Piranti dan Teknik untuk Mengungkap Aktor di Balik Disinformasi Covid-19

Banyak kekuatan yang berada di balik banjir informasi menyesatkan tentang pandemi. Mereka adalah campuran dari kelompok ideologi tertentu, para penipu, aktor-aktor negara, agen-agen ‘humas nakal’, jaringan berita-berita konspirasi, hingga para mahasiswa yang mencari perhatian atau ingin mendapat sedikit imbalan uang.

Penelitian dari Reuters Institute Universitas Oxford menyebut hampir dua perlima misinformasi tentang Covid-19 berisi informasi yang sepenuhnya palsu. Riset lain yang dibuat oleh Oxford Internet Institute menemukan bahwa disinformasi Covid-19 yang diproduksi oleh media yang disokong pemerintah Rusia dan China lebih banyak mendapat perhatian di sosial media ketimbang berita-berita berdasarkan fakta dari media-media domestik di Eropa Barat. Situasi ini dianggap sangat serius oleh World Health Organization (WHO) yang menyatakan bahwa pandemi ini juga disertai dengan sebuah infodemi misinformasi.

Informasi menyesatkan terkait penyakit menular yang sengaja dibuat dan disebarkan dengan strategi tertentu dapat memiliki konsekuensi yang mematikan. Beberapa diantaranya adalah kematian akibat perilaku tidak bertanggung jawab, obat palsu atau bahkan beracun, dan hasutan yang mengarah ke kekerasan seperti serangan terhadap minoritas muslim di India.

GIJN mewawancarai 7 reporter dan editor yang meliput misinformasi Covid-19 dan menemukan keseragaman pendapat bahwa jurnalis investigasi harus fokus membongkar aktor di belakang misinformasi daripada mengungkap kebohongan yang disampaikan dalam misnformasi tersebut.

“Kita bertanggung jawab untuk mengungkap orang-orang dan kelompok-kelompok yang menciptakan dan menyebarkan disinformasi,” kata Craig Silverman editor BuzzFeed News. Ia memberikan daftar piranti dan plug in sumber terbuka (open source) untuk membantu jurnalis mengendus aktor pengasong misinformasi.

Investigasi Craig Silverman untuk membongkar jejaring penipuan bermula dari sebuah unggahan Facebook (sumber:GIJN/tangkapan layar)

Para reporter menyebut bahwa respons bersama dari organisasi pemeriksa fakta di seluruh dunia selama 2020 telah membantu mereka mengejar aktor-aktor di balik misinformasi. Aliansi Pengecek Fakta Virus Corona (CoronaVirusFacts Alliance), 100 organisasi yang dipimpin Jaringan Pengecek Fakta Internasional (International Fact Checking Network), telah membongkar lebih dari 7000 hoax terkait Covid-19 selama 2020.

Sementara itu, Forum Informasi dan Demokrasi (Forum on Information & Democracy) telah meluncurkan kelompok kerja dan menyusun sebuah respons berbasis kebijakan terhadap infodemi. Adapun lembaga-lembaga riset seperti koalisi nonprofit First Draft melatih para reporter menguasai teknik memverifikasi unggahan daring dan untuk melaporkan disinformasi secara bertanggung jawab.

Aimee Rinehart, Deputy Director First Draft menyatakan, mereka juga membantu redaksi-redaksi media untuk menghentikan rumor terkait virus korona sebelum sempat menjadi viral.

“Dalam mengamati rumor daring, kami melihat  adanya penggunaan istilah yang sama dan kebencian yang umum terhadap kelompok-kelompok  tertentu. Namun, lapisan pemanis pada kue disinformasi ini adalah virus corona.” kata Reinhart.

 

Mengurai Kerajaan Disinformasi

Pada bulan Juni, Institute for Strategic Dialogue (ISD)— sebuah organisasi masyarakat sipil yang bekerja dalam bidang  anti ekstremisme dan bekerjasama dengan jurnalis—di Inggris, menerbitkan sebuah investigasi tentang organisasi yang punya kontribusi besar terhadap disinformasi Covid-19. Mereka menemukan 496 domain yang terhubung dengan organisasi jaringan Natural News yang beraliran kanan dan berbasis di Amerika Serikat. Domain utama organisasi ini sebetulnya telah dilarang di berbagai platform media sosial termasuk Facebook sejak Juni 2019.

Jaringan Natural News telah menghasilkan banyak sekali teori konspirasi menyesatkan tentang Bill Gates dan menara 5G. Mereka juga menyebarkan video konspirasi bertajuk Plandemic  yang mendukung klaim palsu bahwa pandemi ini telah direncanakan.

“Meskipun telah dilarang di Facebook pada 2019 dan kembali dilarang pada 2020, Natural News dan domain-domain yang terafiliasi dengannya digunakan untuk menyebarkan disinformasi tentang berbagai topik termasuk Covid-19 dan protes terkait kematian George Floyd.” Tulis laporan ISD tersebut.

Setelah pelarangan diberlakukan, para peneliti mendapati 562,193 interaksi pada berbagai unggahan yang berkaitan dengan domain Natural News dalam waktu kurang dari 3 bulan pada 2020.

“Atribusi dan pelacakan aktor di belakangnya adalah kepingan yang hilang dari pekerjaan yang sangat banyak dalam disinformasi. Ini benar-benar merupakan bagian tersulit,” kata Chloe Colliver, kepala dari Unit Riset Digital di ISD.

Colliver mengatakan  CrowdTangle, Gephi, dan OSINT milik Bellingcat telah membuktikan pentingnya menginvestigasi jaringan. Peneliti ISD juga menggunakan  Google Earth Pro untuk mengungkap apakah alamat daring Natural News benar-benar merujuk pada sebuah lokasi yang dijadikan kantor mereka.

Satu petunjuk kunci yang muncul dari investigasi ini dan bisa digunakan jurnalis adalah beberapa jaringan disinformasi secara hati-hati membagi audiens mereka berdasarkan pandangan ideologis. Audiens kemudian diarahkan menuju situs yang isi kontennya sesuai dengan pandangan mereka.

Audiens yang tertarik dengan konten kesehatan holistik dan kontra terhadap hak memiliki senjata api sebagai contoh, akan diarahkan menuju situs berdomain .news yang berisi informasi menyesatkan tentang pengobatan alternatif tapi tanpa konten propaganda tentang hak kepemilikan senjata api.

 

Area-area Disinformasi yang Harus Diawasi

Colliver menyebut “Humas Hitam”—perusahaan yang disewa untuk mendiskreditkan individu, lembaga, dan media—menjadi area yang harus diawasi oleh redaksi investigasi beberapa bulan ke depan.

“Saya berpikir pasar “Humas Hitam” masih belum diinvestigasi secara menyeluruh. Kemungkinan merekalah yang melakukan pekerjaan kotor dari pihak-pihak  yang berniat mencelakakan melalui disinformasi Covid-19” lanjutnya.

Alexandre Capron, Jurnalis The France 24 Observer mengatakan, admin hoax berumur 20 tahun yang dia wawancara melupakan kemungkinan kalau 37 konten terkait Covid yang dia buat bisa mencelakakan pembaca. Mahasiswa itu berterus terang tentang rencana  disinformasinya dan juga tujuan aneh dari permainannya.

“Strategi kami adalah untuk menyebarkan informasi ini pada kelompok-kelompok besar. Tujuan kami adalah menyebarkan berita-berita ini sehingga benar-benar terjadi” jelasnya pada Capron.

 

6 Piranti untuk Mengidentifikasi Aktor di Balik Disinformasi Covid-19

  • Hoaxy. Sumber data terbuka ini bisa digunakan untuk memvisualisasikan penyebaran artikel dan unggahan daring, menelusuri artikel dari sumber yang kurang dipercaya, dan memperkirakan akumulasi jumlah unggahan dibagikan pada rentang waktu tertentu.
  • CrowdTangle. Platform pemantau media sosial ini memberikan informasi dan data mendalam tentang bagaimana sebuah konten telah dibagikan antarplatform seperti Facebook, Instagram, dan Reddit.
  • Piranti ini berguna untuk membuat peta lanskap media sosial dan menemukan hubungan-hubungan antardomain. Untuk menggambarkan alur misinformasi dalam format grafik, piranti Gephi bisa digunakan.
  • Untuk menginvestigasi penipuan dan disinformasi berlatar belakang keuntungan ekonomi, alat seperti com dapat digunakan untuk melacak iklan dan aktivitas komersial mencurigakan antarsitus. Untuk redaksi yang memiliki anggaran investigasi yang lebih besar, Adbeat adalah alat untuk menjaring informasi dari situs-situs tersebut dan menyediakan informasi intelijen yang berguna di balik iklan yang ditampilkan.
  • Diciptakan oleh ahli intelijen online Henk van Ess, Whopostedwhat adalah sebuah piranti yang dirancang untuk para penyelidik masalah publik untuk melakukan pencarian kata kunci pada Facebook. Dilengkapi dengan alat verifikasi video InVID dan CrowdTangle, piranti ini berkembang sebagai alat bantu melacak aktor di balik unggahan media sosial yang menyesatkan.
  • Gunakan Google Search untuk menemukan pertanyaan, bukan jawaban. Rinehart menjelaskan ketiklah setengah dari pertanyaan pada Google, seperti “Mengapa pemerintah federal ….” maka piranti ini akan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sering dicari dan akan memberikan informasi tentang apa yang tengah dicurigai masyarakat, atau tidak diketahui, ketika mengkonsumsi berita. Salah satu contoh yang paling sering dipakai adalah pertanyaan di posisi teratas di Google, “Apakah itu Uni Eropa?” yang ditanyakan secara luas oleh warga Britanian Raya sehari setelah pemungutan suara Brexit di Inggris.

 

6 Teknik untuk Melacak Mereka di Balik Disinformasi

  • Temukan foto profil atau foto latar yang paling awal dimuat pada halaman media sosial yang dicurigai dan sedang diinvestigasi. Lalu lihatlah ‘likes’ dan komentar-komentar terkait. Seringkali, orang-orang yang dekat dengan pemilik Halaman—atau bahkan si pemilik sendiri—adalah yang pertama me ‘like’ atau menanggapi foto yang pertama dimuat itu.
  • Sedikit ada perbedaan antara informasi yang ditampilkan pada desain Facebook yang lama dan baru, maka gantilah di antara dua format ini untuk melihat apakah ada data atau tautan yang berguna yang sebelumnya tidak muncul. Perhatikan catatan pada Halaman Facebook group yang memuat kumpulan komplain konsumen pada sebuah produk.
  • Ketika berusaha mengontak Troller secara langsung—dan menyadari motivasi di balik aksi mereka—sangat penting mengungkap identitas anda sebagai reporter. Beberapa jurnalis menemukan para Troller akan setuju diwawancarai untuk menaikkan popularitas mereka, bukan soal konten mereka yang salah. “Jangan berbohong tentang niat Anda, tetapi (troller) sangat menyukai berbicara tentang popularitas mereka,” catat Capron.
  • Masukkan konten ‘Tentang Kami’ dari situs yang dicurigai dengan menyertakan tanda kutip, dan telusuri bila telah ada situs lain yang menggunakan informasi yang sama. Gunakan tanda kutip  untuk URL dan domain juga – seperti pada  “site:youtube.com”.
  • Kenali kemungkinan disinformasi tandailah pada seluruh konten, termasuk kalimat-kalimat yang emosional atau ekstrim dan menggunakan unsur ketergesaan seperti: “Bacalah informasi penting ini sebelum dihapus Twitter.” Perhatikan juga struktur yang sama pada muatan newsfeed. Berikan perhatian pada situs yang menggunakan domain ‘.news’ karena jaringan disinformasi kadang menggunakan hal ini  untuk  audiens spesifik  dengan pandangan ideologis yang berbeda (silo audience-pent).
  • Hindari tindakan membesarkan pesan-pesan yang salah atau citra ekstremis yang sedang diinvestigasi. Aimee Rinehart dari First Draft menyarankan laporan tentang disinformasi oleh para pendukung teori konspirasi seperti QAnon tidak menggunakan kata QAnon pada judul hingga tiga kalimat awal, untuk mengurangi kemungkinan menjadi trending. Silverman menyatakan informasi-informasi ini biasanya diawali dengan fakta yang benar, diikuti dengan penjelasan yang berhati-hati tentang sebuah kebohongan _  dan fakta-fakta yang terverifikasi kemudian diulang lagi di akhir untuk menekankan kebenaran dalam ingatan  “Biarkan para troll bertanggung jawab tanpa memberikan kepopuleran yang mereka harapkan,” katanya. (Rowan PhilpGIJN)

Tulisan ini merupakan suntingan dari artikel bertajuk 6 Tools and 6 Techniques Reporters Can Use to Unmask the Actors behind COVID-19 Disinformation yang pertama kali dipublikasikan oleh Global Investigative Journalism Network (GIJN). Penyebarluasan tulisan ini berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International.

Alih bahasa ini disponsori oleh dana hibah dari Google News Initiative. Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, Anda bisa menghubungi [email protected].

Manajemen Proyek: Jurnalisme Kolaboratif

Semua dimulai oleh Associated Press, sebuah agensi berita nirlaba yang didirikan oleh enam surat kabar Amerika pada pertengahan abad 19. Kolaborasi ini memungkinkan para anggotanya

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.