Jawa Timur merupakan lumbung suara terbesar kedua dengan 30,9 juta Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilihan presiden (pilpres) 2019. Sebagai basis Nahdlatul Ulama (NU) pemimpin agama berperan penting memengaruhi pilihan politik masyarakat di provinsi tersebut. Dipayungi bendera yang sama, para kyai punya imaji berbeda soal pasangan calon (paslon) yang berkompetisi. Narasi mengenai identitas keagamaan kedua kandidat tersebut dikembangkan.
Intonasi Kyai Haji Ilyas Siraj sontak meninggi. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur tersebut tak terima dituding menggunakan narasi kebencian berbasis Islam yang dialamatkan pada pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk mendongkrak suara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam pilpres 2019.
Ia balik menyebutkan barisan tuduhan yang menurutnya dialamatkan oleh pendukung Joko Widodo-Ma’aruf Amin pada pihaknya. Mulai dari label Wahabi sampai keberpihakan pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Isu Wahabi begitu kuat tuduhannya ke kami, kalau Prabowo menang Wahabi akan menguasai, lalu diangap aliran keras,” tuturnya meradang saat ditemui Jaring.id, Minggu, 5 Mei 2019.
Ilyas menegaskan bahwa isu agama banyak mempengaruhi pilihan masyarakat di Pulau Madura pada Pilpres 2019. Sebagai basis NU, hal tersebut tak terhindarkan. Ijtima Ulama II yang mengarahkan dukungan kepada pasangan Prabowo-Sandi jadi pertimbangan lainnya.
“Sumenep daerah mayoritas NU. PCNUnya sangat kuat. Siapa pun yang datang ke sini diterima, tetapi tetap pilihannya 02,” ujarnya.
Berdasarkan hasil hitung suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 21 Mei 2019 pukul 23:54, pasangan Prabowo-Sandi meraup 436.196 suara atau sekitar 64,27 persen di Kabupaten Sumenep, Madura. Seperempat suara Paslon 02 di Pulau Garam bersumber dari sana.
Salah satu sebab keoknya Jokowi di Madura, beber Ilyas, adalah sosok merakyat yang tak cocok dengan imaji pemimpin di kepala banyak pemilih. Menurutnya, “Isu pemimpin merakyat tidak termakan di Madura.”
Sosok Ma’aruf sebagai Ulama NU juga tak banyak berpengaruh.
“NU ya NU. Ma’aruf ya NU, tetapi orang Madura yang nggak kehilangan daya kritisnya tetap milih Prabowo,” imbuhnya.
Lain halnya dengan Prabowo yang dinilai Ilyas merupakan sosok tegas dan berwibawa. Dua hal tersebut dianggapnya lebih cocok dengan imaji pemimpin di kepala masyarakat Madura.
K.H. Taufik Hasyim, Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang NU (PCNU) Pamekasan, menyebut Pamekasan memiliki kultur NU yang berbeda sehingga Prabowo-Sandi sukses mendulang suara di daerah tersebut. Selain itu, sederet tuduhan diklaimnya membentuk gambaran negatif soal pasangan Jokowi-Ma’aruf. Salah satunya adalah antek Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Itu yang masuk ke masyarakat. Jokowi dianggap sesat, kafir, dan liberal. Dari situ dimunculkan isu bela Islam di Madura,” ujarnya kepada Jaring.id, Minggu, 5 Mei 2019.
Isu PKI dinilai masih membekas di memori kolektif masyarakat Madura sehingga mudah dimobilisasi untuk meraup dukungan. Keberhasilan Prabowo-Sandi mendulang 521.391 suara atau 83,78 persen di Kabupaten Pamekasan, lanjutnya, tak lepas dari label kafir dan berbagai sebutan negatif lainnya yang dilekatkan pada sosok Jokowi.
“Ada salah satu Kyai minimal (yang menyebut) hukumnya haram memilih pak Jokowi. Artinya hukum yang sunah bisa menjadi kafir,” ungkap Taufik.
***
Ari (31), warga Pakandangan, Sumenep, Jawa Timur kerap mendapati informasi mengenai kedua paslon hilir mudik di kelompok percakapan aplikasi pesan instan. Isunya tak jauh dari Islam dan anti-Islam.
“Isu PKI memang bergulir. Ada juga isu anti-Islam dan Islam radikal,” tuturnya kepada Jaring.id, Minggu, 5 Mei 2019.
Pada mulanya kelompok percakapan tersebut steril dari bahasan politik. Tensi yang meninggi menjelang Pilpres 2019 membuatnya dibanjiri informasi mengenai kedua Paslon.
“Berhubung grup (percakapan-red) bergeser ke ranah politik praktis nggak mencerdaskan, saya keluar (dari) grup. Ada informasi hoaks yang disebarkan di grup itu,” terangnya.
Ia menambahkan, media sosial seringkali menjadi hulu berbagai informasi simpang siur yang beredar di grup percakapan. Sebuah grup media sosial bertajuk Sumenep Baru ditunjukan kepada Jaring.id.
Jumlah anggota dalam grup yang dibuat 6 tahun lalu itu melebihi angka 75 ribu. Setidaknya ada 10.000 konten yang diunggah sebulan terakhir, atau lebih dari 300 konten diunggah di grup ini setiap harinya. Menariknya, Sumenep Baru tak memiliki preferensi kepada Paslon tertentu. Medan perang informasi pun terbentuk.
Menjelang Pemilihan Presiden 2019, konten-konten yang menyangkutpautkan Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan PKI bertebaran. Bentuknya mulai dari tulisan, hingga suntingan foto.
Sebaliknya, isu Wahabi juga dikembangkan untuk menyerang pasangan Prabowo-Sandi. Berbagai meme dan tautan ke situs tertentu diunggah. Salah satunya menuju ke situs santrinews.com. Salah satu unggahan bertanggal 8 April 2019 di situs tersebut ditajuki “Warga NU Golput, Wahabi Berkuasa.”
Tulisan tersebut mengutip pernyataan K.H. Marzuqi Mustamar yang mendorong pengikut NU agar tak memilih pasangan Capres-Cawapres yang didukung kelompok Wahabi. Pimpinan Pondok Pesantren Sabilurrosyad, Gasek, Malang, Jatim tersebut juga mengatakan dirinya tidak rela dengan tindakan Sandiaga Uno yang menggunakan bendera NU saat melakukan kampanye.
Imaduddin (29), Anggota Pengurus Cabang Pemuda Ansor Sumenep, Jatim menyebut masyarakat kesulitan memilah informasi di tengah rendahnya literasi. Ketika kebenaran sulit dipastikan, ucapan pemimpin agama jadi acuan.
“Mereka nggak tahu itu benar atau bohong, yang jelas itu perintah Kyai,” tuturnya sembari menunjukan pesan-pesan yang disebar melalui kelompok percakapan WhatsApp.
Pesan-pesan tersebut, imbuhnya, tak hanya beredar di dunia maya, tetapi juga disebarkan para tokoh agama melalui berbagai pengajian.
“Kalau bicara barokah, ucapan Kyai sangat barokah,” imbuh Imaduddin.
***
Muhammad Al-Fayyadl, Pengajar Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jatim menyoroti beberapa hal yang menjadi pangkal perbedaan pilihan politik di kalangan pengikut NU. Aksi 212 yang bermula tiga tahun lalu dinilainya menjadi salah satu faktor penyebab.
“Aksi 212 cukup banyak di Madura dan Pantura. Banyak dari Jawa Timur yang berangkat. Mereka punya sentimen keislaman merasa lebih dekat Prabowo,” terangnya saat dihubungi Jaring.id, Sabtu, 11 Mei 2019.
Jebolan Universite Paris-8, Prancis tersebut juga menyebut banyak Kyai termakan isu PKI yang dialamatkan pada sosok Jokowi. Hal itu banyak terjadi di kawasan Tapal Kuda.
Merujuk hasil hitung suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 21 Mei 2019, daerah-daerah yang disebut Al-Fayyadl memang menjadi lumbung suara 02. Di Situbondo, 50,14 persen suara atau sekitar 203.949 pemilih didapat Prabowo-Sandi, sedangkan di Pacitan persentasenya mencapai lebih dari 66 persen, setara dengan 230.623 suara.
Di Pulau Madura, raihan suara paslon 02 bahkan menyentuh angka 67,25 persen. Dari empat kabupaten/kota di pulau tersebut, Jokowi-Ma’ruf hanya menang di Kabupaten Bangkalan.
Perolehan suara tersebut menjadi gambaran tak seragamnya narasi di kalangan pengikut NU. Di beberapa daerah, Prabowo dianggap mencerminkan Islam yang diharapkan oleh NU Jawa Timur. Sebaliknya, sosok Ma’ruf dinilai bukan kyai yang diidamkan menjadi pemimpin umat Islam.
Namun, perbedaan pilihan bukan sekadar didorong oleh berbagai narasi seputar identitas keislaman. Persoalan struktural di tubuh NU turut andil.
“Ada ketidakpuasan terhadap NU. Ada juga pandangan Ma’ruf diangkat bukan atas kesepakatan ulama. Itu hasil lobi politisi di Jakarta, tidak kemudian lahir dari aspirasi (masyarakat) bawah,” terangnya.
***
Sekretaris Tim Pemenangan Jokowi-Ma’aruf Jatim Sri Untari menyebut kemenangan Jokowi di Jawa Timur tidak terlepas dari kekuatan Nasionalisme yang diwakili oleh PDIP dan agama yang diwakili oleh NU. Ia menampik anggapan soal kentalnya aroma politik identitas berbasis Islam di Jawa Timur semasa Pilpres 2019.
“Jawaban politik identitas itu cinta bangsa dan negara dengan dasar Pancasila. Maka tidak laku politik identitasnya,’’ ujarnya saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Jum’at 3 Mei 2019.
Mereka bisa saja secara ritual sama dengan NU. Salatnya, selawatnya sama, tetapi mereka memiliki imajinasi sosial-politik mereka sendiri – Ahmad Zainul Hamdi
Ahmad Zainul Hamdi, pengamat politik Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya punya pandangan berbeda. Menurutnya, perbedaan dukungan politik di kalangan NU mengindikasikan efektivitas penggunaan isu agama dalam politik identitas.
“Mereka bisa saja secara ritual sama dengan NU. Salatnya, selawatnya sama, tetapi mereka memiliki imajinasi sosial-politik mereka sendiri. Pengurus FPI (Front Pembela Islam) di Madura itukan Kyai-kyai NU,” ujarnya saat ditemui Jaring.id di ruang kerjanya, Jum’at, 3 Mei 2019.
Hamdi menilai penggunaan politik identitas pada Pemilu 2019 sangat kotor. Pasalnya, berbagai hal yang bersifat privat dijadikan isu publik.
Ia khawatir penggunaan politik identitas secara terus-menerus bakal membuat pemilih tidak jernih melihat situasi. Belum lagi, sistem patronase yang membuat masyarakat sekadar mengikuti kata pemimpin tanpa mampu melakukan kritik.
“Semua bisa tidak waras melihat manusia. Indonesia bisa dianggap tidak ada, yang ada pasukan setan dan pasukan Allah. Tidak ada hal lain selain menang atau menang total. Itu sangat jahat menurut saya,” tutupnya. (Abdus Somad)
*liputan ini merupakan kerjasama antara jaring.id dengan tirto.id