Masyarakat yang tinggal di pelosok lebih rentan mengawinkan anaknya. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Selatan jumlahnya meningkat. Di tahun 2016 persentase perempuan yang nikah di bawah usia 16 sebanyak 16,93 persen, meningkat menjadi 17,24 persen pada 2017
Andini –bukan nama sebenarnya– terpaksa harus menikah di usia 15 tahun. Dia tak bisa berbuat banyak ketika keluarga seorang lelaki yang tak dia kenal, datang melamar ke rumahnya di Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. “Saya tak bisa menolak permintaan orang tua,” kata Andini, Kamis 7 Februari 2019.
Ibu Andini, Antarini –juga nama samaran– mengatakan keluarga memang memutuskan menikahkan anak mereka dengan alasan Andini malas pergi ke sekolah. Mereka berdua menolak nama aslinya dipublikasikan dengan alasan takut stigma di masyarakat.
Si lelaki konon jatuh hati ketika Andini membawakan kopi untuk dia dan kawan-kawannya, para pekerja tambang yang sedang memeras keringat, tak jauh dari kediaman gadis belia itu. “Yang penting orangnya baik, orang jauh lagi, kita terima,” ucap Antarini, 34 tahun. Dia sendiri juga menikah di usia belasan tahun.
Perkawinan dini di Sulawesi Selatan memang hal lumrah. Beberapa warga bahkan sengaja memalsukan usia anaknya, demi mendapatkan buku nikah dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Andini akhirnya melangsungkan pernikahan pada September 2018 lalu. Ibunya sendiri yang mengurus berkas pernikahan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.
Karena tidak memiliki akta kelahiran, usia Andini mudah dimanipulasi. Hanya bermodalkan kartu keluarga dan surat keterangan dari desa saja, usia gadis itu diubah dari 15 tahun jadi 17 tahun. “Saya bilang: salah ini Pak, tahun kelahirannya anakku salah,” tutur Antarini. Petugas tak punya pilihan selain menuruti permintaan Antarini, “Kan tidak ada bukti akta kelahirannya,” kata Antarini lagi sambil tertawa.
Saat pengurusan, ia juga tidak dikenakan biaya lantaran mengurus sendiri. Padahal jika melalui perantara atau calo dikenakan biaya Rp 50 ribu. Antarini mengaku rela antre seharian demi mengubah kartu keluarganya.
“Ada memang orang di desa dan Dukcapil yang biasa urus begitu (ubah kartu keluarga),” kata Antarini. Ia nekat mengubah data anak keduanya karena dorongan keluarganya yang bekerja di KUA setempat. Secara hukum, dia tak bisa menikahkan Andini kalau usia anaknya masih di bawah 16 tahun.
Berkat perubahan tahun kelahiran Andini di Kartu Keluarga, KUA pun tak bisa berbuat apa-apa. Usia Andini dalam buku nikah juga ditulis 17 tahun. “Ada omku yang kerja di KUA, jadi dia yang urus naikkan usianya di buku nikah, tak membayar juga,” ungkap Antarini.
Kasus serupa juga terjadi di Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone. Sarmila yang menikah di usia 15 tahun, tercatat berusia 18 tahun ketika ijab kabulnya diresmikan oleh penghulu pada 2016 lalu.
Awalnya ia tidak mengetahui jika usianya dinaikkan. Belakangan dia baru tahu setelah membaca kartu keluarganya yang sudah diubah. “Waktu menikah saya dicurikan umur tiga tahun. Yang urus siapa, saya tidak tahu. Waktu itu, hanya dibilangin mau nikah. Saya juga kenal siapa calon suami karena kami satu kampung,” kata perempuan tamatan sekolah dasar ini.
“Omnya semua yang urus soal itu, kami hanya terima jadi saja,” tambah ibu Sarmila, Nurlaila.
Tidak mudah mengubah data
Kepala Bidang Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Maros, Muhlisa, membantah jika perubahan data warga masyarakat di kartu keluarga bisa dilakukan dengan begitu mudah. “Seharusnya ada akta kelahiran atau ijazah terakhir yang dilampirkan. Masyarakat yang ingin mengubah tanggal lahirnya harus punya dasarnya,” kata Muhlisa.
“Tidak semudah itu mengubah data tanpa dasar. Kalau bukan akta kelahiran ya ijazah terakhir sebagai penggantinya,” tutur Muhlisa. Kalau pun ada yang berhasil mengubah tahun kelahiran si anak, kata Muhlisa, bisa dipastikan itu melanggar aturan.
Muhlisa mengaku memang kerap ada masyarakat yang datang ingin mengawinkan anaknya yang usianya muda. Namun, dia memastikan, petugas akan menolak permohonan itu, karena setiap calon pengantin harus memenuhi persyaratan yakni 17 tahun ke atas. Jika tidak, maka pernikahan itu tak bisa diresmikan di kantor pemerintah. “Kalau anak di bawah umur, jelas kita tak akomodasi,” ucap dia.
Dihubungi terpisah, penyuluh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cina, Kabupaten Bone, Andi Ilham, mengakui jika masih ada oknum pegawai yang kerap menjadi calo pengurusan buku nikah. Caranya, dengan menaikkan usia anak. “Iya, biasa memang ada oknum pegawai yang nakal,” ucap Andi Ilham.
Calo tersebut, lanjut Andi, sudah muncul ketika orangtua pengantin mengurus berkas di kantor Dinas Kependudukan. Keluarga biasanya dikenakan biaya maksimal Rp 200 ribu per calon pengantin. “Tapi itu bukan bagian dari pelayanan, itu hanya oknum pegawai yang main,” katanya.
Menurut dia, jika anak dikawinkan di bawah usia 16 tahun, maka itu melanggar Undang-undang Perkawinan Anak. “Kan kalau belum cukup umur terus kita buatkan buku nikah itu penyimpangan. Jadi biasanya, ya dinaikkan usianya,” tutur dia.
Akan tetapi, Ilham berujar, untuk menaikkan usia anak sekarang agak susah. Pasalnya semua sistem sudah online. Kantor Urusan Agama pun hanya bisa menerima berkas kartu tanda penduduk atau kartu keluarga dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Kecuali ada surat dispensasi dari Pengadilan Agama setempat, pernikahan di bawah umur pasti ditolak.
“Setelah ada dispensasi barulah berkasnya disetor ke KUA untuk dibuatkan buku nikah,” kata dia. “Kalau tak ada (dispensasi) kita tak nikahkan, aturannya kan begitu,” lanjut Ilham.
Dihubungi terpisah, Lurah Manurungnge, Kecamatan Tanete Riattang, Andi Kasmiati, mengaku pihaknya selalu menolak memberikan surat pengantar perkawinan untuk anak di bawah umur. Dia biasanya langsung mengarahkan keluarga ke pengadilan untuk mengambil surat dispensasi. “Kalau anak di bawah umur saya tidak tanda tangani, nanti ada pegangan dispensasi baru saya buatkan pengantar ke KUA,” ucap Andi Kasmiati.
Dispensasi
Pengadilan Agama Bone juga membantah jika lembaganya disebut mudah mengeluarkan dispensasi untuk pernikahan dini. Panitera Muda Hukum, Jamaluddin Rahim, mengaku pengadilan sering menolak mengeluarkan dispensasi bagi calon pengantin. Penolakan biasanya muncul jika fisik kedua calon pengantin dianggap belum matang untuk menjalin rumah tangga. “Hakim akan menolak jika pengantin tak penuhi syarat, umpamanya perempuan usia 13 tahun dan laki-laki 15 tahun,” kata Jamaluddin, 25 Januari 2019.
Kepala KUA Bantimurung, Syamsuddin Caco, menegaskan pihaknya tak segan-segan memberikan sanksi kepada pegawai yang nakal. Apalagi jika sudah jelas melanggar aturan terkait pemalsuan dokumen dalam Pasal 263 KUHP atau 264 KUHP, dan atau 266 KUHP. “Tapi selama ini kan tidak ada yang berani seperti itu, mereka pasti takut,” ujar dia.
Pemalsuan dokumen melalui oknum pegawai KUA, kata Syamsuddin, juga sangat sulit dilakukan. Alasannya banyak data pendukung yang harus disetor untuk mengurus pernikahan seperti foto copy ijazah, kartu keluarga, dan akta kelahiran.
Apalagi sekarang KUA melakukan pemeriksaan data lebih detail. “Banyak yang kita minta, jadi tak bisa direkayasa datanya,” tutur Syamsuddin. Tentu ada celah yang masih bisa dieksploitasi. Misalnya warga menyulap data si anak dengan mengubah kartu keluarganya lalu beralasan tidak memiiki ijazah. Itulah yang dilakukan Antarini dan Nurlaila. “Kita kan tidak tahu,” kata Syamsuddin ketika ditanya mengapa praktek semacam itu masih bisa lolos.
Perilaku koruptif
Meski dibantah semua aparatur pemerintah, nyatanya praktek pernikahan di bawah umur terus terjadi di Sulawesi Selatan. Fakta di lapangan menunjukkan masih ada celah untuk memalsukan usia anak yang mau dinikahkan.
Program Manager Institute of Community Justice (ICJ) Makassar, Husmirah Husain, mengakui amat sulit memberantas pelanggaran macam itu. Selama orang yang menjalankan sistem berperilaku koruptif, kata dia, mark up umur akan terus terjadi. Meski proses pengurusan kartu tanda penduduk kini sudah berbasis online, itu pun masih bisa disiasati.
“Sebenarnya bukan lagi pada sistemnya, tapi bagaimana orang-orang yang menjalankan sistem ini,” kata Husmirah di kantornya di Makassar, Jumat 8 Februari 2019.
Apalagi sebelum data masyarakat sampai ke kabupaten/kota, warga terlebih dahulu mengurusnya di kantor kecamatan. Dokumen itu bisa saja berubah sebelum masuk ke proses online. “Jadi praktik koruptif tetap ada karena yang menjalankan perangkat itu ‘bermasalah’,” tutur Husmirah.
Apalagi, masyarakat di Sulsel masih melihat perkawinan anak hanya urusan domestik semata, bukan publik. Walhasil sebaik apa pun aturan yang dikeluarkan pemerintah, orang tua atau keluarga tetap berusaha melanggar. Apalagi tidak ada sanksi jelas untuk pelanggaran aturan semacam itu.
Selain itu, Husmirah juga menyoroti tidak sinkronnya UU Perkawinan dan UU Nomor 35 Tahun 2017 tentang Perlindungan Anak. UU Perkawinan mengatur perempuan berusia minimal 16 tahun sudah bisa menikah. Sedangkan, UU Perlindungan Anak tegas menyebutkan menikahkan anak di bawah 18 tahun adalah pelanggaran. “Jadi bertabrakan ini aturan, UU masih jadi ambigu di masyarakat,” tambahnya.
Oleh sebab itu, dia mendorong segera ada revisi UU Perkawinan untuk mensinkronkannya dengan UU Perlindungan Anak. “Kita juga mendorong ada sanksi diberikan jika kawin anak terjadi,” tutur Husmirah.
Banyak faktor
Nur Anti, Kepala Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulsel, mengungkapkan ada banyak faktor terjadinya perkawinan anak terutama perempuan. Di antaranya minimnya akses pendidikan, minimnya pengetahuan tentang kesehatan, kurangnya penegakan hukum, dan buruknya layanan akses akta kelahiran. “Jadi bukan sepenuhnya faktor ekonomi,” kata Nur Anti.
Menurutnya, dibutuhkan kerja kolektif untuk mencegah kasus pencurian umur dan perkawinan anak. “Iya, pemalsuan berkas tetap ada tapi sudah berkurang, beda dengan dulu,” ungkap Nur Anti.
Nur melihat perkawinan anak masih terjadi lantaran kesalahan orang tua dalam pengasuhan. Anak kurang mendapat kasih sayang, perhatian, dan perlindungan. Karena itu, pemerintah mendorong program pengasuhan anak yang lebih baik, dengan turun langsung mengedukasi masyarakat di pedesaan.
Pemerintah juga membuat program prioritas yakni perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat. Program ini melibatkan perangkat desa, imam masjid, kader Puskesmas, Babinsa, Babinkamtibmas, tokoh agama, dan lembaga pemerhati anak.
Meski semua program itu sudah gencar diadakan, toh masyarakat di Sulsel masih sulit terlepas dari kasus perkawinan anak. Pernikahan usia dini sudah menjadi tradisi turun temurun.
Antarini misalnya. Dia sendiri menikah di usia 14 tahun. Kini, anaknya, Andini, juga dinikahkan di usia 15 tahun. Bahkan Antarini berencana segera menikahkan anak ketiganya yang masih berusia 13 tahun.
Di Kabupaten Bone juga begitu, anak perempuan yang tinggal jauh dari perkotaan rentan dinikahkan. Anak-anak perempuan itu tak kuasa menolak perintah orangtua untuk menikah muda. “Di sini orang rata-rata cepat nikah. Nikah muda sudah dianggap biasa,” kata Sarmila. Matanya menerawang jauh. Dia kini hanya bisa meratapi nasibnya.
Didit Hariyadi