Kejagung Sembunyikan Fakta Pelanggaran HAM Berat

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan yang diajukan Maria Catarina Sumarsih dan Ho Kim Ngo—orang tua dari mahasiswa yang menjadi korban dari tragedi Semanggi I dan II, yakni Bernardinus Realino Irawan dan Yap Yun Hap.

“Mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya,” demikian tertera dalam putusan PTUN Jakarta Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT.

Dalam putusannya, PTUN menganggap pernyataan Jaksa Agung, Sianitar Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 16 Januari 2020 sebagai perbuatan melawan hukum. Saat itu, Burhanuddin menyampaikan bahwa kasus yang menewaskan sejumlah orang termasuk anak dari Sumarsih dan Ho Kim Ngo bukan pelanggaran HAM berat sesuai dengan keputusan Paripurna DPR pada 9 Juli 2001. Dalam rapat tersebut hanya tiga fraksi yang menyatakan kasus TSS mengandung unsur pelanggaran HAM berat, sedangkan tujuh fraksi lainnya menyatakan tidak.

Ketua Majelis Hakim PTUN, Andi Muh. Ali Rahman beserta anggota Umar Dani dan Syafaat menilai penggunaan keputusan politik seperti yang dilakukan Jaksa Agung Burhanuddin dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. Pasalnya Jaksa Agung tidak cermat memerhatikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18.PUU-V/2008 yang salah satu pertimbangnya menyebutkan bahwa DPR perlu memerhatikan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc.

Sedangkan selama ini, hasil penyelidikan Komnas HAM tidak pernah dijadikan rujukan bagi Kejaksaan untuk menindaklanjuti kasus TSS. Kali terakhir Komnas HAM menyerahkan berkas kasus TSS ke Kejaksaan ialah pada 2018 lalu. Namun hingga saat ini, Kejagung tidak pernah menindaklanjuti berkas penyelidikan tersebut.

Oleh sebab itu, Majelis Hakim PTUN memutuskan bahwa Jaksa Agung melawan hukum karena mengabaikan atau menyembunyikan perkembangan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

“Tergugat tidak menguraikan proses penyelidikan secara lengkap. Tindakan tergugat demikian cenderung mengabaikan atau menyembunyikan fakta mengenai kewajiban yang masih diemban institusi Kejaksaan selaku penyidik yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum,” demikian petikan putusan hakim yang diterbitkan Rabu, 4 November 2020.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, menurut hakim, Kejaksaan tidak bisa menghentikan penyelidikan pelanggaran HAM berat. Terlebih sejak 2002, Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM sudah menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang dan kekerasan seksual dalam kasus Trisakti Semanggi I dan II (TSS). Merujuk kronologis yang dibuat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), sedikitnya ada 9 terdakwa kasus penembakan mahasiswa Trisakti yang dihukum 3-6 tahun penjara oleh Pengadilan Militer.

“Selain itu tidak ada bukti yang menunjukkan adanya penghentian penyelidikan dugaan pelanggaran HAM berat kasus TSS,” tulis hakim.

Oleh sebab itu, Majelis Hakim PTUN memutuskan untuk menerima seluruh gugatan penggugat dan memerintahkan agar Kejaksaan Agung menyampaikan proses penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II di DPR secara transparan.

“Sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan/keputusan yang menyatakan sebaliknya,” demikian putusan Majelis Hakim PTUN.

Menanggapi putusan PTUN, Kejaksaan Agung menyatakan akan menghormati keputusan majelis hakim. Meski begitu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Heri Setiyono menyatakan pihaknya tengah mempelajari sekaligus mempertimbangkan upaya banding terhadap putusan PTUN.

“Putusan dirasa tidak tepat, maka tim jaksa pengacara negara selaku kuasa tergugat akan mempelajari terlebih dahulu atas isi putusan tersebut dan yang pasti akan melakukan upaya hukum,” kata Hari melalui keterangan tertulis kepada Jaring.id pada Rabu, 4 November 2020.

Sementara itu, pengacara penggugat, Muhamad Isnur berharap Kejaksaan Agung tidak mengajukan banding. Ia meyakinkan bahwa Kejaksaan Agung tidak lagi bisa menyangkal gugatan yang dilayangkan keluarga korban tragedi Semanggi. “Ini sudah terang benderang,” tegasnya.

Ketimbang melakukan upaya penyangkalan, Isnur menyarankan agar Jaksa Agung Burhanuddin segera membeberkan secara gamblang perkembangan kasus pelanggaran HAM berat kepada anggota DPR.

“Problem penanganan pelanggaran HAM berat ini bukan problem kemampuan, kapasitas atau kapabilitas. Ini sebetulnya bisa dilakukan dengan cepat. Ini sebenarnya soal kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu,” ungkap pria yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers daring pada Rabu, 4 November 2020.

Isnur mendesak agar Presiden Joko Widodo bertindak tegas untuk mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung dalam kasus HAM. Apa yang dilakukan Burhanuddin, menurutnya, bukan lagi masalah teknis hukum. “Bagi kami ini bukan kesalahan administratif ini kesalahan berat,” tegasnya.

Sumarsih, ibu dari salah sat u korban penembakan pada 1998 bernama Wawan sepakat dengan pernyataan Isnur. Ia berharap putusan PTUN bisa menjadi angin segar penuntas kasus HAM masa lalu.

“Semoga kemenangan di PTUN ini menjadi pelajaran bagi Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hukum yang paham terhadap tugas dan kewajibannya, untuk benar-benar menegakkan hukum. Jangan sampai negara hukum ini melanggengkan impunitas,” ujar Sumarsih.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut putusan PTUN atas Jaksa Agung ST Burhanuddin dapat menjadi pintu bagi pemerintah untuk menunaikan tunggakan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

“Putusan pengadilan yang sekarang harus digunakan sebagai momentum untuk mendesak pemerintah dan DPR menuntaskan penyelesaian kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II,” kata Usman yang merupakan Sekretaris KPP HAM dalam diskusi webinar, Rabu, 4 November.

Usman meminta agar Presiden Joko Widodo membentuk pengadilan HAM ad hoc sesuai UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di samping dapat memberi keadilan bagi keluarga korban, menurut Usman, pengadilan ini penting agar peristiwa lain yang menyelimuti TSS dapat terungkap. Termasuk mengadili anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Indonesia (Polri) yang telah menghambat atau menghalang-halangi proses hukum.

“Yang paling mendasar yaitu pertanggungjawaban para pelaku. Hukuman para pelaku yang hingga hari ini belum juga diwujudkan oleh negara,” tutupnya.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.