Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) semakin menguatkan bahwa penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden bermasalah sejak awal. Proses pencalonan putra dari Presiden Joko Widodo ini sebelumnya dimuluskan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada pertengahan Oktober tahun lalu.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Hasibuan menyebut putusan DKPP tidak bisa dianggap main-main sekalipun hanya berdampak langsung terhadap penyelenggara pemilu, bukan pada Gibran. Menurutnya, putusan DKPP merupakan bukti nyata betapa bermasalahnya pencalonan Gibran sebagai wakil presiden. “Ini menunjukan bahwa pemilu sejak awal terjadi praktik manipulasi. Lewat putusan MK yang meloloskan seorang calon yang masih terafiliasi dengan Presiden Jokowi,” tutur Hasto, pada Senin, 5 Februari 2024 dalam siaran pers di Kantor Pusat PDIP, Jakarta.
Hasto berharap komisioner KPU, serta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat bekerja dengan baik tanpa takut dengan intervensi maupun tekanan. Dalam penyelenggaraan pemilu, menurutnya, suara rakyat merupakan hukum tertinggi. “Sebaliknya ketika tunduk di dalam intervensi-intervensi, maka baik secara hukum secara etika maupun dalam pranata sosial kita, itu ada local wisdom yang dipercaya rakyat bahwa tindakan itu sangat sangatlah berbahaya,” ujarnya.
Sebelumnya, DKPP memutuskan Ketua KPPU Hasyim Asy’ari dan enam komisioner lain terbukti melanggar kode etik serta perilaku penyelenggaraan pemilu. Enam komisioner KPU itu adalah August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, serta Idham Holik.
Keputusan DKPP ini terkait penerimaan Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada 25 Oktober 2023. Saat menerima Gibran, penyelenggara pemilu masih merujuk Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Padahal aturan terkait syarat usia minimal masih 40 tahun. Sedangkan saat itu Gibran berusia 36 tahun.
KPU mengklaim sudah dapat menerima Gibran sebagai calon wakil presiden karena merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 16 Oktober tahun lalu. Dalam putusannya, MK mengubah syarat usia minimal 40 tahun dengan menambahkan klausul yang bisa memuluskan jalan bagi kepala daerah untuk mengikuti kontestasi pilpres. Putusan inilah yang kemudian membuka pintu bagi walikota berusia 36 tahun.
Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran setelah putusan menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan DKPP. Namun Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran, Habiburokhman menegaskan keputusan tersebut tidak membatalkan pasangan Prabowo-Gibran. Ini karena capres-cawapres telah ditetapkan secara konstitusional. “Tidak melanggar konstitusi,” kata dia.
Putusan DKP, menurutnya, tidak berkaitan dengan legal standing (kedudukan hukum) pencalonan Prabowo-Gibran karena keduanya bukan terlapor dalam perkara tersebut. “Putusan DKPP dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 32/PUU-XIX/2021,” ia menyarankan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menegaskan bahwa putusan DKPP tidak serta-merta dapat membatalkan pencalonan Gibran sebagai cawapres. Ini karena sanksi etik tersebut ditujukan kepada komisioner KPU. “Putusan DKPP tidak dalam rangka membatalkan penetapan Gibran sebagai peserta pemilu. Karena ini adalah sidang terhadap pelanggaran etik. Maka yang dikenai sanksi adalah pribadi dari penyelenggara pemilunya,” jelasnya saat dihubungi Jaring.id, Senin, 5 Februari 2024.
Meski begitu, ia menilai bahwa penyelenggara pemilu saat ini tidak profesional saat menerima pencalonan Gibran. “Lalu yang menjadi pertanyaan juga adalah ini peringatan keras ketiga dari DKPP kepada Ketua KPU. Ini yang menjadi pertanyaan publik,” ungkapnya.
Putusan DKPP ini menambah daftar pelanggaran yang dilakukan komisioner KPU. Pada 10 Oktober lalu, Ketua KPU Hasyim dikenai sanksi peringatan keras terkait pelanggaran Pasal 10 ayat 2 Peraturan KPU Tahun 2023 mengenai pembulatan ke bawah dari 30 persen pencalonan perempuan dalam pemilu DPR/DPRD. Dalam rilis DKPP Hasyim pun disebut pernah diberi sanksi peringatan karena diduga bertemu dengan salah seorang peserta pemilu pada Agustus 2022. Selain pelanggaran etik, Hasyim juga pernah mengucapkan hal yang mengundang polemik, seperti penerapan kembali sistem pemilu proporsional tertutup. (Lalu Adam Farhan Alwi)