Bebasnya para agen atau PL memalsukan dokumen calon TKW/TKI ternyata dikoordinir oleh satu orang. Bila jaringan perekrut mencapai belasan orang, ternyata operator pemalsu identitas atau dokumen hanya satu orang yaitu FTS. Orang inilah yang menjadi kartu As proses pemalsuan dokumen para TKI/TKW.
FTS alias T adalah orang penting di balik semua pemalsuan dokumen itu. T adalah oknum yang selama ini tak pernah disentuh aparat. Informasi yang dihimpun dari berbagai pihak, nama T selalu dikaitkan dengan pemalsuan dokumen. Meski demikian T selalu lolos dari jeratan hukum.
“Semua dokumen itu dibuat oleh operator pemalsu. Jadi kalau di NTT ada 16 jaringan maka operator pemalsunya satu orang. Sebenarnya operator tersebut sudah pernah tetapkan sebagai tersangka, namun sepertinya ingin dihilangkan,” ujar sumber kuat di Polda NTT.
Namun, saat ini T sudah menjadi target operasi (TO) polisi. Namanya mulai diungkap oleh penyidik Mabes Polri, Polda NTT, Polres Kupang dan Polres TTS.
“Saya yakin sudah banyak oknum aparat yang kebakaran jenggot dengan fakta atau pengungkapan nama T. Selama ini dia memang selalu ditutup tutupi. Jika nanti dia buka bukaan, baru kita ketahui dengan jelas, siapa siapa yang selama ini bermain dalam kasus trafficking di NTT,” ujarnya.
“Tidak benar polisi melindungi oknum tertentu. Polisi terus mendalami temuan maupun hasil dari pengakuan para tersangka yang sudah ditangkap. Nama itu memang sudah disebut sebut, tapi belum ada bukti kuat untuk menangkapnya. Kalau memang terlibat, akan kita tangkap dan proses sesuai hukum yang berlaku,” ujar Kabid Humas Polda NTT, AKBP, Abraham Jules Abast, S.Ik.
Kini muncul lagi pertanyaan, bagaimana kasus kasus yang selama ini sudah ditangani oleh aparat kepolisian? Data yang diperoleh di Polda NTT, saat ini penyidik sedang menangani 11 kasus. Namun sampai di mana proses penyelesaiannya, belum ada kepastian. Hal ini menambah kuat dugaan, bahwa intervensi orang penting dalam penyelesaian berbagai kasus human trafficking di tingkat aparat masih sangat kuat.
Contohnya adalah kasus deportasi 2013. Saat itu penyidik telah menetapkan 16 tersangka dan sepuluh orang ditahan. Namun, hingga saat ini tak diketahui sampai di mana berkas perkara kasus itu. Kasus perdagangan anak misalnya yang ditangani penyidik Polres Kupang Kota atas nama Ipda Jamari. Pelapor adalah Welem Markus Tana dengan terlapor Fris Tampani. Hingga saat ini, tak jelas penanganan kasus ini.
“Modus permainan di tingkat penyidikan adalah sudah damai. Padahal kasus perdagangan manusia adalah ekstra ordinari crime, sehingga perdamaian pun tidak menghapus pidana,” tegas mantan anggota Satgas Human Trafficking Polda NTT yang tak ingin ditulis namanya.
Pemda Diam
“Yang lucunya pemda diam diam saja. Padahal akar masalahnya ada di NTT. Orang migrasi karena di sini tidak ada pekerjaan. Kalau kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, tidak mungkin dia ke luar negeri. Kemiskinan di NTT ini kan terstruktural. Selama ini orang NTT kasih salah iklim. Padahal di Sabu misalnya, orang malah suka panas. Semakin panas, mereka semakin dapat uang. Nah, itu yang kita tidak lihat itu sebagai potensi,” kata Sarah Lery Mboeik.
Mantan anggota DPD RI ini, mengatakan, pada dasarnya tidak ada orang yang mau miskin. “Beta juga ingin hidup lebih baik. Kenapa lebih banyak perempuan dari laki laki. Peran kesejahteraan itu ada di perempuan. Hari hari dia yang atur keuangan. Dia yang siap terima risiko apa pun. Migrasi itu adalah hak. Tidak bisa disalahkan. Yang harus diatur adalah bagaimana tanggung jawab negara terhadap mereka. Di sana mereka disuntik dengan obat antihaid selama mereka bekerja. Itu kan potensi kankernya sangat tinggi. Apalagi kalau mereka dipekerjakan sebagai PSK. Kita lihat kalau adik adik mereka pulang, perilakunya sudah berubah. Kasihan mereka. Sudah korban, sifat mereka pun berubah,” ujarnya.
Untuk itu, katanya, para TKI/TKW harus dilindungi. Harus ada satu lembaga satu atap. Kumpul semua instansi terkait untuk advokasi. “Kita buat desa buruh migran. Misalnya mau jalan, uang pinjam di desa, jangan ke PTKIS sehingga cicilannya masuk ke desa. Dan, disini peran pemerintah harus ada,” kata Sarah.
Sarah menambahkan, pada setiap tahapan pengiriman tenaga kerja, negara harus punya peran. Mulai dari pengiriman, penempatan hingga pemulangan, negara tak baoleh abai. Selama ini, ujarnya, tidak ada. “Di sini pemerintah cuci tangan. Padahal devisanya masuk ke daerah. Pemerintah dapat dari situ. Satgas yang ada sekarang tidak jalan,” katanya.
Mantan Wakil Gubernur NTT, Esthon Foenay, yang ditemui, mengatakan, tahun lalu, ia langsung mengunjungi lokasi para TKI/TKW ilegal asal NTT di Malasyia. TKI ilegal asal NTT itu berada di Kawasan Setyawan, sekitar 400 Km dari Kuala Lumpur atau sekitar tujuh jam perjalanan menggunakan mobil. TKI ilegal asal NTT di kawasan Setyawan mencapai ribuan orang.
Mereka bekerja di kebun kelapa sawit, kebun karet, kebun mangga, kebun sayur, labu, mentimun dan lainnya. Mereka tinggal di desa desa belasan tahun secara berpindah pindah. Tinggal di rumah rumah darurat yang atapnya terbuat dari daun kelapa sawit atau plastik.
“Itu pun, mereka hidup tidak nyaman. Harus selalu waspada. Sewaktu waktu bisa saja ada operasi dari polisi Malaysia. Tapi mereka sudah ada sindikat yang akan beri tahu kalau akan ada operasi. Saat operasi, mereka akan lari kemudian menyeberangi kali atau sungai. Kalau sudah seberangi kali, pasti polisi sudah tidak kejar lagi,” ujarnya.
Menurut Esthon, Kunci penyelesaian TKI ilegal ada dalam otoritas pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun di kabupaten/kota. Pemerintah harus memfasilitasi rakyatnya sendiri. Mengatasi TKI ilegal tidak mudah. Sindikat TKI ilegal sudah berurat akar. Pemainnya tidak saja di Indonesia tetapi juga di Malaysia.
“Harus ada upaya kuratif (perbaikan). Tindak tegas semua pelaku/sindikat TKI ilegal sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. Aparatur pemerintah dan penegak hukum, apabila ditemukan bukti bukti keterlibatan mereka, harus diberhentikan statusnya sebagai PNS ataupun TNI/Polri. Mengapa demikian? Dari pada rakyat yang sengsara, menderita dan tersiksa, sindikat dan mafia TKI ilegal harus dibabat sampai ke akar akarnya, tanpa pilih kasih. Ketiga, upaya rehabilitasi.