Sejumlah negara yang sempat menunda tahapan pemilu, kini bersiap melangsungkan pemungutan suara. Apa alasan utama mereka melangsungkan pemilu di tengah pandemi?
“Tanpa pemilu tidak akan ada anggota parlemen, tak ada partai politik, dan tak ada perundang-undangan yang bisa dibuat untuk melindungi hak asasi manusia,” ungkap Manjula Gajayanake, Koordinator Center for Monitoring Election Violance (CMEV), sebuah organisasi sipil pemantau pemilu di Sri Lanka.
Lewat diskusi daring akhir Juni 2020 lalu, Manjula menyampaikan kekhawatirannya jika pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (EMB) kembali menunda pemilu legislatif Sri Lanka 2020. Pasalnya, saat ini tidak lagi ada yang dapat mengawasi tindak-tanduk eksekutif sejak Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa membubarkan parlemen pada 2 Maret 2020 lalu. Terlebih, pemilu yang direncanakan pada 25 April 2020, kandas akibat pandemi Covid-19.
Ketua EMB Sri Lanka, Mahinda Deshapriya menyatakan bahwa pihaknya tidak hendak menghambat proses demokratisasi. EMB sempat menetapkan jadwal pemilu pada 20 Juni, tetapi kementerian kesehatan tidak memberikan izin. Selain itu, penundaan juga harus dilakukan karena Sri Lanka menerapkan karantina wilayah secara nasional sejak Maret hingga Juni. Kebijakan tersebut, menurutnya, membatasi ruang gerak pemilih untuk berpartisipasi dalam pemilu.
“Kami berdiskusi dengan pemerintah dan sektor kesehatan, satuan tugas penanganan Covid-19, badan penanggulangan bencana, dan kepolisian untuk membuat petunjuk bagaimana melakukan pemilu di tengah Covid-19. Kami sudah punya buku pedoman yang direkomendasikan sektor kesehatan untuk melaksanakan pemilu,” kata Mahinda dalam diskusi bertajuk 2020 Sri Lankan Parliementary Election, A Situation Update pada Sabtu, 27 Juni 2020.
Setelah dua kali penundaan, Sri Lanka akhirnya menetapkan pemilu parlemen bakal dihelat pada 5 Agustus 2020. Sebanyak 1,2 juta orang akan menggunakan suaranya untuk memilih wakil rakyat yang berhak menduduki 196 kursi parlemen. Ongkos tambahan sebanyak US$ 37 juta atau setara Rp 518 miliar digelotorkan untuk memenuhi protokol kesehatan.
“Uang bukanlah masalah, masalahnya adalah bagaimana menyelamatkan demokrasi,” ujarnya.
Sama seperti Sri Lanka, Indonesia berencana menghelat Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2020 di 270 daerah setelah sempat melakukan penundaan. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia Arief Budiman menyatakan bahwa pihaknya sempat mengusulkan tiga jadwal pemungutan suara, yakni 9 Desember 2020, 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. Dari usulan tersebut, pemerintah memutuskan Pilkada Serentak dilangsungkan pada 9 Desember 2020 lantaran tak bisa memastikan kapan pandemi corona akan berakhir.
“Tidak ada satu ahli yang bisa memperkirakan kapan pandemi selesai, maka para pihak (pemerintah) berpendapat kalau begitu pilihannya Desember dengan cara new normal,” kata Arief pada Juli 2020.
Arif menjelaskan pelaksanaan pilkada akan mengadopsi protokol kesehatan Covid-19. Pemerintah menyanggupi tambahan anggaran hingga US$ 335,7 juta atau setara dengan Rp 4,7 triliun untuk memenuhi prosedur kesehatan. Hanya saja, anggaran akan diberikan bertahap oleh pemerintah.
Kepastian Pemilu
Direktur Eksekutif National Citizens Movement for Free Elections (NAMFREL) Damaso G. Magbul mengatakan pemilihan umum bisa dilakukan dalam pandemi tanpa memperburuk situasi. Ia mencontohkan Korea Selatan yang melaksanakan pemilihan parlemen April 2020 lalu.
“Kita bisa melihat Korea Selatan untuk menyelenggarakan pemilu. Di banyak negara, demokrasi jadi korban saat ini karena pendemi. Pelaksanaan pemilu di Korea Selatan menurut sejumlah ahli hampir sempurna, saya setuju dengan itu,” kata Damaso dalam diskusi bertajuk Implementing Election During a Pandemic pada Jumat, 12 Juni 2020.
Damaso menekankan bahwa pemilu di masa pandemi bisa dilakukan dengan perencanaan dan persiapan rinci menyangkut pencegahan, mitigasi transmisi, dan kontaminasi. Namun, ia tak memungkiri bahwa kesenjangan ekonomi dan teknologi antar negara-negara di Asia juga harus dipertimbangkan. Pengalaman Korea Selatan melakukan pemilu di tengah wabah harus disesuaikan dengan tujuan dan sumber daya masing-masing negara. Menurutnya, yang perlu diperhatikan ialah ketersediaan infrastruktur teknologi, mekanisme pemberian suara alternatif dan tersedianya anggaran.
Andaipun pemilu ditunda, maka hal tersebut mesti memenuhi sejumlah persyaratan seperti persetujuan partai pengusung dan sosialisasi kepada publik. Tak hanya itu, mantan profesor Filsafat dan Ilmu Politik di Universitas St. Louis Filipina tersebut mengatakan dasar hukum penundaan harus jelas. Pasalnya, seluruh undang-undang pemilu di Asia tidak mengatur penundaan di situasi pandemi. Penundaan juga mesti disertai kejelasan jadwal.
“Tanpa adanya kepastian kelanjutan pemilu, sama saja dengan mengorbankan demokrasi,” ujarnya.
Merujuk data International IDEA, pandemi corona menyebabkan sedikitnya 10 negara di Asia menunda pelaksanaan pemilu. Antara lain Bangladesh, India, Indonesia, Iran, Maldives, Kyrgystan, Oman, Pakistan, Sri Lanka dan Syria. Lima negara di antaranya sudah menetapkan jadwal pemilihan baru, sementara lima negara lainnya belum menentukan jadwal.
Tak Menunda
Sejak pandemi Covid-19 merebak awal Februari di Korea Selatan, tingkat infeksi di negara tersebut mencapai 10,661 kasus pada April 2020. Meski demikian, agenda Pemilihan Legislatif 2020 pada 15 April 2020 tetap berlangsung.
Ketua Divisi Jaringan Masyarakat Sipil Internasional Korean Democratic Foundation (KDF) Kim Chanho mengatakan pemerintah dan masyarakat sipil tidak pernah membahas penundaan pemilu ketika pandemi. Sebaliknya, pembahasan lebih banyak dilakukan terhadap tata cara melangsungkan pemilu yang aman.
“Korea Selatan tidak pernah sejarahnya menunda pemilu. Bahkan ketika perang dunia, Korea tetap melaksanakan pemilu,” katanya kepada Jaring.id, Rabu, 29 Juli 2020.
Menurut Kim, Korea Selatan juga tidak punya alasan kuat untuk membatasi pergerakan orang seperti yang dilakukan sejumlah negara. Pemerintah Korea Selatan selama ini hanya mengimbau agar masyarakat saling menjaga jarak dan menganjurkan tetap berada di rumah.
Program Manager Asian Democratic Network (ADN) Soon Yoon Suh menyatakan bahwa penundaan pemilu dianggap tabu di Korea Selatan. Meski begitu, tetap ada kandidat yang mengusulkan penundaan dengan alasan waktu kampanye yang terbatas. Namun, usulan tersebut tak pernah dibahas dalam forum resmi.
“Pernah ada sejarah pemimpin merebut kekuasan dengan berusaha mengganti dasar negara dan berupaya menunda pemilu. Banyak gerakan demokrasi menentang itu, sehingga menunda pemilu akan jadi perdebatan,” ujarnya pada Jumat, 26 Juni 2020.
Pelaksanaan pemilu di Korea Selatan menjadi sorotan karena dilakukan di tengah pandemi corona. Pada pemilu yang berlangsung April lalu itu, Korea Selatan mencatat partisipasi pemilu legislatif tertinggi sejak pemilu 1992 dengan angka 66,2 persen. Peningkatan ini, menurut Soon, juga dipengaruhi penurunan batas usia pemilih yang sebelumnya 19 tahun menjadi 18 tahun.
“Tapi penyebab utama meningkatnya partisipasi menurut saya karena orang-orang terkesan dengan respon pemerintah. Cara pemerintah mengani pandemi menggerakkan orang-orang untuk memilih,” kata dia.