Pendamping Korban Kekerasan Seksual Tersandera Pasal Karet UU ITE

Pasal karet UU ITE menyoal pencemaran nama adalah sandera yang kerap digunakan dan lentur dipakai siapapun. Bermula dari pelaporan pada 2020, perkara masih bergulir hingga kini. Meila jadi bulan-bulanan. SP3 Polda DIY sedikit melegakan, tapi boleh jadi keputusan tersebut bukanlah akhir dari babak hidup Meila mendampingi kasus kekerasan seksual.

***

Meila Nurul Fajriah terpaksa berpisah dengan anaknya untuk sementara waktu. Sejak dua pekan lalu bocahnya diungsikan ke kota lain. Dirawat sang mertua. Meila merasa, kasus yang tengah dihadapi cukup menyita energi. Ia khawatir, situasi tersebut mempengaruhi tumbuh kembang sang anak. “Pokoknya kasus ini naik, yang mukaku udah ke mana-mana itu, aku langsung evakuasi anakku ke rumah mertua. Karena memang butuh ya,” ungkap Meila menggantung.

“Stres sih, mungkin nggak. Tapi ada kekhawatiran sensitifitas ini terlalu mendalam, kemudian anak itu nggak banyak kan aku nggak pakai babysitter ya. Jadi khawatir anak itu akan terganggu lah,” lanjut perempuan yang sejak 2016 memulai aktivisme di LBH Yogyakarta.

Pekan-pekan ketika kasusnya mulai mencuat di media sosial—pengujung Juli 2024, Meila mengaku kewalahan. Permintaan wawancara Jaring.id pun baru bisa terlaksana pada 11 Agustus 2024 atau sepekan lebih setelah kasus ini ramai di tengah publik. Meila saat itu mengaku butuh waktu.

Pelaporan terhadap Meila menjadi perhatian pada 24 Juli 2024. Pertama kali dipantik dari unggahan akun media sosial Instagram YLBHI. Berdasarkan surat yang diterima tim kuasa hukum, Meila ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama. Ia dijerat Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi ELektronik (UU ITE).

Pelapornya adalah terduga pelaku kasus kekerasan seksual, alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta berinisial IM. Meila merupakan salah satu pendamping korban. Kala itu ia bertugas di LBH Yogyakarta. Sepanjang 2020-2021, Meila mendampingi 30 korban kekerasan seksual.

Di tengah proses pendampingan, LBH Yogyakarta melalui aplikasi Zoom yang diunggah di kanal YouTube sempat menggelar konferensi pers pada 4 Mei 2020 berisi perkembangan penanganan kasus kekerasan seksual yang dilakukan IM. Di situ Meila membacakan pernyataan sikap organisasi dan memaparkan kronologi.

Itulah yang diperkarakan. IM mempermasalahkan penyebutan namanya secara berulang kali sebagai predator dan pelaku kekerasan seksual tanpa klarifikasi. Tak sampai enam bulan, pada Oktober 2020, IM melaporkan Meila dan LBH Yogyakarta ke Polda DIY atas tuduhan pencemaran nama. 

“Pertama itu ada tiga orang terlapor, kan kami saat itu konpers bertiga ya. Dari kami itu, setahu kami tiga. Tapi ada juga pihak lain yang dilaporkan, kayak mahasiswa gitu lah. Cuma yang naik kemudian teman-teman LBH. Setelah itu kami juga tidak tahu kenapa tiba-tiba tidak ada panggilan untuk nama lain. Cuma namaku saja,” ungkap Meila.

Proses hukum terkesan ditarik-ulur lantaran dibiarkan tak jelas hampir empat tahun. Ini masa berat bagi Meila. Meski telah paham risiko aktivisme dan kerja-kerja pendampingan kasus, tetap saja situasi tersebut tak mudah.

“Sebenarnya selama proses empat tahun ini tuh, kayak fisik dan mental itu sudah kayak pasrah apa yang akan terjadi. Karena secara mitigasi dan kerja ke depan itu sudah terbayang dalam otak, kayak urusan personal, kayak suami tahu, orangtua tahu, mertua tahu,” terang Meila.

“Kalau secara fisik, ibaratnya, saya sudah siap masuk penjara gitulah,” imbuhnya. Meila mengaku punya kemewahan karena pasangannya adalah lulusan hukum. Sistem pendukung dari keluarga dan organisasi pun tergolong mumpuni untuk dihadapkan pada perkara ini. 

Namun betapapun itu, ketika menjalani langsung, Meila nyatanya tak benar-benar merasa siap. “Kalau dibilang siap, ya siap. Tapi ya begitulah, sesiap-siapnya orang. Yang bikin down banget itu pas dulu itu, ini kok kasusnya nggantung, nggak ada kejelasan,” kenang Meila.

“Kepikiran 2020 sampai 2023 itu, between tahun-tahun itu lah. Karena di momen-momen itu aku menikah, punya anak, hamil, harus pindah ke Jakarta, gitu-gitu lah,” ungkapnya lagi.

Di antara proses-proses tersebut sempat ada mediasi. Meila sedang hamil tua saat mekanisme itu berlangsung. Ia urung ikut. Dari yang Meila dengar, IM menuntut permintaan maaf karena Meila dan LBH Yogyakarta dianggap telah menyebarkan nama serta informasi terduga pelaku. Kedua, IM juga meminta seluruh data korban. Keduanya ditolak.

“Data korban sudah pasti 100 persen nggak akan mungkin kami kasih. Lalu soal minta maaf, juga kami nggak mau, karena sebetulnya apa yang dilakukan LBH Jogja itu menampung seluruh informasi yang sudah beredar. Waktu itu informasinya viral duluan, nama dia dan informasi dia. Baru kemudian ada laporan ke LBH. Jadi bukan karena kami konferensi pers.”

Kasus ini kemudian senyap. Ada selentingan, IM sempat beberapa kali melaporkan para penyidik ke Propam. Jadi saban kali masuk laporan ke Propam maka perkara ini akan ‘hidup’ lagi. Tapi di lain kali, ada masanya perkaranya ‘mati suri’.

“Jadi si penyidik ini sudah beberapa kali bolak-balik dipanggil ke Jakarta, ya etik gitu lah. Jadi naik lagi kasusnya. Jadi begitu, gantung, naik, gantung, naik, gantung, naik, nggak jelas. Jadi teman-teman YLBHI, karena statusnya tersangka, kami ya pasif saja,” Meila menceritakan ulang apa yang ia dengar.

Sampai kemudian Meila hijrah ke Jakarta pada awal 2022, mengemban tugas Wakil Ketua Bidang Kampanye Jaringan YLBHI. Ia melanjutkan kerja-kerja aktivisme di ibu kota. Tak ada yang menyangka kasus ini bakal berlanjut. Sebab bagi Meila, advokasi kasus ini selayaknya perkara-perkara lain yang pernah ditanganinya. Hingga kemudian tiba kabar pada pertengahan 2024.

“Informasi itu dari tim hukum, bahkan nggak pakai surat. Jadi info bahwa akan naik ke penyidikan itu via WhatsApp, semuanya via WhatsApp.”

Meila ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama. Kendati, kini ia mengaku telah lebih tatag bila dibandingkan tahun-tahun ketika kasusnya menggantung. Meski bukan berarti juga ia selalu bertenaga. Ada kalanya lelah mampir.

“Dengan proses semuanya itu, pasti kita capek dan lebih sensitif. Itu wajar sih. Kayak, cuma capek, nangis. Kalau nangis itu mungkin ya, yang nggak sering gitu. Tapi bahwa momen-momen itu ada, iya.”

“Kadang aku mikir, kok jadi ke aku ya. Cuma karena realistis aja ya, aku agak bawa enjoy karena aku percaya sama timku, percaya pada lembagaku. Percaya dengan apa yang aku lakukan,” lanjut Meila lagi.

Surat pemberitahuan resmi atas penetapan status tersangka baru diterima Meila pada awal Juli 2024. “Aku baru dapat surat itu 1 Juli saat masuk kantor,” Meila mengingat. Perjalanan advokasi kasus kekerasan seksual ini sekaligus menjadi refleksi bagi Meila dan organisasi. 

“Dulu kami menyepelekan kasus ini, karena pertama, kami menganggap dia bukan pejabat public, dia secara politik juga tidak punya posisi politik tertentu. Ya, dia as individu. Tapi ternyata kami kecele di situ. Ternyata ada motif dan niatan yang kami juga nggak tahu apa itu.”

Mencuatnya penetapan tersangka yang menarget Meila Nurul Fajriah kemudian memantik gelombang solidaritas lebih dari 57 organisasi Masyarakat sipil. Mereka mendesak Polda DIY untuk menghentikan penyidikan. Selama pekan terakhir Juli hingga awal Agustus 2024 lalu, dukungan mengalir.

Tak lama dari itu, Selasa 6 Agustus 2024, YLBHI-LBH Yogyakarta menerima Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Meila Nurul Fajriah. Tapi baginya, proses mengawal belum usai.

“Advokasinya nggak mungkin berhenti di sini. Karena ada kekhawatiran praperadilan kan. Pelaku dan pengacaranya punya rekam jejak itu,” tutur Meila.

Terduga pelaku, IM bukan saja memperkarakan kasus ini dengan UU ITE. Ia juga melayangkan gugatan ke PTUN Yogyakarta terhadap Universitas Islam Indonesia (UII) karena mencabut gelar ‘Mahasiswa Berprestasi’ yang diberikan pada 2015. Gugatan itu tidak diterima.

Adapun pihak UII mencopot gelar tersebut pada 12 Mei 2020 melalui Surat Keputusan Rektor UII No. 327/SK-REK/DPK/V/2020. Pertimbangan UII mencabut gelar adalah merujuk pada hasil kerja Tim Pendamping dan Advokasi yang dibentuk rektorat tentang dugaan tindakan kekerasan seksual yang dilakukan IM pada rentang 2015-2020.

“Semoga kasusku ini tidak menyurutkan semangat teman-teman untuk membela korban-korban di luar sana, yang butuh pembelaan. Kita mau bilang bahwa pendamping kasus KS, aktivis pembela HAM, itu tidak bisa dikriminalisasi karena aktivitas pembelaannya. Intimidasi dan kekerasan itu tidak boleh terjadi,” tukas Meila.

Pasal 29 UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menyatakan, pendamping korban kekerasan seksual yang terdiri dari psikolog, pekerja sosial, advokat, atau paralegal yang sedang melakukan penanganan tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas pendampingannya.

Kerja-kerja pendampingan kasus kekerasan seksual bukan perkara mudah. Ketika masih mendampingi dan menerima langsung laporan korban, Meila sempat mengalami trauma tak langsung atau secondary trauma. 

“Aku itu pernah, dalam waktu seminggu itu mimpi diperkosa tiga kali. Dalam waktu seminggu itu. Karena dalam sebulan aku banyak sekali mendampingi kasus KS. Karena kita akan capek secara mental juga saat mendengarkan cerita orang dan lain-lain,” kenang Meila.

Kerentanan tersebut masih harus ditambah dengan ancaman intimidasi, kekerasan dari pelaku hingga kriminalisasi. Itu mengapa ekosistem yang aman dan sistem pendukung  perlu diciptakan.

“Kita (pendamping KS) masih dibutuhkan banyak orang, tapi kita juga manusia yang memerlukan orang lain. Jadi ekosistemnya itu yang harus dibangun. Kalau saya, mungkin ekosistem saya sudah terbentuk, support system sudah ada, maka saya lebih mudah menghadapi ini. Karena itu mau nggak mau sesama kita harus saling menjaga.”

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.