Alexandre Capron berharap akan menemukan organisasi kriminal menakutkan berdana jumbo ketika mulai menginvestigasi persebaran disinformasi tentang Covid-19. Unggahan di umpan berita dari lima halaman Facebook populer telah berhasil menarik perhatian ratusan ribu orang di Afrika dan Eropa Barat. Isinya, kutipan palsu dari presiden dan otoritas medis yang dengan canggih didesain untuk mengeksploitasi kemarahan warga Republik Demokratik Kongo dan diaspora Kongo di Perancis.
Capron, jurnalis yang bekerja untuk The France 24 Observer, menggunakan sejumlah perangkat pelacak jaringan untuk menelisik organisasi di balik laman-laman tersebut. Beberapa piranti yang digunakannya adalah Hoaxy, whopostedwhat.com, dan kotak Transparansi Halaman Facebook. Alih-alih menemukan kelompok kriminal terorganisir, dia malah mendapati mahasiswa berumur 20 tahun dan pelajar sekolah berusia 16 tahun sedang bermain-main. Keduanya berlokasi di Kinshaha, ibu kota Republik Demokratik Kongo.
Admin laman berumur 20 tahun memberitahu Capron: “Kami membuat informasi palsu untuk menggaet follower. Kami memberikan para pengguna media sosial berita dan informasi yang tidak pernah mereka temukan dimanapun.”
Salah satu akun Facebook yang mereka buat diikuti oleh 150,000 followers. Artikel tentang Covid-19 yang mereka unggah bahkan dibagikan hingga 206.000 kali hanya dalam waktu lima pekan.
***
Natalia Antelava, Pemimpin Redaksi Coda Story—sebuah media non profit di Tblisi, Georgia –menyatakan, disinformasi telah mendorong banyak media bersikap reaktif. Menurutnya, memburu organisasi dan motivasi di disinformasi merupakan langkah yang lebih baik.
“Membongkar (hoax) telah mengalihkan perhatian para jurnalis. Kami harus membuat liputan yang proaktif dan tidak hanya bereaksi terhadap agenda pihak tertentu,” terang Antelava.
Februari lalu, Coda Story menelisik laman FB Group Stop5G International yang membagikan informasi palsu untuk menyerang teknologi data 5G. Di masa pandemi, informasi tersebut berdampak pada aksi vandal terhadap lebih dari 70 menara selular di Inggris. Para pelakunya memercayai narasi bahwa teknologi 5G telah merusak sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian turut andil menyebarkan Covid-19.
Tim Coda Story melacak pengelola halaman Facebook tersebut hingga ke sebuah rubanah rahasia di dekat kota Zurich, Jerman. Jurnalis yang melakukan liputan tersebut harus dipindai dengan detektor radiasi dulu sebelum dibolehkan mewawancarai aktor di belakang laman tersebut. Namun, alih-alih menulis artikel bernada sinis atau membongkar beragam klaim janggal informasi mengenai jaringan data 5G, laporan itu justru mengungkap motif dan ketakutan para pengelola laman.
***
Pada bulan Mei, reporter Armenia Tatev Hovhannisyan menemukan sejumlah informasi menyesatkan dan gegabah tentang pandemi yang dibuat oleh situs berita kesehatan lokal, Medmedia.am. Salah satunya berisi himbauan pada warga Armenia untuk menolak semua program vaksin yang potensial. Berita tersebut dibaca hingga 131.000 kali di Armenia jumlah penduduknya hanya 3 juta jiwa.
Dia juga melihat berita terbanyak dibaca kedua pada situs tersebut adalah berita tidak berdasar soal kamar jenazah yang menawarkan uang bagi keluarga yang mau menandatangani pernyataan bahwa anggota keluarga mereka meninggal akibat Covid-19.
Situs tersebut, yang kemudian ia temukan dikelola oleh seorang dokter berpandangan kanan dan anti LGBTQ, juga mengklaim memperoleh program dana hibah dari departemen luar negeri pemerintah AS. Hovhannisyan merasa curiga atas kebenaran pernyataan ini. Alih-alih membongkar informasi palsu dalam berita situs ini—yang baginya mudah dilakukan, tapi tak banyak berguna—dia memutuskan untuk menelisik lebih dalam soal dana di balik Medmedia.am.
Usahanya dimulai dengan menelusuri program dana hibah melalui grants.gov (situs dana hibah pemerintah AS) dan berujung pada kegagalan. Ia juga mencoba mencari tahu pemilik dan organisasi non-pemerintah yang mengendalikan Medmedia.am dengan menggunakan bantuan Whois.
Hovhannisyan akhirnya menemukan bahwa para penerima dana hibah harus memiliki nomor DUNS sebagai identitas unik untuk melengkapi proses pendaftaran SAM (System for Award Management). Berbekal informasi tersebut, dia menelusuri situs database SAM.gov dan menemukan nama Armenian Association of Young Doctors—organisasi yang didirikan si dokter. Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa program dana hibah untuk organisasi tersebut berstatus aktif.
Delapan hari setelah Hovhannisyan memublikasikan laporannya di openDemocrarcy, kedutaan besar Amerika di Armenia mengakui telah memberikan dana hibah kepada Armenian Association of Young Doctors dan Medmedia.am. Sebagai tindak lanjut, duta besar Amerika Lynne Tracy mengumumkan bahwa kedubes akan mengakhiri pendanaannya terhadap situs itu dan akan memperketat sejumlah prosedur pengajuan dana hibah. Laporan openDemocracy ini kemudian dikutip oleh lebih dari 70 media lainnya dalam 8 bahasa.
“Saya bertanya pada diri sendiri: bagaimana sebuah lembaga pemerintah AS mendanai situs Armenia yang menyebarkan misinformasi tentang Covid-19 dan mengampanyekan anti vaksin? Informasi berbahaya telah merajalela selama pandemi Covid-19. (Cerita ini) menunjukkan dampak global yang nyata dan luar biasa” kata Hovhannisyan.
“Medmedia kelihatannya telah mengubah pendekatannya. Jumlah informasi yang menimbulkan kesalahpahaman dan informasi salah tentang Covid-19 telah menurun. Ini adalah dampak paling penting buat saya,” imbuhnya.
***
Syed Nazakat, presiden Perserikatan Jurnalis Asia (Society of Asian Journalists) dan anggota board GIJN dari India telah mengamati empat gelombang disinformasi tentang pandemi di Asia. Pertama, tentang asalnya; kedua, tentang laporan-laporan dari masa lalu yang tidak berhubungan tapi ditampilkan seolah berhubungan dengan virus corona; ketiga, tentang penyembuhan; dan keempat tentang kuncitara.
Nazakat mewanti-wanti soal gelombang disinformasi terorganisir melawan vaksin yang bakal terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
“Saya melihat hal ini akan datang. Kampannye (anti vaksin) akan lebih terkoordinasi dan lebih intens dari yang pernah ada. Hal ini akan mengacaukan atau menyabotase kemajuan yang sudah ada dalam upaya pengembangan vaksin atau orang akan menghindari vaksin karena rumor ini. Saya mengatakan tentang ribuan video penolakan vaksin yang muncul setiap hari. Para jurnalis pasti akan sibuk,” jelasnya.
Nazakat, yang juga mendirikan DataLEADS, mengatakan kalau berbagai teori konspirasi tentang vaksin meledak di seluruh Pakistan akibat sebuah liputan media besar yang memberitakan CIA mengadakan vaksinasi ke kompleks tempat tinggal Osama Bin Laden. Langkah badan intelijen negeri Paman Sam tersebut diklaim terjadi sebelum serbuan militer AS untuk menangkap pemimpin Al Qaida itu di tahun 2011.
“Bahkan saat pandemi mulai terjadi, orang-orang masih mengatakan tidak ada Covid. Mereka percaya kalau ini adalah misi rahasia CIA,” tambah Nazakat.
“KIta telah melihat banyak video berbahasa Hindi dan Bangla tentang obat dan penyembuhan alternative. Bawang atau urin sapi diklaim dapat menyembuhkan. Banyak juga teori konspirasi yang ditulis dalam bahasa Urdu dan menjadi obrolan sehari-hari di Pakistan dan India. Covid juga telah digunakan sebagai senjata untuk membenci Muslim. Kami juga telah membuat ratusan liputan tentang klaim penyembuhan yang tidak didasarkan pada bukti ilmiah. Ketika kami menginvestigasi siapa yang melakukannya, kami menemukan banyak kelompok kepentingan yang terkait dengan pengobatan alternatif,” terangnya.
Dalam sebuah program, Health Analytics Asia—sebuah divisi di DataLEADS—bermitra dengan para dokter di 17 negara Asia untuk melakukan pengecekan real-time terhadap unggahan atau artikel mengenai klaim medis terkait pandemi.
***
Craig Silverman telah menjadi editor sejumlah buku yang membantu para reporter menangani disinformasi, termasuk di antaranya yang gratis untuk diunduh; “Verification Handbook: A definitive guide to verifying digital content for emergency coverage.”
Pada Mei lalu, Silverman mengamati disinfomasi tentang gerakan anti masker Covid-19 di Facebook dan menemukan kaitannya dengan usaha untuk menaikkan harga masker. Informasi tersebut tidak hanya merugikan konsumen, tetapi juga telah mengecoh Facebook. Proses yang dilakukan Silverman saat meliput hal tersebut bisa dicontoh oleh reporter untuk mengungkap jaringan disinformasi bertujuan komersial dan para penipu di baliknya.
Dalam sebuah webinar GIJN tentang disinformasi, Silverman menjelaskan bahwa penelisikannya dimulai dari sebuah iklan masker N95 di Facebook. Iklan tersebut mengombinasikan data palsu dan kutipan dari seorang yang berposisi sebagai Surgeon General di Pusat Pemantauan dan Pencegahan Penyakit AS. Jabatan tersebut ternyata fiktif.
Tautan toko daring di iklan masker N95 yang ditelisik Silverman tak memberi banyak informasi. Tak patah arang, ia mencoba cara lain dengan menyalin alamat tautan tersebut, memberinya tanpa kutip di bagian depan dan belakang, lalu mencarinya dengan bantuan Google. Hasil pencarian menuntunnya pada berbagai konten di komunitas PayPal, komplain pengaduan dari konsumen yang tertipu, dan perusahaan bernama ZestAds yang menjual masker tersebut.
Pencarian terpisah dengan menggunakan kata kunci ‘masker’ dan ‘ZestAds’ menghasilkan tautan pada ratusan konten berisi pengaduan tentang informasi bohong, meroketnya harga masker, dan pesanan yang tak pernah tiba.
Setelah mengunjungi bagian “Halaman terkait” dan menjelajahi semua panel pada Halaman Facebook—termasuk ‘Ulasan’ dan ‘Tentang’—untuk melihat lebih banyak komentar, dia mengklik bagian ‘Transparans Halamani’ dan menemukan sebuah perusahan AS selain ZestAds yang terdaftar sebagai pemilik halaman terverifikasi.
Bagi Silverman, ketidakwajaran ini hanya satu dari beberapa sinyal janggal. Ia juga menemukan kalau pengelola halaman Facebook yang seharusnya berada di Amerika ini, kemungkinan berada di Spanyol.
Teknik ‘bola salju’ digunakan Silverman untuk menyelidiki jaringan ini, termasuk jumlah Halaman Facebook dan toko daring yang menjual masker.
“Kami melihat perkembangan pesat jumlah perusahaan penjual produk di Facebook yang menggunakan Shopify sebagai outlet penjualan. Mereka bisa membuatnya dalam hitungan menit, menciptakan lebih banyak outlet lainnya dalam hitungan menit, dan menipu konsumen untuk mencuri uang mereka,” katanya.
Mengetahui bahwa para penipu seringkai tak mau repot menulis visi misi perusahaan, Silverman mengekstrak kalimat di bagian ‘Tentang Kami’ dari halaman situs toko-toko online tersebut. Ia kemudian memberikan tanda kutip pada kalimat tersebut dan mencarinya dengan bantuan Google. Hampir 300 toko ditemukan Silverman.
Satu per satu situs tersebut dia kunjungi. Data dari situs itu kemudian dimasukkan dalam spreadsheet untuk mengetahui hubungan mereka dalam jaringan penipuan.
“Ketika itu semua usaha keras investigasi sirna,” ujarnya. “Namun, pekerjaan manual ini sangat penting karena saya yakin dengan keberadaan toko-toko tersebut dan melihat apa yang mereka lakukan dengan mata saya sendiri.”
Tak kehabisan akal, Silverman melakukan pencarian dengan menggunakan frasa “site:facebook.com” dan memasukkan nama hampir 200 perusahaan yang saling terhubung untuk memetakan penetrasi mereka di media sosial. Usaha tersebut membawanya pada laman Facebook sebuah toko daring bernama “qomingsoon.com”. Transparansi Halaman akun tersebut memberikan petunjuk lokasi si penipu: sebuah perusahaan di Malaysia.
“Ternyata ZestAds menemukan cara untuk mengakali Facebook dalam proses mendaftarkan pemilik Halaman yang terverifikasi. Mereka bisa dengan bebas menyesatkan pelanggan dan mengeksploitasi Facebook,” jelasnya.
Silverman lalu melakukan pencarian tokok-toko tersebut dengan menggunakan Whois.net dan DomainBigData.com untuk menggali catatan registrasi mereka.
“Di saat yang sama Facebook telah melarang semua iklan masker. Jadi bukan hanya kami mengungkap perusahaan yang telah menyesatkan dengan informasi yang menipu, kami juga membongkar bahwa Facebook gagal menegakkan kebijakan mereka sendiri,” kata Silverman.
BuzzFeed mengirimkan sebuah daftar dari hampir 100 Halaman yang terhubung dengan ZestAds ke Facebook. Langkah tersebut direspons dengan penghentian dan pembekuan ZestAds dari platform media sosial tersebut. (Rowan Philp, GIJN)
Tulisan ini merupakan suntingan dari artikel bertajuk 6 Tools and 6 Techniques Reporters Can Use to Unmask the Actors behind COVID-19 Disinformation yang pertama kali dipublikasikan oleh Global Investigative Journalism Network (GIJN). Penyebarluasan tulisan ini berada di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International.
Alih bahasa ini disponsori oleh dana hibah dari Google News Initiative. Untuk menerbitkan ulang tulisan ini, Anda bisa menghubungi [email protected].