Di bekas daerah konflik seperti Aceh, masyarakat punya memori kolektif. Pilihan tak sekadar bersandar pada perubahan di masa depan, tetapi juga pertimbangan masa lalu. Dulangan suara bisa didapat sosok yang dianggap tak punya beban sejarah.
“Jangan orang itu lagi. Kami ingin perubahan. Perubahan itu baik, yang lalu masih seperti ini juga, yang lain kan kita tidak tahu,” ujar Aminah, warga Kabupaten Pidie, Aceh kepada Jaring.id, Kamis 2 Mei 2019.
Aminah punya andil membalik peruntungan Joko Widodo (Jokowi) di Kabupaten Pidie, Aceh. Lima tahun setelah meraup kemenangan pada Pemilihan Presiden 2014, perolehan suara Jokowi di Pidie anjlok.
Berdasarkan hasil penghitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) per 21 Mei 2019, pasangan nomor urut 01 tersebut hanya mendulang 17.609 suara, setara dengan 7,82 persen suara. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno unggul jauh dengan perolehan 207.264 suara.
***
Aminah masih jelas mengingat interogasi 20 hari yang dilakukan tentara kepadanya saat Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Ketika itu militer coba mengorek keberadaan Abu Bakar, suami Aminah, salah satu kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Kami sekeluarga tidak tahan lagi di rumah. Habis itu kami antar suami ke Medan, tetapi lalu datang kawannya yang membocorkan identitas. Suami saya dibawa dan tidak lagi dibawa (pulang) ke rumah,” ungkapnya terbata.
Sejak hari nahas itu, Aminah sendirian menghidupi delapan anaknya. Ia menjual padi, cabai, hingga lembu dengan harga tak seberapa.
Asa tumbuh di benak ketika pemerintah RepubIik Indonesia dan GAM menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) di Helsinki, Finlandia pada 2005. Jusuf Kalla (JK) yang menjabat sebagai Wakil Presiden RI ketika itu, dianggap sebagai pencetusnya.
Tak heran, kedatangan JK ke Pidie menjelang pilpres 2014 disambut meriah. Mantan Menteri Pertahanan GAM, Tengku Zakaria Saman yang menemani ketika itu bahkan memujinya setinggi langit.
Sosok juru damai dalam diri JK, berpadu dengan Jokowi yang dianggap Aminah tak punya beban sejarah. Ia menyongsong hari dengan ketetapan hati. Rabu pagi, 9 Juli 2014, pilihannya pada pasangan Jokowi-JK tak bisa diganggu-gugat.
Aminah menitip harapan perubahan pada selembar surat suara. Sebagai istri mantan anggota GAM, ia berharap klausul perbaikan ekonomi yang tercantum dalam MoU Helsinki bisa terwujud. Mulai dari pemberian dana rehabilitasi hingga alokasi tanah pertanian dan jaminan pekerjaan.
Suara Aminah jadi bagian kemenangan Jokowi-JK di Pidie pada Pilpres 2014. Pasangan no urut 02 tersebut meraih 93.308 suara, atau setara dengan 56,36 persen.
Selain Pidie, Jokowi-JK menang di enam kabupaten/kota lainnya. Mereka meraup total 913.309 suara di Provinsi Aceh, sama dengan 45,61 persen. Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa menang di 16 kabupaten/kota dengan jumlah suara 1.089.290.
***
Perubahan dinilai Aminah tak jua datang selama lima tahun pemerintahan Jokowi-JK. Jangankan memberi keadilan bagi korban kejahatan perang, hidupnya pun tak mampu diangkat melewati garis kemiskinan.
“Bantuan (untuk) korban konflik tidak pernah sampai. Sudah 13 tahun. Datang orang cuma foto-foto rumah saja. Minta KTP (Kartu Tanda Penduduk) saya, tetapi bantuan rumah tidak pernah dikasih,” ungkapnya kesal.
Lantaran hal tersebut Aminah memutuskan untuk berganti pilihan pada 27 April 2019 lalu. Baginya, memilih Prabowo bukan pilihan fanatik, tetapi realistis.
Irmayani yang juga menyimpan memori represi militer semasa DOM di kepalanya, punya pilihan serupa. Menurutnya, Prabowo tahu betul bagaimana pahitnya kondisi masyarakat Aceh ketika itu.
“Dia tahu derita orang Aceh pada masa konflik. Mengapa kami dianaktirikan? Dia paling tahu kepahitan orang Aceh,” bebernya, Kamis, 2 Mei 2019.
Meski punya latar belakang militer, Prabowo dianggap tak ikut menggores luka di Aceh. Pasalnya, mantan Danjen Kopassus TNI Angkatan Darat tersebut sudah tak lagi berdinas ketika DOM berlangsung.
Irmayani dan Aminah menganggap agresi terhadap Aceh yang dimulai sejak Orde Baru bukan tanggung jawab Prabowo. Anak dari begawan ekonomi nasional Soemitro Djojohadikusumo itu diklaim hanya bagian kecil dari sistem politik pertahanan.
“Kami percaya ke depannya tidak ada (represi militer) yang begitu lagi,” ungkap Irmayani.
Latar belakang militer Prabowo yang dianggap tak terkait dengan represi militer semasa DOM sudah tampak dari kemenangan Prabowo di Aceh pada Pilpres 2014. Tahun ini perolehan suaranya melonjak tajam.
Berdasarkan perhitungan KPU per 21 Mei 2019, pasangan Prabowo-Sandi dipilih oleh 2.1918.214 pemilik hak suara di Provinsi Aceh. Sementara, Joko Widodo-Ma’ruf Amin hanya meraup 378.836 suara, tak sampai 11 persen dari total suara sebesar lebih dari 2,4 juta.
Sri Wahyuni, salah satu pemilih di Kabupaten Pidie, Aceh memilih Prabowo lantaran geram dengan kebjakan Jokowi. Sembari menggendong anaknya, Ia berseloroh mendapatkan informasi tepercaya terkait penyelundupan pekerja asing ke Indonesia.
“Di Kalimantan orang asing (dari) Asia diselundupkan. Kami masa tidak dapat kerja, padahal orang kita banyak. Lalu pengangguran dikasih biaya, kami kan maunya dikasih pekerjaan. Bukan pemberian ini dan itu. Jokowi juga banyak memberikan kartu ini, kartu itu,” ungkapnya berapi-api, Kamis, 2 Mei 2019.
***
Menurut Efendi Hasan, pengamat politik Universitas Syiah Kuala, Aceh, sedikitnya ada dua alasan mengapa Jokowi tidak mampu mempertahankan perolehan suara yang didapat saat pilpres 2014 di Aceh.
Pertama, janji kampanye Jokowi belum tuntas. Janji pembangunan terowongan di Gunung Geurutee yang menghubungkan Banda Aceh dengan daerah di Barat Selatan sebagai contoh. Alih-alih mewujudkannya, Jokowi malah membangun ruas tol Banda Aceh-Sigli sepanjang 74 kilometer dan meresmikannya empat bulan sebelum Pilpres 2019.
“Ada prinsip kepemimpinan bagi masyarakat Aceh, yakni pemimpin itu harus jujur. Antara kata dan perbuatan harus sesuai. Kenyataanya janji (kampanye) itu tidak terlaksana. Seharusnya pak Jokowi jangan bangun tol dulu, tetapi terowongan Geurutee dulu. Itu sudah ditunggu-tunggu,” ujarnya kepada Jaring,id di Banda Aceh, Jumat, 3 Mei 2019.
Tingkat kepercayaan kepada Jokowi, imbuhnya, kian memburuk ketika tumbuh persepsi di kepala masyarakat Aceh bahwa pemerintahannya tak mampu menjaga Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh yang merupakan salah satu pendukung Jokowi misalnya, sempat menyebut bahwa daerah selain Aceh tak memerlukan peraturan daerah berbasis agama.
Keputusan Ijtimak Ulama jilid II juga dinilai berperan mengatrol lonjakan suara Prabowo di Serambi Mekah.
“Ini akibat dari informasi yang disampaikan melalui media masa, masyarakat Aceh menonton televisi. Makanya antusiasme masyarakat yang ingin perubahan tinggi. (Karena itu) Pemimpin harus menjaga agama dengan benar. Masyarakat Aceh sudah cerdas. Ini merupakan sanksi sosial buat pak Jokowi,” kata dia.
Anjloknya suara Jokowi di Aceh sudah disadari Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Sofyan Djalil. Hasil survei internal menujukkan bahwa elektabilitas Jokowi di Aceh tidak lebih dari 18 persen. Awal April 2019, ia mencoba menggalang dukungan untuk Jokowi-Ma’ruf di tanah kelahirannya.
“Kita perlu memberikan kesempatan Jokowi untuk menang di Aceh. Saya yakin Insyallah dari semua survei bahwa beliau akan menjadi Presiden Indonesia periode 2019-2024,” ujarnya di Hotel Regina, Banda Aceh pada Jumat, 5 April 2019 sebagaimana dikutip acehkini.
Dalam kesempatan itu, Sofyan mengungkapkan berbagai janji yang bisa diberikan Jokowi pada periode kedua masa pemerintahannya. Antara lain terkait dengan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) yang berakhir di 2027. Menurut Sofyan, Jokowi akan memperjuangkan perpanjangan dana tersebut bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Selain di Banda Aceh, Sofyan juga berkunjung ke Pidie guna menangkal kabar bohong (hoaks) yang menimpa Jokowi-Ma’aruf. Ia didampingi Bupati Pidie, Roni Ahmad (Abusyik) dan ulama kharismatik Aceh pimpinan Dayah Ummul Ayman Samalanga, Teungku H. Nuruzzahri Yahya atau biasa disebut Waled NU. Di lapangan Beureunuen, Kabupaten Pidie pada Senin, 8 April 2019, Waled NU menyesalkan pelbagai fitnah yang menimpa gurunya, Ma’aruf Amin.
“Beliau adalah orangtua kami, sebagai Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU),” ujar Waled NU yang juga menjabat sebagai Rais Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Aceh.
Sementara Abusyik yang pada 2014 membantu Jokowi-JK meraih suara mayoritas di Pidie mengaku heran dengan masyarakat di daerahnya yang mudah termakan kabar bohong.
“Orang Aceh itu punya iman, tetapi orang punya iman kok termakan hoaks? Mereka bawa ke mana Al-Quran itu? Mau dibawa ke mana kitab itu? Ini yang kami tidak habis pikir,” katanya kepada Jaring.id pada Kamis, 2 Mei 2019.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Faisal Ali menyatakan kabar bohong terkait identitas yang dipersepsi masyarakat Aceh saat ini sudah ditanam sejak tiga tahun lalu. Karena itu, kampanye ulama dan pimpinan daerah tak lagi mempan mengubah keadaan.
“Sudah terbangun image. Kami di tingkat para ulama itu susah sekali membalik. Akhirnya kami bisa membalik sedikit-sedikit dengan cara memberikan fakta-fakta (tentang Jokowi-Ma’aruf),” ungkapnya kepada Jaring,id pada Senin, 29 April 2019.
“Dengan dia tidak menjawab soal Pengadilan HAM, maka masyarakat Aceh akan berasumsi bahwa ada orang lain di balik dia (yang terlibat),” pungkasnya. – Reza Indria –
Antopolog UIN Ar-Raniry, Aceh, Reza Idria tidak heran dengan suasana perkubuan yang melekat dengan doktrin agama di Aceh. Menurutnya, permainan identitas politik bukan hal baru di Tanah Rencong.
Pada Pilpres 2019 kubu Prabowo menyerang lawan dengan narasi yang menyebut Jokowi anti-Islam, terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tentu saja isu berpihak pada etnis minoritas. Menurut Reza, tuduhan yang dialamatkan kepada Jokowi merupakan bagian dari strategi politik lawan untuk menutupi kekurangan dirinya sendiri.
“Kalau kita berkaca dari Amerika. Narasi politik dominan ini diambil blue print-nya, yakni menyerang apa yang kita sendiri tidak punya. Bagi saya, timnya Prabowo itu insecure dengan ke-Islaman dia sendiri, maka dia harus serang lebih dahulu bahwa yang sebelah tidak Islam,” ujarnya pada Rabu, 1 Mei 2019.
Reza menilai tim kampanye Jokowi sudah kalah langkah dalam menangkal isu yang berkembang di tengah masyarakat Aceh. Kandidat Doktor Universitas Harvard itu mengungkapkan kalau “Mereka (tim Jokowi) tidak bekerja.”
Salah satu isu yang seharusnya bisa dimanfaatkan kubu petahana adalah Peradilan Hak Asasi Manusia. Reza meyakini isu tersebut manjur untuk membalikan kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi. Namun, Presiden justru mengajukan berbagai program dalam kartu dan sibuk menyanggah hoaks.
“Dengan dia tidak menjawab soal Pengadilan HAM, maka masyarakat Aceh akan berasumsi bahwa ada orang lain di balik dia (yang terlibat),” pungkasnya. (Damar Fery Ardiyan)
*liputan ini merupakan kerjasama antara jaring.id dengan tirto.id