Burhanuddin, bukan nama sebenarnya, begitu masygul ketika ditanya apa akibat pertambangan emas yang dilakukan di wilayah tempat dia tinggal. Senyumnya masam, karena dia merasakan betul pekerjaannya sebagai petani tergusur oleh aktivitas pertambangan gila-gilaan di kawasan Sungai Beutong, Nagan Raya, Nanggroe Aceh Darussalam, yang merambah masuk ke hulu sungai dan membuat para petani tersingkir tanpa sanggup melawan.
“Pertambangan emas dengan alat berat di Nagan Raya telah terjadi sejak tahun 2015, puluhan alat berat beroperasi di Sungai Beutong, bukan hanya mengeruk sungai, tapi juga lahan pertanian warga atau daerah pinggiran sungai yang ditemukan emas,” ungkapnya saat ditemui Jaring, akhir Maret lalu.
Masyarakat sudah sangat resah dengan beroperasinya alat berat di Sungai Beutong, sungai dan dataran di pinggir sungai yang mengandung emas semua digali. Penambang tidak peduli kegiatan tersebut merusak lahan pertanian atau perkebunan.
Burhanuddin menyebutkan, meskipun pemerintah dan kepolisian telah berkali-kali berjanji akan menghentikan aktivitas pertambangan ilegal di Beutong, tapi hingga saat ini pertambangan tersebut masih terus terjadi dan tidak ada tanda-tanda akan dihentikan.
Yang membuatnya semakin sesak, para penambang itu adalah orang-orang yang datang dari jauh, dan tanpa permisi merusak sungai dan lahan-lahan pertanian. Burhanuddin menyebutkan, hanya beberapa orang yang dia kenal sebagai warga setempat yang terlibat dalam pertambangan tersebut. Sementara sebagian besar warga setempat, tidak mendapatkan keuntungan apapun, kecuali dampak buruk dari pertambangan itu.
Masyarakat tidak berani berhadapan langsung dengan pertambangan ilegal di Kecamatan Beutong, karena melibatkan banyak pihak. Baik itu mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), TNI maupun kepolisian. “Kami tidak berani, mereka semua punya kekuatan dan kekuasaan, sementara kami masyarakat kecil tidak punya apa-apa, kalau perusahaan legal bisa kami lawan karena mereka punya atasan dan dasar hukum, sementara kalau yang ilegal, kalau terjadi apa-apa, kami tidak tahu melapor kemana,” jelas Burhanudin.
***
BUKAN hanya petani yang tersingkir oleh aktivitas pertambangan emas ilegal. Para penambang tradisional, yang menggunakan nampan untuk mencari emas di sungai, juga ikut terusir. Seperti yang dialami Zainal—bukan nama sebenarnya—, warga Meulaboh, Aceh Barat.
Zainal bekerja sebagai penambang emas sejak tahun 2014, namun kegiatan pertambangan yang dia lakukan terhenti setelah alat berat masuk dan menguasai seluruh anak sungai yang mengandung emas khususnya di Kecamatan Pante Ceureumen, Kabupaten Aceh Barat.
Zainal mengaku, pertambangan ilegal dengan menggunakan alat berat di Pante Ceureumen, melibatkan banyak pihak, khususnya mantan GAM, TNI dan Polisi, termasuk pejabat daerah di Aceh Barat. Hal tersebut telah terjadi sejak tahun 2015 hingga saat ini.
Di Pante Ceureumen, ada seorang mantan GAM yang sangat disegani. “Dia mengelola pertambangan emas ilegal disini, dia memiliki anak buah yang cukup banyak dan dapat mengatur semua alat berat yang masuk ke lokasi,” ucap Zainal.
Zainal menyaksikan, semua alat berat yang masuk pasti dijaga oleh anak buah mantan kombatan GAM tersebut. Mereka juga memiliki senjata api jenis AK-47 dan M-16. Hal itulah yang menyebabkan banyak orang takut. Zainal menceritakan, keterlibatan mantan kombatan GAM tersebut di pertambangan emas ilegal berawal saat dia masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kepolisian karena diduga terlibat dalam kasus pembunuhan. Setelah itu, dia bersama istrinya melarikan diri ke hutan dan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya, dia mendulang emas.
Setelah itu, dia sebagai operator pompa penyedot air sungai—orang-orang menyebutnya sebagai pompa keong—milik orang, lain, setelah memiliki cukup uang, dia mulai menambang dengan membeli mesin pompa keong sendiri. Mantan kombatan GAM itu pasti membawa senjata api laras panjang jika sedang berada di lokasi penambangannya.
Zainal menyebutkan, saat ini mantan kombatan GAM itu mulai sering keluar dari persembunyiannya dengan menggunakan mobil double cabin, bahkan keluar hingga ke Meulaboh, Ibukota Kabupaten Aceh Barat. Penghasilan dia bukan saja dari tambang emasnya sendiri, tetapi juga dari uang setoran keamanan dari para penambang lain yang beroperasi di Pante Cerureuman. “Saya dengar, dari setiap alat berat yang beroperasi di Pante Ceureumen, dia juga mendapat jatah dari hasil dari penjualan emas itu,” jelas Zainal.
Dari upaya Jaring untuk menembus wilayah itu, terasa tidak mudah untuk memasuki lokasi pertambangan, selain diperiksa dengan ketat di beberapa pos pemeriksaan, orang yang mau masuk juga harus membayar sejumlah uang kepada para penjaga. Biasanya, setiap satu sepeda motor yang masuk maka harus membayar uang Rp 200.000, untuk biaya pembukaan jalan.
Menurut Zainal, dulu, untuk masuk ke lokasi pertambangan emas, setiap orang harus berjalan kaki seharian. Sekarang, setelah dibuka jalan, pengunjung bisa menggunakan sepeda motor. Dari perkampungan penduduk terdekat ke lokasi tambang bisa dicapai selama dua sampai tiga jam perjalanan.
Zainal menduga, polisi dan TNI juga terlibat di dalam pertambangan ini. Karena terlihat ganjil ketika alat berat yang begitu besar dan banyak bisa masuk ke pedalaman hutan tanpa terdeteksi aparat. Bahkan, minyak solar untuk bahan bakar mesin alat berat juga dibeli di SPBU yang ada di Aceh Barat. Walau belakangan ini ada juga beberapa alat berat yang disita aparat.
Warga juga menduga, bukan hanya anggota TNI dan Polisi yang menangguk keuntungan setoran dari aktivitas penambangan ilegal, tetapi juga aparat pemerintah daerah.
Dengan situasi seperti itu, warga tidak tahu lagi harus melapor ke mana. Jika mereka melapor, mereka takut nyawa mereka melayang, minimal akan datang intimidasi secara fisik dan psikis dari penambang dan aparat.
“Mereka bersenjata dan tidak segan-segan memukul atau mengancam akan menembak siapa pun yang melawan. Padahal masyarakat sangat terganggu dengan keberadaan alat berat tersebut,” ucap Zainal.
Dia menambahkan, sebagian besar alat berat tersebut berasal dari Medan, Sumatera Utara. Alat-alat berat tersebut di sewa oleh pemodal pertambangan ilegal tersebut.
***
DI Pante Ceureumen, pertambangan ilegal dengan menggunakan alat berat beroperasi di tiga desa, yaitu di Pulo Teungoh, Lawet, dan Canggai, sejak tahun 2015. Saat ini banyak anak sungai yang berhulu ke Krueng Meureubo telah rusak akibat penggalian yang tidak terkendali dan tidak ada aturan.
Akibat penggalian tersebut, air sungai menjadi keruh dan sudah tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat. Dulu, masyarakat yang pergi ke sawah atau kebun tidak perlu membawa air minum karena ada air sungai yang dapat dikonsumsi dan sangat jernih. Sejak alat berat beroperasi, petani harus membawa air dari rumah, karena air sungai sudah tidak bisa diminum. Airnya sangat keruh dan tidak pernah jernih, bahkan air yang mengalir ke pemukiman penduduk juga sangat keruh.
Selain itu, dataran di pinggir sungai juga sudah rusak parah, banyak gundukan serta lubang yang tidak ditutup setelah dilakukan penggalian emas dengan alat berat. Perangkat desa setempat khawatir, jika kegiatan tersebut terus terjadi, dampak lingkungannya akan sangat buruk bagi masyarakat.
Sebenarnya, semua kepala desa di Kecamatan Pante Ceureumen, khususnya yang berhadapan langsung dengan pertambangan ilegal, menolak penggunaan alat berat di sejumlah anak sungai yang ada di desa tersebut. Namun, kepala desa tidak bisa melarang karena takut dengan para penambang.
“Mereka bukan masyarakat biasa, mereka punya dukungan dari banyak pihak sehingga berani melakukan tanpa takut ditangkap,” ucap seorang kepala desa yang tidak mau disebutkan namanya.
Perangkat desa setempat juga sudah pernah melaporkan kegiatan ilegal tersebut kepada pihak terkait, mulai dari kepolisian, Bupati Aceh Barat, dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabupaten Aceh Barat, namun tidak ada yang berani menghentikan kegiatan ilegal tersebut. “Mereka mengaku tidak berani dan meminta kami melaporkan hal tersebut ke Pemerintah Provinsi di Banda Aceh. Ketika pejabat terkait di Aceh Barat tidak berani menyentuh pertambangan ilegal tersebut, maka perangkat desa semakin tidak berani karena tidak ada yang mendukung,” ungkap seorang kepala desa.
***
KARIMUDDIN, salah seorang penambang emas di Nagan Raya mengaku, jauh sebelum alat berat menambang emas di Krueng Beutong, dirinya telah mendulang emas dengan cara tradisional di daerah tersebut. Dia belajar mendulang emas dari orang tuanya dan keahlian ini telah digeluti turun temurun oleh keluarganya.
Ayah tiga anak ini membantah kalau kegiatan pertambangan emas di Krueng Beutong merusak lingkungan termasuk sungai, karena selama ini pertambangan tersebut, meskipun menggunakan alat berat, tapi tetap mengikuti aturan adat dalam menambang.
“Kami tidak merusak lingkungan, terlalu lama kami hidup miskin dan hanya hidup dari mendulang emas dengan cara tradisional dan berkebun, saat ini kami mulai meningkatkan penghasilan. Hasil yang kami dapat dari tambang emas itu juga tidak kami makan sendiri, kami membangun jalan, membangun rumah ibadah, bahkan membangun sarana umum yang sebelumnya tidak pernah dibangun oleh pemerintah,” ucap pria yang tidak menamatkan Sekolah Dasar itu.
Karimuddin menambahkan, jika memang kegiatan yang mereka lakukan ilegal, maka pemerintah dan kepolisian seharusnya menghentikan pertambangan itu, tapi kemudian membuat bagaimana pertambangan rakyat itu bisa legal.“Saya mendengar, rakyat juga bisa membuat pertambangan dan dibolehkan, tapi kami tidak pernah diajarkan bagaimana membuat pertambangan rakyat itu,” ucap Karimuddin.
Menurut dia, jika pertambangan dikerjakan oleh masyarakat, maka yang bekerja masyarakat, dan penghasilan didapatkan oleh masyarakat. Uang yang didapat dari pertambangan tersebut juga akan berputar di perkampungan penduduk. Sementara itu, jika pertambangan dilakukan oleh perusahaan, maka yang bekerja itu masyarakat luar dan uang dibawa pulang ke daerah asal mereka. Masyarakat lokal tidak akan mendapat apa-apa dan pembangunan di daerah tidak akan terwujud.
“Banyak kami lihat daerah-daerah yang pertambangannya dilakukan oleh perusahaan besar, mereka legal, tapi masyarakat tidak mendapatkan apa-apa. Di Aceh Utara, dulu ada pertambangan besar, tapi masyarakat di sekitar perusahaan, malah jadi pengemis. Lebih baik mana, pertambangan yang kami buat, tapi dinikmati oleh masyarakat setempat, atau dikerjakan oleh perusahaan tapi masyarakat setempat jadi pengemis?” tanya Karimuddin.
Ditanya tentang keterlibatan pemodal dari luar Aceh di pertambangan tersebut, Karimuddin membantahnya. Menurutnya, tidak ada orang asing yang memberikan modal untuk usaha pertambangan. Alat berat yang masuk ke lokasi pertambangan itu disewa oleh pengusaha lokal dari Medan, Sumatera Utara.
“Mungkin karena operator dan mekanik alat berat dari luar makanya dituduh kegiatan pertambangan ini melibatkan orang luar. Padahal aturannya memang, pemilik alat berat harus menyediakan operator dan mekanik, karena kerusakan alat berat itu, bukan tanggungan penyewa, tapi tanggung jawab pemilik. Karena pemilik dari Medan, makanya operator dan mekanik berasal dari sana,” sebut Karimuddin.
Ditanya tentang keterlibatan GAM, polisi dan TNI dalam pertambangan ilegal tersebut, dia mengaku GAM memang ada yang terlibat dalam pertambangan itu. Hal tersebut terjadi karena tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukan oleh mantan GAM.
“Untuk bertahan hidup dan menafkahi keluarga, mereka ikut bekerja sebagai penambang, sama dengan masyarakat biasa. Banyak pemimpin GAM juga tidak peduli dengan anggotanya, kalau TNI dan Polisi, yang legal saja diberikan uang untuk mereka, apalagi yang masih dianggap ilegal,” ungkap Karimuddin.
***
KEPALA Bidang Mineral Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Aceh, Mahdinur, mengatakan, tidak mudah menghentikan pertambangan emas ilegal di Aceh, karena menyangkut persoalan perut banyak orang. Jumlah penambang ditengarai mencapai ribuan orang, dan tidak hanya melibatkan orang Aceh saja, tetapi juga orang-orang dari luar Aceh. Jika dihentikan sama sekali, menurut dia, risiko gejolak sosial sangat besar.
Persoalan bertambah rumit, karena pemodal-pemodal besar juga ikut menambang secara ilegal, dengan memanfaatkan warga. “Saya menilai, yang melakukan penambangan dengan alat berat itu tidak sekadar mencari hasil untuk makan. Mereka sudah mencari kekayaan, berlebihan di sana. Karena alat-alat yang digunakan sudah mekanis, seperti eskavator yang harganya sampai miliaran rupiah,” ucapnya.
Terkait siapa saja yang terlibat di penambangan ilegal selain warga biasa, Mahdinur menolak berkomentar. Dia mengatakan, dia tidak pernah menerima laporan adanya keterlibatan aparat TNI/Polri maupun para mantan kombatan GAM di pertambangan ilegal. Dia juga mengaku tidak pernah menerima laporan tentang adanya ancaman kepada aparat Dinas ESDM.
“Tim kita sudah beberapa kali turun di tahun 2016. Cuma kita tidak bisa menindak, karena itu ranah hukum pidana. Menghentikan mereka tidak bisa. Kami hanya memberikan arahan saja, (misalnya) ini salah dan melanggar. Dari pengakuan tim yang pernah turun, tidak ada ancaman secara langsung dan mengarah ke fisik. Tapi ada semacam penolakan oleh mereka di sana kepada tim. Alasannya mungkin mereka merasa kurang nyaman ketika tim kami turun ke sana,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Aceh, Komisaris Besar Polisi Goenawan, mengaku pernah mendengar adanya keterlibatan anggota polisi dalam aktivitas penambangan emas ilegal. Dia juga telah mengonfirmasi tentang adanya dugaan keterlibatan anggota polisi di penambangan ilegal kepada Kapolres Aceh Barat. Namun jawabannya, tidak ada anggota polisi yang terlibat.
“Saya ada informan di sana. Katanya ada polisi minta setoran. Terus saya telepon kapolresnya, apakah betul itu? Dia tidak membenarkan. Apa konsekuensi tidak membenarkan itu, dia harus tangkap dan memproses pelanggaran illegal mining di sana. Kalau kita bicara oknum, ya ada saja. Makanya jangan ada kelompok-kelompok yang mengatasnamakan institusi, seperti membela kepentingan pelaku illegal mining itu. Kita harus punya komitmen, terhadap pelestarian ekologi lingkungan hidup yang ada di situ,” ucapnya.
Goenawan melanjutkan, dalam penertiban tambang ilegal baik di jalur barat dan timur, sudah dibentuk tim yang terdiri dari berbagai unsur. Leading sector-nya Dinas ESDM, dan polisi adalah salah satu unsur saja. “Bukan berarti aparat kepolisian sebagai penegak hukum itu mandul, bukan seperti itu. Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, menyangkut isi perut keluarganya, menyangkut lapangan kerja. Polisi sudah banyak memproses secara hukum kasus ini. Pertama kasus ilegal, terus merusak ekosistem dan lingkungan. Ketika polisi sudah proses, menangkap dan mengajukan ke pengadilan, tidak menyelesaikan masalah, bukan solusi. Makanya yang betul adalah, ayo kita turun bersama. Itu masyarakat apa yang menambang di situ. Latar belakangnya apa, harus ada solusi, walaupun orang dipenjara, diproses hukum, tapi kalau tidak diberikan solusi untuk penjamin dirinya dan keluarganya, maka dia akan kembali ke situ terus,” jelasnya.
Hal senada diungkapkan Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Kolonel Rusdi. Dia menegaskan, secara institusional TNI tidak pernah mengurus atau terlibat dalam aktivitas pertambangan ilegal, apalagi sampai mengamankan. Kalau ternyata ada anggota TNI yang terlibat, dia meminta masyarakat untuk segera melaporkannya. “Kalaupun ada yang terlibat, itu namanya oknum. Karena secara resmi, tidak ada perintah untuk melaksanakan pengamanan,” ucapnya.
Bahkan dalam penertiban pun, TNI bersikap pasif sebelum ada permintaan resmi dari pemerintah daerah. “Penertiban itu ranahnya polisi. Kecuali ada permintaan resmi, baru TNI akan membantu. Selama itu belum terbentuk (tim terpadu) dan belum ada permintaan dari Polda atau pemerintah, kita tidak akan mendahului. Artinya kalau sudah ada kebutuhan resmi, maka TNI akan melakukan. Kita sesuai ketentuan dan prosedur saja,” ucapnya. (Tim JARING)***