berdiri di 2011. SK Menhut serasa angin segar. “Semula kami dianggap petani ilegal. Tidak bisa berusaha di tanah garapan ini, tak bisa menerima bantuan, kembali mengambil kayu seperti masa lalu malah dikejar-kejar. Sejak HKm resmi, kami bisa menggarap dengan baik,” kata Martinus.

Hingga akhirnya mereka menemukan solusi dengan Pemerintah Balikpapan. “HKm akhirnya dibantu pemerintah bisa terwujud,” katanya.

“Sejak itu bantuan bisa masuk. Kami berharap ke depan bisa menjadi lebih baik,” kata Maryono, Ketua Kelompok Tani Harapan Sejahtera.

Mereka mengaku kini terus menjaga kawasan itu sebagai zona penyangga bagi hutan lindung. “Terbukti, kami lah yang melaporkan pencuri gaharu di hutan lindung saat melintas wilayah kami. Kami laporkan ke pengelola. Mereka ditangkap,” kata Maryono.

 

Tulisan ini telah dimuat di Cahayakaltim.com, 5 Oktober 2016, dan diedit kembali untuk dimuat di Jaring.id.

Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi

Penambangan nikel di Halmahera Tengah tak hanya mengakibatkan deforestasi. Ia membikin aliran air sungai menjadi keruh, banjir bandang, hingga merampas kehidupan warga yang selama ini

Yang Rusak karena Tambang Nikel Halmahera

Aliran sungai di Halmahera Tengah tercemar akibat deforestasi penambangan nikel. Air sungai terkontaminasi, sehingga tidak lagi bisa dikonsumsi maupun untuk menjalankan ritual keagamaan. Oktaviana Kristin

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.