Gangguan terhadap hak-hak digital diperkirakan akan semakin massif menjelang Pemilihan Umum 2024 mendatang. Ekspolitasi data pribadi untuk keperluan kampanye politik merupakan salah satu gangguan yang mengancam demokrasi digital. Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk Tantangan Demokrasi Digital Menuju Tahun Politik 2024 yang digelar SAFEnet beberapa hari lalu, Kamis, 8 Desember 2022.
Salah satu pembicara, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan Shevierra Danmadiyah menilai partai politik akan menerapkan strategi microtargeting dalam kampanye. “Political microtargeting ini akan menyasar orang-orang yang justru belum punya pilihan,” ujar Shevierra.
Strategi yang diadopsi dari ilmu pemasaran ini akan mencari data pribadi lewat media sosial untuk mengetahui selera dan perilaku pemilih. Dengan begitu, para kandidat politik bisa menyampaikan pesan yang lebih personal sesuai preferensi masing-masing pemilih. “Biasanya ini banyak muncul seperti iklan partai politik pada laman sosial media. Kita sekarang ini pasti sudah sering melihatnya di sosial media,” tuturnya.
Aksesibilitas terhadap data pribadi, menurutnya, akan menjadi penting untuk disasar kontestan agar dapat membikin rencana kampanye yang tepat sasaran. Agar tidak terjadi gangguan terhadap perlindungan data pribadi, Shevierra menyarankan agar pemerintah segera memitigasi potensi gangguan tersebut dengan mengimplementasikan regulasi yang sudah ada, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang disahkan September lalu. “Selain persoalan algoritma, perlu kita pertanyakan mengapa data pribadi itu dapat diakses kandidat politik tertentu,” kata dia.
Tantangan lain ialah gangguan keamanan digital. Antara lain doxing atau penyebaran informasi pribadi, food bombing, pengambilalihan akun media sosial, peretasan, termasuk spyware melalui injeksi perangkat lunak yang dapat memata-matai dan mengambil data pengguna.
Lembaga pemerhati hak digital, SAFEnet mencatat sedikitnya 165 insiden keamanan digital sepanjang Juli-September 2022. Antara lain kasus serangan digital terhadap jurnalis pekerja media Narasi TV pada September 2022. Serangan ini menyasar akun Whatsapp, Telegram, dan Instagram. “Sekarang tantangan kita bukan hanya apa saja yang berpotensi mengkriminalisasi kita,” ia menambahkan.
Adapun masalah yang mencuat pada triwulan ketiga tahun ini ialah pemutusan layanan 3G oleh operator seluler. Hal ini mengakibatkan kesenjangan akses digital terutama di daerah tertinggal, terdalam, dan terluat (3T). Masalah lain ialah gangguan Internet di Papua dan Papua Barat, rendahnya kualitas sambungan internet dan pemeliharaan jaringan infrastruktur digital. Terakhir ialah pemberlakukan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 tahun 2020 (Permenkominfo) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat.
Dalam Pemenkominfo ini terdapat pasal karet yang berpotensi multitafsir. Di antaranya Ayat (3) pada poin b yang mana menyisipkan frasa ‘meresahkan masyarakat’ dan ‘mengganggu ketertiban umum.’ Dengan demikian, menurut Ika Ningtyas, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pemerintah bisa sangat lentur mengategorikan mana informasi maupun berita yang meresahkan dan mengganggu ketertiban umum. “Penggunaan legislasi semakin eksesif,” ujar Ika.
Oleh sebab itu, Ika menyebut tantangan demokrasi digital ke depan akan semakin kompleks. Terlebih baru-baru ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sedikitnya mencatat 12 pasal bermasalah yang berpotensi mengganggu demokrasi dan HAM. Belasan pasal itu antara lain terkait larangan penyebaran paham yang tak sesuai Pancasila, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara, pasal kohabitasi, dan ketentuan tumpang tindih dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dari tempat terpisah, Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kemenkominfo menegaskan bahwa KUHP tidak membatasi kebebasan pers. Masalah berkenaan dengan kerja jurnalisitk, menurut, akan diselesaikan lewat Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999. Karenanya, pers tidak perlu khawatir mengkritik pemerintah selama tidak melakukan penghinaan atau pencemaran nama. “Harus ada orang yang merasa dihina. Ini dalam rangka mengurangi elastisitas dari pasal karet itulah,” ujarnya dalam diskusi Journalism Under Digital Seige yang dihelat oleh Unesco Jakarta, bekerjasama dengan Komnas HAM dan LBH Pers. (Reka Kajaksana)