Meja bulat berbahan kayu milik Soeharto tak lagi sempurna. Permukaannya rumpang menghitam di sana-sini lantaran tersundut bara rokok. Masa lalu meninggalkan bekas, meski kondisi telah berbeda.
Kebiasaan merokok diakrabi Soeharto sejak tahun 60-an. Belasan batang habis dihisap setiap hari.
“Mas tahu sendiri kalau sopir bis di Jakarta tidak mungkin tidak merokok,’’ ujar Soeharto kepada Jaring.id pada Selasa, 26 Maret 2019.
Petaka menghampiri pada tahun 2000. Kedua kakinya mendadak tak kuat lagi menekan pedal kopling maupun pedal gas. Berjalan pun sulit. Dokter bilang, ia menderita hipertensi. Kebiasaan merokok menjadi salah satu penyebabnya.
“Saya memutuskan pensiun dari DAMRI, karena kesehatan kurang baik,” ungkapnya.
Langkah pensiun dari Perusahaan Autobus (PO) Djawatan Angkoetan Motor Repoeblik Indonesia (DAMRI) di DKI Jakarta 20 tahun lalu, beriring dengan keputusan Soeharto berhenti merokok. Tak ingin tetangga menderita nasib serupa, ia berinisiatif mengajak warga kampungnya lepas dari ketergantungan terhadap rokok.
Usaha tersebut tentu tak mudah. Soeharto butuh waktu tiga tahun untuk meyakinkan warga Poerbowardayan tentang bahaya rokok. Tak jarang ia mesti menegur langsung tetangganya yang kedapatan merokok.
“Saya tegur. Dulu kalau main badminton saja sambil merokok. Akhirnya diberitahu sedikit-sedikit, hingga akhirnya bisa bebas rokok,” ungkapnya gembira.
Jerih payah Soeharto terbayar pada Agustus 2018. 255 kepala keluarga di kampung Poerbowardayan mendeklarasikan kampung antirokok. Pencanangan identitas baru ini ditandai dengan pemasangan spanduk berukuran 1 x 2 meter bertuliskan “Kampung Bebas Asap Rokok” di sepanjang jalan. Warga juga berinisiatif membangun 2 unit pojok rokok, sekaligus meletakan 4 tong sampah khusus puntung rokok.
Selain memetakan ruang bagi perokok, Kampung Poerbowardayan kini dilengkapi forum anak. Anak-anak didorong untuk berani menegur siapa saja yang merokok di kawasan terlarang.
Soeharto senang bukan kepalang bisa membersihkan lingkungan rumahnya dari kepulan asap rokok. Selain anak cucunya, anak lain juga terhindar dari bahaya rokok.
“Kita ingin menyelamatkan generasi anak. Kampung bebas asap rokok memberi masukan, mengajak anak untuk sehat. Semakin banyak berolahraga, maka semakin mengurangi orang-orang yang aktif merokok,’’ tandasnya.
Langkah nyata pengurangan rokok sudah dimulai Soeharto dan warganya. Ia berharap, Pemerintah Surakarta dan DPRD terdorong membikin peraturan daerah KTR.
“Di Solo ada 5 kecamatan. Kecamatan itu paling tidak ada demplot (demonstration plot). Setelah ada percontohan, nanti DPRD kan nanti pasti mencari masukkan ke wilayah ke daerah, kasih masukan. Ini loh ada ini. Kita perlu Perda,” ungkap Soeharto
Mengili Alasan Ganjil Pemda
Pada peringatan Hari Anak Nasional tahun lalu, Surakarta kembali didapuk sebagi Kota Layak Anak (KLA) kategori utama. Kota di selatan Pulau Jawa tersebut gagal menyabet peringkat tertinggi karena terganjal komitmen daerah terhadap pembatasan rokok.
Sampai tahun ini, Surakarta hanya punya Peraturan Walikota Nomor 13 Tahun 2010 terkait Kawasan Tanpa Rokok. Sedangkan, rancangan peraturan daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan Kawasan Terbatas Merokok (KTM) baru dimasukan DPRD dalam program kerja 2019.
“Meski belum ada Perda, saya bergerak sendiri. Apa artinya Perda kalau itu hanya dokumen? Lebih baik perda belum ada, tetapi aksinya ada untuk melindungi rakyat saya,’’ kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Surakarta, Siti Wahyuningsih saat ditemui di Loji Gandrung usai rapat dengan Walikota Solo, Kamis, 28 Maret 2019.
Sementara itu, Walikota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo mengakui masih sulit membikin peraturan daerah yang isinya melarang iklan rokok. Kota ini, menurutnya, terganjal sisa kontrak iklan rokok yang berdurasi 1 hingga 3 tahun ke depan.
“Iklan rokoknya itu loh kan ada kontraknya. Itu jadi susah untuk buat Perda. Iklan rokok yang belum selesai dihabiskan dulu. Kita tidak mau dianggap wanprestasi karena persoalan itu,’’ kilahnya.
Walikota Hadi Rudyatmo menganggap Peraturan Walikota sudah cukup untuk saat ini. Sekalipun belum maksimal, Hadi mengklaim implementasi aturan tersebut sudah sampai ke tingkat kelurahan.
”Sanksi (bagi pelanggar) masih teguran. Kalau Satpam dan Satpol sudah malu, ya sanksi sosial,’’ lanjutnya.
Dalam situs pendukung gerakan pengendalian tembakau, www.protc.id, belum semua daerah memiliki peraturan mengenai KTR. Di tingkat provinsi, rasionya tak sampai 65 persen. Data 2018 menunjukan bahwa baru 22 dari 34 daerah yang sudah memiliki aturan mengenai KTR. Di tingkat kabupaten/kota, bersisa 236 dari 514 daerah yang belum memiliki regulasi KTR, baik berbentuk peraturan walikota/bupati, maupun peraturan daerah.
Terganjal Aspirasi Petani
Salah satu daerah yang belum membikin regulasi tentang KTR ialah Kabupaten Sleman. Sudah 7 tahun sejak 2012, pembahasan raperda ini dijegal aspirasi ribuan petani tembakau. Mereka mengancam tidak lagi memilih anggota DPRD periode ini bila mengesahkan raperda tersebut.
“Saat itu, sudah studi komparasi ke mana-mana. Tahapan pembahasan sudah sampai pembicaraan tahap kedua, tinggal satu lagi. Tinggal sekali lagi diparipurnakan selesai sebenarnya, namun batal karena demo petani tembakau,’’ ungkap Ketua Pansus Raperda KTR DPRD Sleman Arif Kurniawan kepada Jaring.id.
Beberapa anggota DPRD Sleman, imbuhnya, masih khawatir bila memasukan raperda ini ke dalam program legislasi daerah.
“Masih ada beberapa orang (DPRD-red) khawatir Perda dianggap mempunyai daya luas (risiko tinggi-red) yang kuat. Kami menyampaikan, kalau teman kita kompak saya kira tidak ada persoalan,’’ kata Arif.
Dinamika politik di DPRD ini jelas tidak menguntungkan bagi upaya pemerintah mengurangi dampak rokok bagi kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Joko Hastaryo bahkan mengkhawatirkan adanya peningkatan perokok usia produktif. Dari 155.305 kepala keluarga, sekitar 41,85 persen teridentifikasi sebagai perokok.
Hal ini mengakibatkan jumlah pengidap Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) di atau penyakit infeksi saluran penafasan akut lain di wilayah Sleman mencapai 27.990 kasus.
“Masuk urutan 7 dari 10 penyakit terbanyak di DIY. Ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan jumlah penderita demam berdarah. Rata-rata orang tua (pengidapnya-red), karena kebiasaan merokoknya lama,’’ jelas Joko saat ditemui Jaring.id di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sleman, Jum’at, 29 Maret 2019.
Itu sebab, Wakil Ketua Fakta, Tubagus Haryo Karbayanto mendesak pemerintah daerah segera membikin regulasi ketat mengenai KTR di sejumlah lokasi. Antara lain fasilitas kesehatan, sekolah, arena bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, kantor dan angkutan umum.
“Dibutuhkan komitmen dan sikap berpihak pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari bahaya penggunaan produk tembakau, seperti rokok,’’ ujarnya.
Buat mengetahui komitmen antirokok tiap daerah, jelas Tubagus, regulasi yang telah dibuat selama ini bisa menjadi tolok ukur. Daerah yang hanya membentuk peraturan walikota/bupati, memiliki kadar yang berbeda dengan peraturan daerah.
Organisasi pengendalian tembakau telah mengklasifikasikan daerah antirokok ke dalam 3 jenjang hierarki, yakni KTR+1, KTR+2 dan KTR+3. Menurut Tubagus, daerah yang telah menerapkan aturan keras terhadap peredaran iklan rokok masuk pada kategori +3. Sedangkan +1 dan +2 disematkan pada daerah yang hanya mengatur kawasan perokok.
“Kota Bogor, Depok dan Bekasi merupakan KTR +3, DKI Jakarta, Kulon Progo dan Bali masuk KTR +2, terakhir untuk +1 ada Kota Solo,’’ sebutnya.
Menurut Tubagus, pemda tidak perlu ragu menerapkan aturan pengendalian tembakau. Pasalnya asap rokok sudah mengorbankan banyak orang. Survei dua tahunan yang dibuat World Health Organization (WHO) tentang penggunaan tembakau di Indonesia menunjukan bahwa ada sekitar 40 persen anak-anak dan 80 persen dewasa tercemar asap rokok.
“Ini sudah darurat dan dampak bahaya merokok sudah sangat berat,’’ tegas Tubagus.
10 Tahun Melempem
Senin, 14 September, hampir 10 tahun silam, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Agung Laksono mengesahkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Selain mengatur soal sumber pembiayaan kesehatan, Pasal 115 (2) UU ini mewajibkan pemerintah daerah membikin Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Amanat ini kemudian diturunkan menjadi aturan yang lebih teknis, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, serta PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Meski begitu, sederet aturan ini tak mempan buat mendorong pemerintah daerah mengesahkan regulasi antirokok.
Kementerian Dalam Negeri pada akhir November tahun lalu sebetulnya sudah mengingatkan pimpinan daerah untuk segera menetapkan kawasan antirokok. Imbauan ini tertuang dalam surat Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah bernomor 440/7467/Bangda dan 440/7468/Bangda.
“Perda KTR ini salah satu upaya pencegahan. Ini kita dorong kepada daerah,’’ kata Eduard Sigalingging, Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah III Dirjen Bangda saat ditemui Jaring.id di ruangannya, Senin, 22 Maret 2019.
Kemendagri menargetkan semua daerah sudah memunyai Perda KTR pada tahun ini. Bila tidak, maka Kemendagri tak segan menjatuhkan sanksi. Dalam tiga tahun terakhir tidak ada gubernur yang membikin peraturan daerah KTR.
“Dengan UU 23 (Pemerintah Daerah) apabila kepala daerah tidak taat pada aturan termasuk kebijakan strategis nasional bisa dikenakan sanksi. Bisa administrasi teguran pertama, kedua juga teguran, ketiga bisa diberhentikan sementara selama tiga bulan. Kami akan terus memantau dan monitor,’’ tegas Edward.
Menurut Wakil Ketua Fakta (Forum Warga Kota Jakarta), Tubagus Haryo Karbayanto, ada pelbagai macam soal yang membuat pemerintah daerah tidak mematuhi amanat UU.
“Salah satunya ialah intervensi Industri rokok, Lalu kepala daerah yang kurang mengangap isu rokok sebagai isu penting,’’ ujar Tubagus sembari menunjukan data regulasi persebaran jumlah KTR di seluruh Indonesia
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti menyangkal telah mengintervensi pembuatan aturan KTR. Menurutnya, pengusaha tidak pernah dilibatkan dalam perumusan aturan kawasan antirokok. Buat pengusaha, sudah cukup bila aturan KTR disesuaikan dengan PP 109/2012. Namun, ia menyayangkan, ada peraturan daerah yang melebihi PP tersebut.
“Kami mengikuti peraturan. Yang baik ayo kita lakukan,’’ ajak Moefti saat ditemui di Graha Sucofindo, Senin, 1 April 2019.
Moefti mengakui bahwa industri rokok saat ini menuai banyak polemik. Utamanya terkait risiko kesehatan. Namun ia meminta agar sumbangsih cukai sebesar Rp 150 triliun tidak dilupakan.
“Kami paham hal itu. Karena itu produk ini perlu diatur agar tidak mematikan industri rokok dan merugikan kesehatan,’’ harap Moefti. (Abdus Somad/Damar Fery Ardiyan)