Carole Cadwalladr: Raksasa Digital Mengeksploitasi Data Pribadi

 

Eksploitasi terjadi saat orang-orang memberikan detail informasi-
mengenai kehidupan pribadinya kepada perusahaan teknologi - Carole Cadwalladr.

Skandal Cambridge Analytica menyentak publik pada Maret 2018. Carole Cadwalladr, penulis feature The Observer, mengungkap bagaimana Donald Trump dengan bantuan Cambridge Analytica menggunakan data puluhan juta pengguna Facebook untuk memenangkan pemilihan umum di Amerika Serikat. Pascapublikasi liputan tersebut di The Guardian dan The New York Times, terungkap bahwa hal tersebut tak hanya berlangsung di negeri Paman Sam, tetapi juga di belahan dunia lain. Salah satu yang lumayan tersohor ialah kasus Brexit di Inggris.

Investigasi yang dilakukan Carole tidak hanya mengantarkannya sebagai salah satu finalis Pulitzer Prize 2019 dalam kategori National Reporting, tetapi juga berhasil membangunkan kesadaran publik tentang pentingnya kerahasiaan data pribadi.

Akhir Januari lalu, Carole menjadi pembicara dalam helatan Indonesia Data and Economic Conference (IDE 2020). Dalam kesempatan tersebut ia meluangkan waktu berbincang dengan perwakilan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia. Dalam sebuah sesi yang dinisiasi oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Katadata, Jaring.id mendapatkan izin eksklusif dari Carole untuk mengutip ucapannya dalam perbincangan tersebut, berikut rangkumannya.


Awal-mula liputan Cambridge Analytica

Liputan yang saya lakukan bukan sebuah proses melainkan kecelakaan. Satu dekade belakangan, berita soal teknologi ditulis oleh jurnalis yang mengerti teknologi dan untuk orang-orang yang tertarik dengan isu teknologi. Mengingat teknologi memengaruhi masyarakat dan politik, saya mencoba menulis isu ini sebagai seorang penulis feature. Namun, saya terperosok dalam situasi ketika jawaban justru menuntun ke pertanyaan selanjutnya (rabbit hole) pada November 2016 — Donald Trump baru saja terpilih ketika itu. Dan saya mulai menelusuri internet. Selanjutnya melatih diri sendiri untuk melakukan peliputan investigasi. Pada tahap itu, saya menyadari kalau jurnalisme investigasi adalah jurnalisme yang membutuhkan waktu lebih panjang. Hal tersebut meyakinkan saya untuk menelusuri lebih jauh soal Cambridge Analytica.

Di Inggris dan juga di Indonesia, media massa kekurangan sumber daya manusia. Tak ada reporter yang memiliki waktu panjang untuk melakukan liputan. Posisi sebagai jurnalis lepas memungkinkan saya untuk menentukan isu apa yang mau ditulis. Ketika Donald Trump terpilih, editor meminta saya untuk menulis laporan soal fake news yang merupakan konsep baru ketika itu.

Mark Zuckerberg mengatakan bahwa Facebook tidak terkait sama sekali dengan keterpilihan Trump dan saya mulai memperhatikan soal hal tersebut. Ketertarikan awal adalah soal Facebook, bukan Google. Saya mulai melakukan pencarian secara acak dengan Google, lalu merasa ganjil dan bertanya bagaimana cara kerja mesin pencari Google. Dua kata pertama yang coba saya cari adalah “are Jews.” Google kemudian merekomendasikan “are Jews evil” dan saya menekan enter. Website memuakkan bermunculan di laman pencarian dan menulis “yes, jews are evil.” Hal yang sama dilakukan untuk “woman” atau “are women evil” dan saya mendapatkan banyak halaman yang menyebut “yes, woman are evil.”

Saya beruntung punya banyak teman akademisi yang mulai memetakan website-website semacam itu dan mencari keterkaitan di antaranya. Mereka menemukan fake news di sana-sini. Ini adalah jaringan yang bukan terjadi secara kebetulan. Itu momen pertama yang membuat saya tertarik dengan apa yang terjadi di internet dan mendalaminya hingga sekarang.

..fake news di sana-sini. Ini adalah jaringan yang bukan terjadi secara kebetulan.

Menemukan orang dalam

Salah satu hal yang membuat frustasi adalah kurangnya keterbukaan perusahaan teknologi. Perusahaan teknologi bersikap seolah-olah Cambridge Analytica bukan masalah dan menolak menjawab saat diwawancarai. Hal tersebut menghambat kerja jurnalis, termasuk saya. Saya pergi ke Google. Lalu, pada kesempatan lain saya mendapat respons buruk dari bagian Hubungan Masyarakat Cambridge Analytica. Ketika mendapatkan penyangkalan, jurnalis berada dalam posisi sulit yang membuat mereka tak bisa membuktikan tuduhan. Normalnya, sebagai penulis feature, saya akan pindah ke isu lain. Namun, saya merasa narasumber saya berbohong dan berusaha mengontak narasumber lain yang merupakan mantan pekerja di perusahaan tersebut.

Ketika mengajukan temuan awal soal Facebook, salah satu narasumber merekomendasikan agar menemui Christoper Wylie. Tak ada jejak Christoper di Internet, apalagi keterhubungannya dengan Cambridge Analytica. Menemukannya adalah persoalan membangun koneksi dan berbicara dengan banyak orang. Ketika itu, Christoper menunggu untuk ditemukan. Ada orang yang mengetahui skandal dengan baik. Ketika kamu mencari dan menemukannya, dia akan banyak bercerita. Namun, dia tidak akan datang padamu dengan sendirinya. Oleh sebab itu, saya coba memperluas jaringan dan bicara pada sebanyak mungkin orang.

..Ada orang yang mengetahui skandal dengan baik. 
Ketika kamu mencari dan menemukannya, dia akan banyak bercerita. 
Namun, dia tidak akan datang padamu dengan sendirinya.

Membuat liputan berdampak

Hal yang dilakukan Facebook dan Cambridge Analytica sudah banyak diliput sebelumnya, tetapi perusahaan teknologi tidak mengacuhkan temuan tersebut. Saya harus menulis cerita yang tak bisa lagi diabaikan oleh mereka dan ketika menemukan Chris, saya tahu dia narasumber yang tepat. Chris artikulatif dan memiliki dokumen. Namun, lebih dari itu, dia punya cerita serta pemahaman mengenai apa yang dilakukan perusahaan teknologi. Membuat Chris bercerita mengenai aktivitas perusahaan teknologi tidaklah cukup. Saya harus membuatnya berdampak besar, sehingga tak lagi bisa diabaikan. Itu alasan mengapa saya menawarkan cerita ini kepada beberapa media massa. Pada akhirnya, apa yang membuat liputan soal Cambridge Analytica terwujud adalah fakta bahwa mereka melakukan hal serupa di banyak belahan dunia. Internet digunakan dalam politik untuk menyasar orang dan memanipulasinya.

Ancaman Pascaliputan

Liputan soal Cambridge Analytica membuat saya punya banyak musuh. Namun, semakin besar ancaman, semakin besar pula dukungan. Hal tersebut meyakinkan saya kalau orang-orang memahami tulisan saya. Risiko sebagai jurnalis memang menakutkan. Tuntutan pengadilan terhadap jurnalis secara personal di Eropa meningkat. Orang-orang kaya menggunakan hukum untuk mengintimidasi jurnalis dan menghentikan liputan. Lebih mudah menggugat jurnalis secara individu daripada media massa. Hal konyol terjadi saat saya berbicara di TED Talk dengan dua media di Amerika yang diuntungkan oleh amandemen pertama. Saya digugat secara personal karena pidato di TED Talk. Hal yang harus saya lakukan untuk membela diri ketika itu adalah menggalang dana secara online.

Pasca-Cambridge Analytica

Cambridge Analytica memang tutup, tetapi mereka masih memiliki banyak data. Ada perusahaan sejenis yang dibuat salah satu mantan staf mereka. Dia kini bekerjasama dengan manajer kampanye Donald Trump. Sebelum laporan ini terbit saya bertemu dengan CEO Cambrige Analytica dan dia mengatakan kalau sudah bekerja untuk 156 pemilihan di dunia. Sangat mungkin mereka beroperasi di Indonesia.

Brexit

Hasil referendum Brexit adalah sebuah kejutan. Pasalnya, berbagai jajak pendapat yang dilakukan sebelum pemungutan suara justru berkata sebaliknya. Dengan menggunakan teknologi yang persuasif yang menyasar kelompok tertentu, hanya dibutuhkan waktu 72 jam untuk memengaruhi hasil pemilihan. Ini bukan gambaran ideal dari politik, pemilihan umum, dan demokrasi. Teknologi ini menyasar individu yang bingung dengan cara memberikan informasi bohong. Kondisi tersebut sangat berbeda dengan politik dan pemilu jaman dulu.

Teknologi ini menyasar individu yang bingung dengan cara memberikan-
informasi bohong.

Tanggung jawab Facebook dan Google

Referendum di Inggris, pemilihan umum yang memenangkan Donald Trump di Amerika Serikat, dan terpilihnya Duterte di Filipina beberapa saat sebelum referendum Brexit adalah skandal yang harus dicarikan solusinya. Banyak hal yang memengaruhi hasil dari tiga pemungutan suara tersebut ada di Facebook. Informasi mengenai apa yang terjadi, kelompok mana yang memasang iklan di Facebook dan besaran dana yang dikucurkan untuk melakukan hal tersebut dimiliki oleh Facebook. Menurut saya, seharusnya publik punya akses terhadap hal-hal tersebut agar dapat diaudit. Iklan politik berbayar itu bukan bentuk kemerdekaan menyampaikan pendapat. Mereka mengeluarkan uang untuk keuntungan dan adakalanya informasi yang disebarkan lewat iklan Facebook adalah sebuah kebohongan. Asalkan partai politik dan politikus membayar untuk memasang iklan, Mark Zuckerberg tak melarang mereka berbohong di Facebook.

..seharusnya publik punya akses terhadap hal-hal tersebut agar dapat diaudit. 
Iklan politik berbayar itu bukan bentuk kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Respons Facebook

Facebook selalu mengatakan kalau mereka sudah cukup transparan. Kenyataannya apa yang sudah mereka lakukan tidak bekerja dengan baik. Dalam pemilihan terakhir di Inggris ada iklan politik dari satu organisasi yang entah berkerja untuk siapa. Tindakan pemerintah meminta Facebook menghapus beberapa akun dan konten yang diunggah memang bermasalah. Ada orang yang menggunakannya sebagai sarana otoriter untuk tujuan represi. Namun, menurut saya, ini adalah konsekuensi dari monopoli kekuatan global.

Perlunya sosial media sebagai media komunikasi

Kita butuh internet, butuh Facebook. Tak mungkin begitu saja menolak mereka dan kembali ke masa sebelum adanya media sosial. Dalam kondisi tersebut, penting untuk mengedukasi orang agar bisa membedakan berita bohong dan bukan bohong. Arah diskusi harus berubah. Eksploitasi terjadi saat orang-orang memberikan detail informasi mengenai kehidupan pribadinya kepada perusahaan teknologi. Informasi tersebut yang digunakan untuk mengacaukan pemilu dan pembuatan kebijakan di berbagai belahan dunia. Sudah lama kita berpikir bahwa teknologi ini baik dan sekarang setidaknya kita tahu itu sebuah kebohongan.

Dirjen PSDKP KKP: Kami Bisa Membaur dengan Pelaku

Berdasarkan indeks risiko IUU Fishing yang dirilis Global Initiative Against Transnational Organized Crime (Gitoc) pada Desember 2023, Indonesia tercatat sebagai negara terburuk keenam dari 152 negara dalam menangani praktik illegal, Uunreported, and unregulated fishing (IUUF).

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.