Kasus positif Covid-19 di Malaysia melonjak setelah digelarnya Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Bagian Sabah pada 26 September 2020. Tak sampai dua pekan, Malaysia mencatat 691 kasus baru pada Selasa, 6 Oktober 2020. Dari jumlah itu, 219 di antaranya berasal dari Negara Bagian Sabah.
Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yasin menyatakan bahwa prosedur standar operasi (SOP) Komisi Pemilihan Malaysia (EC) buat mengantisipasi penyebaran Covid-19 tak berjalan sesuai harapan. Menurutnya, tidak sedikit kandidat yang tidak menaati protokol kesehatan, seperti jaga jarak aman.
Tak hanya memicu jumlah kasus di Sabah, Pemilu Sabah ditengarai mengatrol jumlah kasus positif di negara bagian lain. Sejumlah kasus di Selangor, Kuala Lumpur, Tregganu disebut berkaitan dengan aktivitas perjalanan kampanye kandidat ke Sabah.
Menteri Kesehatan Malaysia, Noor Hisham Abdullah menyatakan 235 kasus positif berkaitan dengan perjalanan ke Sabah sejak 20 September 2020. Guna mengantisipasi gelombang kedua di Negeri Jiran, pemerintah Malaysia melarang perjalanan dari Sabah ke Semenanjung Malaysia, Sarawak, dan Wilayah Federal Labuan. Aturan ini berlaku mulai 12 Oktober hingga 25 Oktober 2020.
Selain Malaysia, sejumlah negara di Asia Tenggara dijadwalkan mengelar pemilu tahun ini. Di antaranya adalah Myanmar pada 8 November 2020 dan Indonesia pada 9 Desember 2020. Tahapan pemilu di kedua negara sudah memasuki masa kampanye. Meski begitu, tidak sedikit protokol kesehatan yang dilanggar para kandidat.
Di Indonesia, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia mencatat 243 pelanggaran pada saat pendaftaraan bakal calon kepala daerah. Sementara pada masa kampanye, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan di 59 kabupaten/kota dari 9189 kegiatan kampanye
Oleh sebab itu, KPU memperketat protokol kesehatan dengan menerbitkan pelbagai aturan. Misalnya Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada di Situasi Covid-19, serta pasangan calon didorong mengutamakan kampanye dalam jaringan. Menurut anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Viryan Azis para kandidat masih dapat melakukan kampanye langsung, namun dalam pertemuan terbatas tidak lebih dari 50 orang. Selain itu, para perserta juga wajib menerapkan aturan jaga jarak minimal 1 meter.
“Sayangnya kampanye daring belum maksimal karena semua kandidat masih terjebak mindset kampanye tradisonal,” kata Viryan dalam diskusi Titik Rawan Pilkada di Masa Pandemi pada Kamis, 8 Oktober 2020.
Meski begitu, KPU tidak dapat melarang kampanye tatap muka. Pasalnya hal tersebut masih termuat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam pasal 88C Ayat (1) Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2020, KPU hanya dapat melarang rapat umum, kegiatan pentas seni atau budaya, olah raga atau jalan santai, perlombaan, kegiatan sosial serta ulang tahun partai.
Dari empat simulasi pemungutan suara yang sudah dilakukan, penumpukan pemilih di luar tempat pemungutan suara (TPS) juga banyak disoroti. Viryan mengatakan pihaknya tengah merancang aturan pembatasan pemilih berlapis di luar TPS. Salah satu cara yang dibahas ialah dengan membagi jam kedatangan pemilih ke TPS.
“Oktober kami akan simulasi. Banyak pihak belum tahu ada sejumlah penyesuaian teknis di tingkat regulasi sampai logistik. KPU terus mengantisipasi bagaimana jika kondisi terus memburuk,” katanya sembari menyatakan bahwa lembaganya tidak menutup kemungkinan menunda pemungutan suara di zona merah.
Sementara itu, peneliti Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit), Hadar Nafiz Gumay menilai aturan yang dibuat KPU saat ini belum cukup kokoh menjadi dasar pelaksanaan pilkada di situasi pandemi. Pasalnya, aturan tersebut masih mengacu UU Pilkada yang dirancang sebelum pandemi. Hal ini membuat KPU lemah secara hukum untuk mengubah total regulasi maupun mengakomodir tata cara pemungutan suara yang sesuai dengan situasi Covid-19, seperti melakukan pemilihan lewat pos maupun pemilihan dini.
“Apa yang terjadi saat ini adalah tambal sulam. Semestinya kita bereskan dulu aturan prinsipnya, yaitu UU Pilkada,” ungkapnya.
Untuk itu, mantan anggota KPU ini menyarankan agar pemerintah menunda pilkada sembari merevisi UU Pilkada maupun menyiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
“Di sinilah penundaan dibutuhkan. Yang diperlukan, dihentikan dulu tahapan untuk beberapa bulan. Setelah dibenahi, kita lanjut lagi. Itu yang kita perlukan kalau betul-betul serius memprioritaskan penjagaan kesehatan,” katanya.
Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan pemungutan suara di 270 daerah di Indonesia berisiko memantik ledakan kasus Covid-19. Pasalnya, Indonesia sampai saat ini belum dapat menerapkan protokol kesehatan dengan baik. Dalam kampanye misalnya, tidak sedikit dari kandidat yang melanggaran aturan.
“Meskipun memakai masker, ketika kampanye kandidat biasanya akan berbicara kencang dan itu bisa memicu penyebaran virus,” katanya dalam diskusi bertajuk Titik Rawan Pilkada di Masa Pandemi pada Kamis, 9 Oktober 2020.
Hal ini diperburuk dengan rendahnya jumlah pelacakan kasus di Indonesia yang masih di angka 26 ribu orang per hari. Idealnya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah pelacakan kasus minimal Indonesia mestinya sebanyak 38 ribu orang per hari.
“Ingat orang-orang ini akan mengalami mobilitas dan interaksi. Bisa jadi sumber penularan dan banyak kluster,” ujarnya.
Merujuk situs kawalcovid.id, sejumlah daerah yang akan menggelar pilkada masuk dalam zona merah Covid-19. Hingga 7 Oktober 2020, menurut co-founder kawalcovid.id, Elena Ciptadi, provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Jawa Barat punya indeks kewaspadaan tinggi.
“Ada daerah-daerah yang hampir semua kabupatennya yang pilkada masih merah. Semakin tua merahnya, warga di wilayah tersebut harus makin waspada,” kata Elena.