Kesulitan ekonomi di masa pandemi tak serta merta mengalihkan belanja rokok ke kebutuhan pokok. Rokok masih menjadi pengeluaran terbesar setelah beras.
Masyarakat miskin merogoh kocek semakin dalam untuk membeli rokok selama pandemi. Hal tersebut tergambar dalam berita resmi statistik yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Februari 2021.
Di perdesaan, sebanyak Rp 49.594 pengeluaran masyarakat miskin digunakan untuk rokok kretek filter. Nilai tersebut jauh melampaui pengeluaran untuk telur ayam ras, daging ayam ras, dan gula pasir yang jika ditotal nilainya sebesar Rp36.829.
Kondisi tak jauh berbeda didapati di perkotaan. Pengeluaran masyarakat miskin untuk membeli rokok kretek filter mencapai Rp 61.881 per kapita per bulan. Sementara itu total pengeluaran untuk telur ayam ras, daging ayam ras, dan gula hanya mencapai Rp 41.896 per kapita per bulan, atau setara dengan 67,7 persen pengeluaran untuk rokok.
Tingginya pengeluaran untuk rokok kretek filter, tak pelak membuatnya jadi komoditi paling berpengaruh kedua terhadap garis kemiskinan. Hanya beras yang berada di atasnya.
Mereka yang masuk dalam kategori miskin, berdasarkan data yang sama, adalah masyarakat perkotaan yang pengeluarannya maksimal Rp 458.380 per kapita per bulan. Adapun di desa, mereka yang masuk kategori miskin berpengeluaran tak lebih dari Rp 418.514 per kapita per bulan.
Dalam menetapkan garis kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Konsep tersebut mengukur komoditi yang banyak dikonsumsi, baik komoditi makanan dan bukan makanan.
Selain rokok, lazimnya BPS memasukkan 51 komoditas lain yang masuk dalam kategori makanan. BPS menerapkan standar minimum pengeluaran makanan setara 2.100 kilokalori. Angka tersebut didasarkan pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) Indonesia sesuai anjuran Kementerian Kesehatan. Kalori bisa didapat dari paket komoditi kebutuhan dasar makanan seperti padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak. Untuk memenuhi kebutuhan kalori, setidaknya satu orang dewasa memerlukan paket 60 gram protein, 65 gram lemak, 360 gram karbohidrat dan 32 gram serat dalam sehari.
Sementara di kategori bukan makanan, BPS mengukur garis kemiskinan menggunakan 52 komoditi di perkotaan dan 49 komoditi di pedesaan. Lima pengeluaran bukan makanan terbesar biasanya perumahan, bensin, listrik, pendidikan, dan perlengkapan mandi. Pengaruh kebutuhan dasar bukan makanan terhadap garis kemiskinan yang hanya sebesar 26 persen, jauh lebih kecil dibandingkan dengan komoditi makanan.
Namun, dengan adanya pandemi Covid-19 BPS melakukan penyederhanaan dengan hanya memasukkan 10 komoditas makanan dan 6 komoditas bukan makanan.
Posisi pengeluaran masyarakat terhadap rokok sebenarnya tak banyak bergeser jika merujuk data profil kemiskinan BPS sejak 2015. Padahal menurut BPS, jika penduduk yang masuk dalam kategori miskin mengalihkan pengeluaran belanja rokok untuk makanan yang memiliki kilokalori, ada kemungkinan ia menjadi tidak miskin.
Laporan (BPS) pada September 2020 menunjukkan jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah menjadi 27,55 juta jiwa atau setara 10,19 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Terjadi kenaikan penduduk miskin baru sebanyak 1,13 juta jiwa sejak Maret 2020. Sejumlah faktor yang memengaruhi angka kemiskinan seperti pandemi Covid-19, meningkatnya angka pengangguran, laju ekonomi rendah hingga peningkatan harga eceran beberapa komoditas.
Data lain yang dirilis oleh Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) menyebut kalau terjadi peningkatan perilaku merokok selama pandemi. Dalam hasil survei yang dirilis Komnas PT pada Selasa, 19 September 2020, sekitar 48,5 persen responden berpendapatan kurang dari Rp 5 juta masih mengkonsumsi rokok saat pandemi. Bahkan 13,8 persen justru meningkatkan konsumsi rokok. Hanya 38,1 persen yang mengurangi kebiasaan merokok.
Sementara masyarakat berpendapatan di atas Rp 5 Juta yang tak mengubah kebiasaan merokoknya sebesar 53,8 persen. Sebanyak 12,3 persen meningkatkan konsumsi rokok dan hanya 33,8 persen yang mengurangi konsumsi rokok. Survei dilakukan terhadap 612 responden dari berbagai daerah di Indonesia selama 15 Mei 2020 hingga 15 Juni 2020, atau tiga bulan setelah status darurat corona pada akhir Februari 2020.
Dalam risetnya, Komnas Pengendalian Tembakau menyarankan perlunya pengendalian berkaitan perilaku merokok dan belanja rokok. Beberapa hal yang bisa dilakukan seperti edukasi rumah bebas asap rokok, perluasan kawasan tanpa rokok disertai edukasi tentang bahaya rokok, dan pembatasan akses pembelian rokok.