Penurunan angka stunting menjadi salah satu program yang diajukan kedua Capres. Program lama diajukan dan minim inovasi. Meski penelitian mengungkapkan bahwa persoalan stunting punya kaitan dengan perilaku merokok, tim kampanye dari kedua Capres tak tegas mendukung pengendalian tembakau.
Stunting mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia beberapa tahun belakangan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan stunting sebagai kondisi ketika tinggi seorang balita tidak sesuai dengan standar umurnya. Ia dipicu oleh buruknya asupan gizi sejak 1.000 hari pertama kehidupan yang dihitung sejak masa kehamilan.
Perhatian terhadap stunting menjadi relevan sebab proporsi status gizi sangat pendek pada balita (stunting) di Indonesia masih berada di kisaran 30,8% pada 2018. Adapun status gizi kurang masih berada di level 17,7%.
“Idealnya prevalensi stunting di satu negara itu di bawah 20%,” tutur Hardinsyah, Ketua Umum Pergizi Pangan.
Dokumen ‘Stunting Policy Brief’ yang dirilis WHO menyebutkan ada 162 juta balita yang mengalami stunting di seluruh dunia. Balita stunting akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah, terhambatnya perkembangan kognitif, serta meningkatnya risiko penyakit katastropik pada usia dewasa.
Laporan lain yang dirilis World Bank tahun 2016 bertajuk ‘The Economic Costs of Stunting and How to Reduce Them’ memperingatkan potensi stunting menggerogoti GDP suatu negara hingga 7%. Pada kasus terburuk (laporan itu mencontohkan Ethiopia), GDP yang tergerus bisa mencapai 13%.
Dalam konteks Indonesia, stunting akan menghambat ‘rezeki nomplok’ bonus demografi yang digadang-gadang mencapai puncaknya pada 2035. Kondisi ketika angkatan kerja lebih banyak ketimbang usia tidak produktif ini bukan sesuatu yang otomatis didapatkan. Kita bisa belajar dari Brasil dan Afrika Selatan yang tidak terlalu berhasil memanfaatkan bonus demografi, sehingga tidak bisa lepas dari kubangan middle income trap.
“Tingkat kesehatan dan gizi masyarakat yang rendah akan menjadi bumerang yang merugikan negara,” ungkap Irianto, ahli gizi dari Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi).
Perilaku Merokok
Selain asupan gizi yang buruk, ada satu lagi faktor risiko stunting yang nampaknya menjadi persoalan serius di Indonesia; perilaku merokok. “Asap rokok mengganggu penyerapan gizi pada anak, yang pada akhirnya akan mengganggu tumbuh kembangnya,” ungkap Bernie Endyarni Medise, Ketua Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Pernyataan itu kian ditegaskan lewat riset Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) yang dirilis bulan Juni 2018 silam. Tim peneliti menemukan perilaku merokok mempengaruhi balita stunting lewat dua cara. Pertama, asap rokok yang dihembuskan para orang tua menghambat tumbuh kembang anak. Kedua, anggaran belanja rokok membuat orang tua mengurangi investasi makanan bergizi, biaya kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Penelitian ini menggunakan dataset longitudinal The Indonesian Family Life Survey (IFLS) yang pertama kali dihelat oleh RAND Corporation pada 1993. Data menunjukkan proporsi pengeluaran rumah tangga untuk rokok melonjak dari 3,6% (1993) menjadi 5,6% (2014). Pada saat bersamaan, pengeluaran penting seperti makanan sumber protein (ikan dan daging) turun dari 10,1% pada 1993 menjadi 7,8% pada 2014.
Penanggung jawab penelitian Teguh Dartanto mengungkapkan penelitian tersebut juga menghasilkan temuan menarik lainnya. Anak-anak dari orang tua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan lebih rendah (rata-rata) 1,5 kilogram, dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua yang tidak merokok. Begitupula dengan pertumbuhan tinggi badan anak dari orang tua perokok, yang rata-rata lebih rendah 0,34 cm dari keluarga lain non perokok.
“Memperhitungkan faktor genetik dan lingkungan, kami menemukan anak dengan orang tua perokok kronis memiliki probabilitas stunting 5,5% lebih tinggi,” tegas Teguh.
Stunting di Pusaran Pemilu
Persoalan stunting menjadi bahan kampanye calon presiden dan calon wakil presiden. TB Ace Hasan Sadzily, Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, menegaskan stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia dan kemampuan daya saing bangsa.
Kader Partai Golkar ini membeberkan TKN Jokowi-Ma’ruf akan menurunkan prevalensi stunting melalui berbagai program. Pertama, mempercepat jaminan asupan gizi sejak dalam kandungan. Kedua, memperbaiki pola asuh keluarga. Ketiga, memperbaiki fasilitas air bersih dan sanitasi lingkungan.
“Kesehatan jadi isu strategis dan menjadi syarat mutlak bagi lompatan kita ke depan,” ucap, capres 01 Joko Widodo saat berdialog dengan komunitas kesehatan, Kamis (28/2/2019).
Menariknya, program yang tak jauh berbeda juga diusung oleh penantangnya. “Kita akan menangani stunting dengan program intervensi gizi, mengupayakan sanitasi yang baik, serta mendorong usaha promotif preventif,” tegas Gamal Albinsaid, juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga.
Hal yang patut disayangkan, tidak ada program pengendalian tembakau yang diusung oleh kedua capres. Padahal, proporsi konsumsi tembakau (kunyah dan hisap) masih sangat tinggi. Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensinya mencapai 33,8%. Ironisnya, jumlah perokok muda usia 10-18 tahun juga melonjak dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018.
Dalam sebuah forum diskusi yang digelar di Jakarta Timur pada Sabtu (9/3/2019), kedua perwakilan capres justru terlihat gagap saat ditodong pertanyaan mengenai penaikan cukai rokok sebagai salah satu instrumen mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Caleg Partai Nasdem, Okky Asokawati yang mewakili TKN Jokowi-Ma’ruf serta Gamal Albinsaid dan Caleg Partai Berkarya Vasco Ruseimy yang mewakili BPN Prabowo-Sandi kompak mengedepankan upaya edukasi untuk mengurangi angka perokok.
“Saya sebenarnya sudah mengusulkan hal itu [penaikan cukai rokok] kepada tim BPN, tinggal sekarang masih digodog,” ungkap Gamal berdiplomasi.
Peneliti PKJS Universitas Indonesia Renny Nurhasana menyayangkan hal tersebut. “Edukasi memang penting, tetapi tidak cukup,” tegasnya.
Ia menuturkan zat nikotin menjadi candu sehingga sangat sulit mengedukasi bahaya rokok, tanpa ada restriksi lain seperti penaikan harga rokok melalui mekanisme cukai. Apalagi laporan WHO berjudul ‘MPOWER: Six Policies to Reverse the Tobacci Epidemic’ yang diluncurkan pada 2008 sudah menegaskan bahwa kenaikan harga rokok efektif untuk menekan tingkat konsumsinya.
Ungkapan kekecewaan juga datang dari Nina Samidi, Communication Manager Komnas Pengendalian Tembakau. Ia menegaskan reformasi kebijakan kesehatan harus mencakup program pengendalian tembakau. Sebab inilah yang menjadi salah satu dasar berbagai permasalahan kesehatan seperti tingginya penyakit tidak menular, defisit BPJS Kesehatan, stunting, hingga sulitnya pengentasan kemiskinan.
“Kedua paslon tampaknya tidak berani memunculkan pengendalian tembakau dalam visi-misi kesehatan mereka. Ini adalah sebuah pertanyaan besar,” ungkapnya. (Rezza Aji Pratama)