Bisnis properti, konstruksi hingga perusahaan pelat merah di Bantul dikuasai sejumlah orang dekat penguasa selama lima tahun terakhir. Ekspansi bisnis tak selalu mulus. Ada yang menerabas lahan hijau lainnya jadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berikut laporan wartawan Harian Jogja Bhekti Suryani.
Truk pengangkut tanah tak berhenti lalu lalang di sebuah lokasi proyek perumahan di Jalan Imogiri Barat kilometer 8, Sudimoro, Timbulharjo, Sewon, Bantul, suatu siang pertengahan November 2015. Tanah berton-ton itu diturunkan dari dalam truk ke lahan bekas sawah. Tujuannya untuk mengeringkan lahan agar bisa dibangun perumahan.
Di depan jalan masuk lokasi proyek, berkibar sejumlah bendera umbul-umbul bertuliskan PT Dwi Mitra Intitama, pengembang yang tengah membangun perumahan bernama Grand Permata Residence. Perumahan itu dipasarkan seharga Rp400 juta per unit.
Sebelum 2015, tiga hektare lahan di kompleks perumahan itu ditumbuhi tanaman padi hijau membentang. Wah…di sana itu subur sekali lahannya, salah seorang petani di Dusun Sudimoro yang meminta identitasnya dirahasiakan, bercerita ke media ini suatu siang, akhir November 2015. Saking suburnya, sekitar 2010 kata sumber itu, Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul yang kala itu dipimpin Edi Suhariyanta mengeluarkan sertifikat hijau untuk sembilan petak lahan pertanian dari total 50 bidang lahan di lokasi perumahan.
Konsekuensi dari sertifikat hijau itu, lahan tersebut tidak boleh dialihfungsikan selama sepuluh tahun. Tujuannya untuk menjaga ketahanan pangan di Bantul. Namun sejak 2014, sertifikat hijau itu dilupakan. Lahan itu mulai ditawar pengembang sejak 2014, kata Kepala Dusun Sudimoro, Muchlis Piterdam Mariskarima beberapa waktu lalu.
Jual beli lahan berlangsung cepat. Awal 2015 tanah sudah selesai dibebaskan. Pertengahan 2015, urug tanah untuk pengeringan lahan pun dimulai. Petani Sudimoro yang menjadi sumber media ini mengaku tak habis pikir. Lahan bersertifikat hijau tiba-tiba diklaim pemerintah sebagai zona kuning yang dibolehkan dibangun perumahan.
Ia dan petani lainnya tak dapat melawan, lantaran kabar yang mereka terima, perumahan itu ditangani saudara Bupati Bantul Sri Surya Widati yang berkuasa kala itu. Sri Surya Widati kini tak lagi menjabat bupati. Calon bupati petahana itu kalah melawan Suharsono dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 9 Desember 2015 lalu.
Saya enggak tahu nama saudaranya siapa. Tapi semua petani di sini tahu itu keluarga bupati yang mengurus. Jadi enggak berani menolak. Lahannya terpaksa dijual,? kata lelaki paruh baya yang juga terlibat di kepengurusan kelompok tani di desanya itu.
Sebanyak 36 orang petani pemilik lahan terpaksa mengorbankan sumber penghidupannya demi perumahan. Bahkan kata sumber itu, diantara petani yang jadi korban pembebasan lahan itu kini mengalami depresi kantaran tak punya lagi mata pencaharian. Namanya kalau sudah melibatkan bupati biar lahan hijau diganti kuning juga enggak masalah. Itu teman saya sampai stres gara-gara lahannya dijual, paparnya lagi.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bantul Tri Saktiyana membantah proyek perumahan itu mulus karena ditangani orang dekat penguasa kala itu. Saya enggak kenal yang punya siapa. Prinsipnya kalau sesuai aturan kami keluarkan izin prinsipnya, kata Tri Saktiyana.
Ihwal lahan bersertifikat hijau diterabas perumahan Tri Saktiyana mengemukakan dalih. Ia mengklaim, lahan tersebut di peta tata ruang Kabupaten Bantul masuk dalam zona kuning yang dibolehkan dibangun perumahan. Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Bantul Partogi Dame Pakpahan justru menilai pemberian sertifikat hijau di lahan perumahan itu tidak jeli karena dilakukan di zona kuning. Dulu kesepakatan sertifikat hijau itu ada perjanjian di atas kertas tidak Atau apakah hanya lisan Saya sudah cek di bagian tata ruang, lahan itu kuning, Partogi terdengar yakin.
Mantan bupati Bantul Sri Surya Widati juga membantah keluarganya memuluskan proyek perumahan di Sudimoro. Kalau ada izin prinsip masuk tolong Bappeda disurvei jangan salah aturan. Kalau sesuai tata ruang saya tandatangani artinya sudah enggak masalah. Saya enggak tahu siapa saja yang minta [izin perumahan], klaim Sri Surya Widati saat dikonfirmasi akhir Desember lalu.
Rapot Merah
Tak hanya bisnis properti yang terserempet masalah aturan. Bisnis konstruksi dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga mendapat rapot merah dari lembaga auditor. Perusahaan Daerah (PD) Aneka Dharma yang dipimpin keponakan mantan Bupati Bantul Sri Suryawidati, Farid Hilmi bertahun-tahun rutin menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lantaran melanggar regulasi. Kejaksaan bahkan pernah mengusut perkaranya, kendati sampai sekarang tak membuahkan hasil.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK yang terbit 2010 lalu menyatakan pembelian Bantul Radio, salah satu unit usaha PD Aneka Dharma oleh perusahaan senilai Rp1,7 miliar tidak wajar serta tidak melibatkan tim penilai independen untuk menaksir harga.
Desember 2014, BPK kembali mengeluarkan LHP atas kinerja Aneka Dharma. Perusahaan pelat merah itu dianggap membebani keuangan daerah senilai Rp1,2 miliar. Pasalnya, banyak anggaran daerah yang dikucurkan ke Aneka Dharma untuk membiayai kegiatan usahanya, namun banyak pula unit usaha perusahaan yang mangkrak sehingga tidak memberi keuntungan.
Di sektor konstruksi, BPK pada pertengahan Januari 2016 lalu mengeluarkan LHP berisi audit atas 20 proyek pembangunan jalan dan jembatan yang melibatkan sejumlah rekanan dengan biaya APBD 2015. BPK menemukan pembengkakan anggaran pembangunan hingga Rp1,9 miliar. CV Kartika Buana yang dimiliki isteri kedua mantan bupati Bantul Idham Samawi, Linsiana disebut dalam temuan itu sebagai salah satu rekanan yang harus mengembalikan kerugian negara lantaran terjadi pembengkakan pembangunan jalan di dua proyek yang dikerjakan rekanan tersebut.
Selain itu, CV Sasmita yang dimiliki putri Linsiana dan Idham Samawi juga masuk di dalamnya. Terakhir PT. Bayu Utama yang dimiliki Ibnu Kadarmanto, kontraktor pemenang proyek dengan nilai paling besar selama beberapa tahun terkhir. Kami sudah menindaklanjuti temuan BPK, agar rekanan mengembalikan anggaran yang kelebihan ke kas daerah,? terang Kepala Inspektorat Bantul, Bambang Purwadi.