Jarum jam di Lounge 78 menunjukkan pukul delapan malam. Kedai di Kemanggisan, Jakarta Barat ini ramai pengunjung. Mereka bukan yang kebetulan lewat. Para pengunjung tampak sengaja menyempatkan diri untuk menonton komedi yang disampaikan sejumlah pelawak pada Jumat, 23 September 2022 lalu. Sebagian besar dari mereka berjubel di hadapan sebuah panggung terbuka dengan latar sederhana berupa semen ekspos. Beberapa di antaranya mengacungkan kamera ponsel saat Reyhan naik panggung.
“Kali ini, komik kita yang meyakini dirinya lucu adalah pemuda asal Sumatera. Kita sambut saja, Reyhan,” seru pembawa acara rutin komunitas stand-up comedy, Stand Up Indo disusul dengan pekik meriah tepukan penonton.
Jumat malam akhir September itu merupakan pengalaman pertama bagi Reyhan bersua penonton Ibukota. Sebelumnya, pemuda usia awal dua puluhan ini hanya membawakan komedi tunggal secara terbatas di komunitasnya. Ia mengaku gugup. Terhitung sudah lebih dari 2 kali ia bolak-balik ke kamar kecil. Beruntung ia tak sendiri malam itu. Beberapa kawan mendukungnya dengan memberi tepukan paling keras. Dari atas panggung, Reyhan pun menangkap dukungan itu dengan cara melirik menggunakan sudut matanya ke arah teman-temannya.
Materi yang dibawakan Reyhan cukup sederhana. Ia mulai dengan bercerita mengenai tanah kelahirannya. Utamanya terkait fasilitas umum. Dari sana ia kemudian membandingkan kondisi jalanan di desanya yang tak semulus Jakarta.
Air muka gugup juga tampak dari wajah Ratna, 25 tahun. Malam itu, ia adalah salah satu penampil perempuan di tengah puluhan penonton dan komika yang mayoritas laki-laki. “Komika perempuan sedikit ya. Cukup gugup waktu manggung karena mayoritas laki-laki,” terangnya kepada Jaring.id. Terlebih saat beberapa komika melontarkan guyonan seksis yang membikin tawa penonton terdengar sumbang.
Di belantika panggung komedi tunggal, Ratna tergolong masih hijau. Secarik kertas dengan tulisan tangan tak jarang ia bolak-balik guna menghafal materi, mulai dari set-up berisi premis komedi, sampai bait tohokan (punchline) yang bertujuan membuat orang tertawa. “Ini (kertas materi) agar tidak lupa. Maklum, kadang suka nge-blank,” ia berterus terang di atas panggung.
Baca juga: Satu Gelanggang Beda Perlakuan
Persiapan, menurut Ratna, sangat penting dilakukan sebelum mengangkat mikrofon. Celaka baginya ialah ketika materi yang dibawakannya tak lucu, menyinggung kelompok tertentu, hingga dilaporkan ke polisi lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Bukan rahasia lagi bila kreator konten, seperti komedian tunggal, youtuber maupun selebgram menjadi korban UU yang diundangkan 14 tahun silam. Sebut saja Richard Lee yang dilaporkan oleh Kartika Putri karena dianggap merusak nama baik. Ridwan Remin—komika lulusan SUCI 7, juga dilaporkan Ruben Onsu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Sedangkan sebelumnya, pada Juli 2019 lalu, youtuber Rius Vernandes sempat dianggap mencemarkan perusahaan perjalanan udara, PT. Garuda Indonesia. Saat itu, Rius dilaporkan Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) karena mengunggah daftar menu kelas bisnis yang ditulis tangan. Pada 19 Juli 2019, laporan ini dicabut setelah Sekarga dan Rius bersepakat damai.
Berbeda dengan kasus Rius, jalan damai tak tersedia bagi Benni Eduward. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan menjatuhi hukuman penjara selama 8 bulan pada akhir April 2021. Benni dianggap bersalah mencemarkan nama setelah mengunggah video lewat Youtube mengenai dugaan penunggakan pajak kendaraan bermotor pada Agustus 2020. “Saya habis-habisan. Dipukuli, disiksa, diperas,” ceritanya terkait masa penahanan seperti dikutip dari Semua Bisa Kena, Selasa 26 April 2022. Tak sampai di situ, Benni juga kesulitan untuk berkomunikasi dengan istrinya. Kunjungan tatap muka pun tidak diperkenankan dengan alasan pandemi Covid-19. “Saya sama sekali tidak berkomunikasi,” ungkapnya.
Yang paling anyar ialah ketika Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dikriminalisasi dengan pasal pencemaran nama. Mereka dilaporkan ke penyidik Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan setelah menyampaikan hasil riset sejumlah lembaga di Papua melalui kanal Youtube milik Haris pada Agustus 2021. Sejak dipublikasikan, video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi – Ops Militer Intan Jaya! Jenderal BIN Juga Ada” telah ditonton lebih dari 424 ribu kali.
Sementara Mamat Alkatiri dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Hillary Brigitta. Hillary merasa nama baiknya dicemarkan oleh Mamat saat menghadiri sebuah talkshow pada Sabtu, 1 Oktober lalu. Dugaan pencemaran nama baik itu berawal ketika Hillary menjadi narasumber dalam sebuah diskusi di Jakarta. Dalam acara tersebut hadir pula anggota DPR lain, yakni Fadli Zon. Di akhir acara Mamat melakukan sindiran atau roasting kepada para tamu acara, termasuk Hillary.
Sederet korban ini hanya bagian kecil dari korban UU ITE. Lembaga pemerhati hak digital, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat setidaknya ada 393 orang yang menjadi korban pasal karet UU ITE sepanjang 2013-2021. Belum ada catatan khusus mengenai berapa banyak kreator konten yang menjadi korban pasal karet. Namun angka ini dikhawatirkan akan terus bertambah, mengingat janji revisi masih jauh dari angan-angan. Dari data tersebut, aktivis, pendamping korban, dan warga biasa menjadi korban paling banyak.
Sedangkan dalam laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2021 bertajuk Pandemi Memang Terkendali Tapi Represi Digital Terus Berlanjut, SAFEnet menemukan sedikitnya 30 kasus pemidanaan menggunakan UU ITE sepanjang tahun lalu. Dari jumlah itu, 10 kasus atau 35,7 persen pelapor adalah pejabat publik, baik dari tingkat rukun tetangga hingga ke pejabat negara. Sepanjang 2021 pasal bermasalah UU ITE semakin marak digunakan untuk merepresi para pengkritik, aktivis dan pembela HAM.
Dari berbagai latar belakang tersebut, menjadi wajar jika para pencipta konten platform media digital menjadi khawatir terhadap represi digital. Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra atau dikenal Bintang Emon di antaranya. Sebelum naik panggung ia mengaku selalu mengkurasi seluruh materi agar tidak kebablasan. Diksi atau pemilihan kata, menurut Bintang, perlu diblejeti dengan rinci sebelum disampaikan kepada penonton luring maupun daring. Ia pun anti menyebut nama. Dengan begitu, ia bisa tenang dan leluasa menyisipkan kritik dalam materi komedinya. “Kata per kata, karena kita hidup di negara UU ITE,” jelas Bintang yang belum lama ini mengkritik federasi sepakbola Indonesia, PSSI atas tragedi di Stadion Kanjuruhan Malang, Selasa, 4 Oktober 2022.
Hal tersebut sudah dilakukan Bintang bertahun lalu sejak ia disatroni seseorang tak dikenal. Saat itu, pelawak yang beken dengan konten video berjudul Dewan Perwakilan Omel-Omel (DPO) ini sedang menghadiri pertunjukan komedi. “Tiba-tiba ada orang yang datengin. Sambil menepuk pundak, ‘eh bagus video (konten komedi) lu, kritik-kritik gitu bagus, lanjutin ya’ begitu katanya,” cerita Bintang kepada Jaring.id. Belakangan, dari seorang kawan ia baru tahu kalau orang yang menegurnya tengah memata-matai.
Sedikit berbeda dengan Bintang, Yudha Khan mengakali kondisi yang serba rumit dengan sebuah formula rahasia, yakni memilah pilih penonton. Dengan materi yang tepat sasaran, maka ia yakin akan lebih banyak penonton yang terhibur ketimbang tersinggung. Teknik ini juga ia lakukan saat membikin konten untuk media sosial. “Ini diajarkan bang Pandji Pragiwaksono. Semisal kita ada materi yang bagus, ada baiknya kita tahan dulu. Lalu temukan audience yang pas untuk materi tersebut,” ujarnya kepada Jaring.id, Senin, 21 September 2022.
Namun, ia sadar bahwa tidak semua situasi atau respon penonton bisa dikendalikan setelah canda. “Kita komedian itu sama sekali tidak bisa membatasi ketersinggungan orang. Sama sekali tidak bisa. Karena menurut saya kebebasan berekspresi kita itu terbatas dengan kebebasan berekspresi orang lain,” imbuhnya.
Beberapa waktu lalu, Yudha mengaku pernah diprotes sejumlah orang yang tidak suka materi canda yang ia bawakan. “Waktu itu mengantar kawan sedang perform, lalu didatangi dengan dua orang yang tidak saya kenal,” terangnya. Lulusan Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) 4 ini diprotes karena melulu membanyolkan aliran dalam organisasi Islam. Mulai dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, sampai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). “Intinya dia protes karena agama jadi bahan bercanda,” lanjutnya.
***
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), Muhammad Arsyad menyebut maraknya pelaporan terhadap pekerja kreatif merupakan imbas dari latahnya pejabat publik menggunakan UU ITE. “Public figure kerap menggunakan UU ITE. Jadi bergeser dari orang-orang yang memiliki aktivitas yang cukup serius seperti aktivis yang berhadap-hadapan dengan pemerintah. Lebih tepatnya di 2016 masyarakat sudah lebih mudah menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE,” terang Arsyad saat diwawancarai Jaring.id, Kamis, 6 Oktober 2022.
Baca juga: Potret Suram Kebebasan Pers
Dari pelbagai kasus yang terjadi, Arsyad mengelompokan pelaku menjadi tiga, yakni pejabat, pebisnis dan aparat penegak hukum. “Pejabat publik pemerintah atau daerah, yang klaster kedua adalah pemodal. Pemodal ini adalah orang-orang yang mempunya kuasa memberi oknum penegak hukum atau aparatur negara, untuk kepentingan dirinya atau perusahaannya. Klaster ketiga adalah oknum penegak hukum. Klaster ketiga ini masuk dalam kategori orang-orang pengguna UU ITE karena penegak hukum ini yang kerap jadi jembatan kepentingan dua klaster sebelumnya,” jelasnya.
Banyaknya persoalan dalam implementasi UU ITE mendorong pemerintah menerbitkan keputusan bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021, dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU ITE.
Dalam kasus penghinaan, misalnya, konten yang ditransmisikan berupa penilaian, pendapat, atau hasil evaluasi bukan termasuk delik. Jadi, penegak hukum perlu memproses lebih dulu kebenaran dari sesuatu yang dituduhkan sebelum menjerat seseorang dengan delik penghinaan atau pencemaran nama. Begitu pula dengan pemberitaan yang dilakukan institusi pers sebagai kerja jurnalistik. Alih-alih Pasal 27, polisi dapat mendudukan pemberitaan melalui internet dengan memberlakukan lex specialis UU Pers.
Namun, kesepakatan bersama tersebut dinilai ompong karena tidak bisa mencegah pemenjaraan melalui UU ITE. Alih-alih menurun, SAFEnet mencatat peningkatan kasus terkait ITE sejak SKB ditandatangani pada 23 Juni 2021. Sebanyak 80 persen dari total korban kriminalisasi dilaporkan dengan UU ITE pada periode Juli – Agustus 2021.
Oleh sebab itu, Nenden Sekar Arum, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFENet mendesak DPR segera merevisi pasal karet UU ITE. Dalam hal ini, pemerintah berencana merevisi secara terbatas terhadap Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 36 UU ITE. Termasuk penambahan Pasal 45 C. Reformulasi pasal ini dilakukan, salah satunya untuk menjabarkan lebih jauh tindak pidana menyerang kehormatan, nama baik, dan fitnah. “Ini yang harus terus diadvokasi. Tidak hanya revisi UU ITE, tapi juga memastikan proses revisinya berjalan dengan benar,” kata Nenden, Selasa, 4 Oktober 2022.
Nenden tidak ingin wacana revisi UU ITE kini bernasib sama dengan yang terjadi di 2016. Saat itu, revisi yang dilakukan hanya berupa penurunan tuntutan maksimal penjara dari semula enam tahun menjadi empat tahun. “Sehingga orang-orang yang dilaporkan dengan pasal tersebut tidak langsung ditahan karena tuntutan maksimalnya di bawah lima tahun. Hal itulah yang tidak memperbaiki substansinya. Terkait pasal karet yang memungkinkan banyaknya multi interpretasi,” kata Nenden.
Sayangnya, kata dia, proses legislasi UU ITE yang baru tersendat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal sejak 16 Desember 2021 lalu Presiden Joko Widodo sudah setuju dengan berkirim surat mengenai usulan pembahasan revisi. Dalam surat, Jokowi meminta agar pembahasan RUU tersebut segera dibahas dalam sidang DPR untuk mendapatkan persetujuan dengan prioritas utama. Surat Presiden juga mencantumkan bahwa menugaskan Menteri Komunikasi dan Informasi serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mewakili pemerintah dalam membahas RUU tersebut.
“Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakadilan, maka UU ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak,” Jokowi lewat cuitannya dalam akun @jokowi di Twitter, Selasa, 16 April tahun lalu.
Namun lebih dari setahun berselang, usulan Jokowi untuk merevisi UU ITE berakhir antiklimaks. RUU ITE belum juga dibahas DPR sampai detik ini. Politikus Senayan lebih banyak berpolemik terkait keberadaan surpres Jokowi.
Baca juga: Supres ITE di Tangan, Harusnya DPR Tak Lagi Beralasan
Pada 5 Juli 2022 lalu, Koalisi Serius Revisi UU ITE dan korban yang sempat menggelar audiensi bersama Badan Legislasi DPR menyaksikan sendiri bagimana revisi UU ITE terkatung-katung di Senayan. Sekalipun Willy Aditya—selaku pimpinan sidang ketika itu, memastikan bahwa surpres sudah diterima DPR. Namun sampai saat ini belum pernah dibacakan dalam rapat paripurna. “Nanti kita akan coba konfirmasi ke Biro Pimpinan. Posisi supresnya di mana,” kata Willy di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Tiga bulan berlalu, jawaban anggota dewan masih sama. Romo H.R Muhammad Syafi’I menyebut Fraksi Gerindra masih menindaklanjuti surat presiden. Ia sepakat bahwa revisi UU ITE tidak lagi bisa ditunda. “Pasti akan terus di-follow up, dengan koridor yang sudah ditentukan, kita tunggu Supresnya,” jelasnya.
Dihubungi terpisah, Christina Aryani politikus dari Fraksi Golkar menjawab dengan singkat saat ditanya perihal revisi pasal karet UU ITE. “Supres belum turun,” ungkapnya melalui pesan WhatsApp, Selasa, 13 September 2022 lalu.
Berlarut-larutnya proses revisi UU ITE, tentu menjadi kabar buruk bagi para korban. Salah satu jurnalis yang sempat beraudiensi dengan Baleg DPR adalah Mohammad Sadli—jurnalis Liputanpersada.com di Kabupaten Buton Tengah sempat menceritakan efek buruk dari pemenjaraan lewat UU ITE. Ketika itu, Sadli menjalani bui di Lapas Kelas II Baubau pada 17 Desember 2019.
Ia dihukum lantaran menyoroti dugaan penggelembungan anggaran proyek pembangunan persimpangan jalan Labungkari dari Rp 4 miliar menjadi Rp 6,8 miliar. Proyek ini juga dinilai tidak transparan dan tanpa perencanaan matang. Persimpangan jalan yang seharusnya terdiri atas lima ruas itu, menurut Sadli, dibangun empat ruas alias simpang empat. Alih-alih mengajukan keberatan melalui mekanisme pers, Bupati Buton Tengah Samahudin melaporkan Sadli ke polisi lewat Biro Hukum Pemerintah Daerah Buton Tengah.
Dalam kasus ini, Kepolisian Buton Tengah dianggap telah mengabaikan nota kesepahaman antara Polri – Dewan Pers. Oleh Majelis Hakim PN Pasarwajo, Sadli diputus bersalah dengan vonis 2 tahun. “Hak saya atas keadilan dibabat habis saat itu,” terangnya dengan nada suara bergetar saat diwawancari Jaring.id untuk Semua Bisa Kena, Jumat, 23 September 2022.
Akibat dari kasus ini, Sadli mengaku mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) setelah ia melakukan tes psikologi di Yayasan Pulih. “Selama 8 bulan ini saya tidak kerja. Saya berharap bapak ibu dewan. Ini (pasal karet) membahayakan sekali pak. Bukan hanya terhadap saya sendiri, tapi anak, dan keluarga,” ujar Sadli di hadapan anggota DPR tiga bulan lalu.
Tulisan berjudul “Kreator Konten di bawah Sorotan UU ITE,” ini terselenggara berkat dukungan Internews. Program ini juga melibatkan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Sebelumnya, kami menerbitkan dua laporan lain yang menyoroti kriminalisasi lewat UU ITE.
Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti, Kholikul Alim
Penulis: Reka Kajaksana
Penyunting: Damar Fery Ardiyan
Ilustrasi & Infografik: Ali, Abdus Somad
Kamu jadi korban kriminalisasi UU ITE? Bagikan ceritamu kepada kami, seperti para korban lainnya. Untuk melapor, kamu bisa mengeklik tautan ini.