KPU Perlu Berinovasi Menyederhanakan Pemilu 2024

Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menjadi pemilihan langsung paling rumit bagi mantan Sekretaris Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) TPS 30 Kelurahan Bojong Rawa Lumbu, Kota Bekasi, Budi Santoso (47). Saat itu, ia harus mengurusi lima pemilihan sekaligus dalam satu hari, yakni pemilihan presiden/wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/Kota. “Capek tenaga iya. Capek pikiran juga iya. Yang jelas capek pikiran ini yang susah karena kalau dibawa ngopi tidak hilang-hilang,” kata Budi ketika dihubungi Jaring pada Senin, 29 Maret 2020.

Menurut Budi, beban kerja KPPS pada Pemilu 2019 sangat besar. Sedangkan waktu kerja yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu sangat terbatas. Hal ini lah yang kemudian mengakibatkan banyak kesalahan manusia (human error) saat proses rekapitulasi. Bahkan Ketua KPPS TPS 30 saat itu, Ismantara menjadi satu dari 894 petugas pemilihan yang meninggal dunia.

“Harapan saya ke depan jangan terlalu diforsir lagi. Kita juga ada kerjaan lain yang butuh pemikiran. Kalau bisa dikasih tenggang satu bulan antarpemilihan atau mending dipisah berdasarkan tingkatan pemilihan,” ujar Budi.

Sesuai dengan keputusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemilu 2024 mendatang akan tetap digelar secara serentak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini disepakati setelah Badan Legislatif DPR mencabut UU tersebut dari daftar program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021. Dengan kata lain, Pilkada 2022 dan Pilkada 2023 tak akan digelar.

Dikutip dari laman presidenri.go.id, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno menegaskan bahwa pemerintah tidak berencana merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. “Pemerintah tidak menginginkan revisi dua undang-undang tersebut. Prinsipnya jangan sedikit-sedikit itu undang-undang diubah. Yang sudah baik ya tetap dijalankan. Seperti misalnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu kan sudah dijalankan dan sukses. Kalaupun ada kekurangan hal-hal kecil di dalam implementasi itu nanti KPU melalui PKPU yang memperbaiki,” tegas Mensesneg, Selasa, 16 Februari 2021.

Menanggapi keputusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mulai mengantisipasi dampak Pemilu 2019 agar tidak terulang pada 2024. Menurut Anggota KPU, Hasyim Ashari pihaknya punya 4 prioritas untuk menyiapkan pemilihan umum 2024. Pertama ialah evaluasi kelembagaan, penyiapan regulasi, penguatan infrastruktur teknologi informasi dan keterbukaan informasi publik. Dalam hal kelembagaan, kata dia, KPU akan meningkatkan sarana dan prasarana agar dapat menjamin kesehatan petugas pemungutan suara.

“Belum ada jaminan kesehatan baik dalam proses seleksi bagi calon anggota ad-hoc maupun ketika pelaksanaan tugas. Padahal pada 2024 nanti, Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak dilaksanakan secara berurutan pada tahun yang sama,” katanya ketika dihubungi pada Sabtu, 27 Maret 2021.

Sesuai Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada, Pemilihan Kepala Daerah dilangsungkan pada November 2024. Sementara pelaksanaan Pemilu harus dilakukan sebelum masa jabatan presiden habis pada Oktober 2024. Maka KPU perlu menyiapkan panitia ad-hoc yang lebih banyak ketimbang Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu 2019, jumlah panitia adhoc mencapai 5,966,243 orang dan Pilkada 2020 mencapai 2,552,550 orang. Namun, tidak mudah untuk mencari orang yang dapat dijadikan panitia pencoblosan. “Ketika pelaksanaan di daerah, kebutuhan (penyelenggara tingkat bawah) dan antusiasme kadang tidak seimbang, terutama menyangkut syarat pendidikan,” ujar Hasyim.

Selain itu, KPU juga perlu memastikan penyedian barang kebutuhan pencoblosan. Antara lain bahan baku surat suara, kotak suara dan perlengkapan TPS lainnya, seperti alat penunjang kesehatan; termometer tembak, masker dan penyanitasi tangan hingga pakaian hazmat. Hal ini perlu disiapkan lantaran sampai saat ini belum ada yang dapat memastikan kapan pandemi berakhir. “Kapasitas produksi di masing-masing daerah kan berbeda,” kata Hasyim.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, KPU berencana memulai persiapan pemungutan suara lebih awal. Menurut Anggota KPU lain, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU setidaknya membutuhkan waktu persiapan selama 25-30 bulan. Artinya lebih panjang sekitar 5 atau 10 bulan dari persiapan Pemilu sebelumnya. “Itu (persiapan) penting masuk tahapan agar publik dan pemangku kepentingan secara resmi mempersiapkan diri,” kata Dewa ketika dihubungi pada Jumat, 26 Maret 2021.

Menurut Dewa, bila pemungutan suara digelar antara 14 Februari atau 9 Maret 2024, maka persiapan Pemilu bisa dimulai Juli 2022. Sementara tahapan pilkada dimulai Desember 2023 dengan jadwal pemungutan suara November 2024. Dengan formulasi ini, maka KPU memiliki waktu lebih panjang untuk mengkaji dan membikin simulasi Pemilu serentak.

Meski begitu, kata Dewa, sampai saat ini belum ada kepastian terkait jadwal pemungutan suara. Dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR pada Senin, 15 Maret lalu, KPU diminta untuk menyiapkan kajian dan simulasi jadwal secara terperinci. Termasuk mengenai total kebutuhan anggaran.

KPU mentaksir kebutuhan anggaran untuk Pemilu 2024 sekitar Rp 86,2 triliun untuk pemilu dan Rp 26 triliun untuk Pilkada 2024. Angka ini merupakan alokasi total dari pagu anggaran yang diterima KPU pada 2021 hingga 2025 mendatang. Dewa merinci pada tahun ini anggaran yang diminta KPU sebesar Rp 8,4 triliun. Sementara tahun depan sebesar Rp 13,2 triliun, 2023 sejumlah 24,9 triliun, lalu Rp 36,5 triliun untuk 2004 dan pamungkas sebesar sebesar Rp 3 triliun yang bisa dicairkan pada 2025. “Masih ada waktu mendetailkan setiap rancangan yang tersedia,” katanya.

Dewan menambahkan, KPU juga sedang menyusun regulasi yang dapat meringankan beban petugas di lapangan. Antara lain mengenai pemanfaatkan teknologi informasi. Kata dia, KPU sedang mengembangkan aplikasi yang berfungsi untuk melakukan rekapitulasi elektronik. Penyusuan regulasi ini penting agar penggunaan teknologi informasi berada di bawah payung hukum. “Sekiranya KPU menemukan dan membutuhkan penyesuaian dalam UU. Kami berharap pemerintah dan DPR dapat memperhatikannya dalam perubahan terbatas dan Perppu,” ungkap Dewa.

Sementara itu, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar mengungkapkan bahwa KPU bisa berinovasi tanpa harus melakukan perubahan UU Pemilu dan Pilkada. Ia menyarankan agar KPU merujuk UU 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). “Jadi melihat hukum itu tidak harus an sich di Undang-Undang Pemilu,” ujarnya ketika dihubungi pada Selasa, 30 Maret 2020.

Beberapa inovasi lain, menurut Bahtiar, juga bisa diatur lewat peraturan teknis KPU seperti penyederhanaan formulir, metode pemungutan dan penghitungan suara, hingga metode sosialisasi. Selanjutnya aturan tersebut akan dikonsultasikan bersama Komisi II DPR dan Kemendagri untuk dijadikan sebagai kesepakatan bersama.

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurniawan pun berpendapat serupa. Menurutnya, KPU perlu menyiapkan dasar hukum secara rinci, baik terhadap penggunaan teknologi informasi maupun terkait penyederhanaan tahapan pencoblosan. Setelah itu kajian tersebut dimatangkan lewat tim kerja bersama antara KPU, Bawaslu, Komisi II DPR RI dan Kemendagri.

“Dari sisi regulasi teknis, regulasi apa saja yang dibutuhkan untuk mendukung konsep pemilu yang direncanakan bisa segera diusulkan. Misalnya mulai sekarang kita sudah punya desain rancangan aturan KPU dan Bawaslu seperti apa,” katanya dalam rapat kerja bersama Kemendagri dan penyelenggara pemilu pada 15 Maret 2021.

Peneliti Senior Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas, Hadar Nafis Gumay mewanti-wanti agar KPU berani mengambil inisiatif untuk menyederhanakan tahapan pemilihan 2024 mendatang. Salah satunya dengan cara memangkas proses pendataan daftar pemilih (DPT). Kata dia, KPU bisa memanfaatkan DPT Pileg yang dilakukan pada awal 2024 pada pemilihan kepala daerah.

Hal lain yang diusulkan Hadar adalah penyederhaan desain surat suara. Menurutnya, KPU perlu membikin surat suara yang lebih efisien agar dapat mudah dipahami oleh pencoblos. Selain itu, penyederhanaan ini juga dapat meminimalisir masalah penyediaan logistik. “Kalau itu tidak, menurut saya sudah kelihatan di depan mata bahwa kita akan masuk dalam situasi persoalan yang sama dengan Pemilu 2019,” ujar Hadar.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.