Tok! Ketukan palu oleh Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Sufmi Dasco Ahmad itu menandai pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang. Palu diketuk setelah mayoritas anggota DPR berteriak ”setuju,” dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023, Selasa 6 Desember 2022.
Di luar Gedung DPR RI, koalisi masyarakat sipil, antara lain YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, Walhi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Imparsial berteriak lain dari balik pagar setinggi 4 meter. Mereka memekik tanda tak setuju dengan sejumlah pasal yang diklaim sebagai KUHP karya ‘anak bangsa’ tersebut.
Dewan Pers mencatat sedikitnya ada 14 pasal dalam KUHP yang bukan hanya berpotensi mengancam kemerdekaan Pers dan kebebasan berekspresi. Tapi juga berbahaya bagi demokrasi dan pemberantasan korupsi. “Kami sesungguhnya prihatin dengan KUHP ini mengapa diundangkan dengan tidak lebih banyak melihat juga masukan dari ekosistem pers,” kata anggota Dewan Pers Asmono Wikan saat ditemui Jaring.id dan Suara.com, Selasa, 14 Maret 2023 lalu. “Tapi yang perlu diketahui masyarakat adalah bahwa kami telah berupaya cukup intens,” tambahnya.
Sejak Agustus 2022, menurutnya, Dewan Pers sudah berkomunikasi dengan DPR. Pertemuan tiga anggota Dewan Pers, Arif Zulkifli, Yadi Hendriana, dan Atmaji Sapto Anggora, serta seorang tenaga ahli Dewan Pers Arif Supriyono pada Senin sore, 15 Agustus 2022. Saat itu, mereka bertemu Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus anggota Komisi Hukum DPR RI Fraksi PPP Arsul Sani, meski tak lama.
“Kami berterima kasih atas masukan Dewan Pers terhadap RKUHP. Saya berpendapat, isu 14 pasal yang direformulasi oleh Dewan Pers ini wajib dibahas dalam rapat-rapat DPR nanti,” kata Arsul usai menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) RKUHP dari Dewan Pers. “Masukan Dewan Pers ini juga membawa kepentingan masyarakat sipil,” katanya.
Dewan Pers juga menemui Fraksi Gerindra, PDI Perjuangan, dan PKB. Mereka menyerahkan 14 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan reformasi RKUHP. “Kami mempersoalkan 14 pasal yang berpotensi menghalangi kemerdekaan pers. Reformulasi 14 pasal ini sudah kami diskusikan dengan konstituen Dewan Pers, jaksa, hakim, dan para pakar hukum,” kata anggota DP lain, Arif Zulkifli.
Sepekan berlalu, Selasa, 23 Agustus 2022, Komisi Hukum DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Dewan Pers, Persatuan Doktor Hukum Indonesia (PDHI), dan Advokat Cinta Tanah Air (ACT).
Dalam RDPU, Dewan Pers menjelaskan dan menyandingkan beberapa pasal RKUHP versi usulan pemerintah dengan hasil reformulasinya. Dua diantaranya; yakni Pasal 218 Ayat 2 tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dan Pasal 246 tentang penghasutan melawan penguasa.
Pada pasal 218 Ayat 2 RKUHP versi usulan pemerintah berbunyi: tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Dewan Pers mengajukan perbaikan Pasal 218 Ayat 2 menjadi: tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jika perbuatan dilakukan untuk tugas jurnalistik, kepentingan umum, atau pembelaan diri.
Selanjutnya Pasal 246 RKUHP tentang penghasutan melawan penguasa, Dewan Pers mengajukan reformulasi menjadi: a. mengajak publik secara terang-terangan untuk melakukan tindak pidana atau, b. mengajak publik secara terang-terangan untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
Adapun versi usulan pemerintah dalam Pasal 346 RKUHP itu sebelumnya berbunyi: dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan: a. menghasut orang untuk melakukan tindak pidana atau, b. menghasut orang untuk melawan penguasa umum dengan kekerasan.
Sebagian besar anggota Komisi III DPR RI yang hadir dalam RDPU kala itu mengapresiasi reformulasi Dewan Pers. “Membaca reformulasi yang disampaikan Dewan Pers, kami merasa tercerahkan. Terasa ada relaksasi. Ini clear dan adem (sejuk). Terima kasih, pada dasarnya kami oke,“ kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Junaidi Mahesa dalam RDPU.
Politikus Partai Gerindra itu juga menjanjikan akan mengupayakan Dewan Pers bertemu dengan tim ahli atau para pakar penyusun RKUHP untuk membahas reformulasi dan DIM tersebut. Harapannya, DIM dan reformulasi Dewan Pers dapat diterima pemerintah, sehingga RKUHP senapas dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Sudah selayaknya reformulasi dan DIM dari Dewan Pers ini kita perjuangkan. Dengan demikian, UU Pers nanti bisa dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kalau ini, saya menyebutnya, masalah kami,” pujian dari anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan kepada Dewan Pers disambut tepuk tangan peserta RDPU.
Mendengar hal itu, Dewan Pers pun merasa lega. “Ini menunjukkan mereka menghargai upaya-upaya Dewan Pers,” Ketua Dewan Pers ketika itu, Prof Azyumardi Azra.
Namun, Selasa, 6 Desember 2022, asa yang sempat menguat tiba-tiba patah. Saat meresmikan RKUHP menjadi Undang-Undang, formulasi Dewan Pers tak dianggap. “Kami sesungguhnya prihatin dengan KUHP ini. Mengapa diundangkan dengan tidak lebih banyak melihat juga masukan ekosistem pers,” kata anggota Dewan Pers Asmono Wikan saat ditemui Jaring.id dan Suara.com, 14 Maret 2023 lalu.
“Semangat di dalam dialog (bersama fraksi-fraksi di Komisi III DPR dan RDPU) itu sama bahwa kemudian hasil akhirnya di parlemen, itu keputusan politik bernama regulasi Undang-Undang KUHP,” ia menambahkan. “Dewan Pers tidak terlibat di situ. Jadi tidak mungkin Dewan Pers mencegah pada saat terjadi pembahasan pleno sidang paripurna memutuskan, mengetuk palu itu,” lanjutnya.
Lepas sebulan sejak pengesahan, tepatnya Senin, 2 Januari 2023 Presiden Jokowi mengesahkan Undang-Undang KUHP. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 itu setebal 345 halaman, berisi 37 bab dan 624 pasal.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej mengklaim KUHP anyar mengandung paradigma baru dalam hukum pidana. Kata dia, pemerintah memperhatikan demokratisasi, dekolonisasi, sinkronisasi, dan konsolidasi dalam menyusun kitab hukum tersebut. “Tidak benar apabila dikatakan KUHP nasional akan membungkam demokrasi, akan membatasi kebebasan berpendapat, berekspresi, dan berkritik,” kata dia.
Lebih dari sebulan sejak penetapan, panggilan telepon dari Istana diterima Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Minggu, 5 Februari 2023 sekitar pukul setengah sembilan malam. Saat itu, ia sedang berada di Medan, Sumatera Utara bersama Asmono, dan Muhammad Agung Dharmajaya. Mereka sedianya akan mengikuti serangkaian acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN).
“Bu Ketua dan Pak Waket (wakil ketua) balik lagi ke Jakarta pagi Pukul 06.00 WIB,” kata Asmono. Ketua Dewan Pers Ninik, ketika itu, meminta Asmono untuk tetap berada di Medan agar dapat memastikan persiapan acara HPN berjalan baik. “Saya nggak ikut, tapi saya dapat cerita dari kawan-kawan,” beber Asmono.
Pertemuan dengan Presiden Jokowi yang digelar Senin, 6 Februari 2023 hanya berlangsung sekitar 40 menit. Dalam pertemuan itu, Jokowi mengingatkan pentingnya pers yang bertanggung jawab dan menjunjung etika jurnalistik. “Nggak spesifik (membahas Undang-Undang KUHP). Sebentar sekali pertemuan dengan presiden,” ungkap Asmono.
Menurut Asmono, Presiden Jokowi juga menyinggung keberlanjutan bisnis pers. Hanya saja, kata dia, ekosistem pers di Indonesia perlu dibangun tanpa mengesampingkan aspek kemerdekaan pers.
“Kalau bisnis persnya maju tapi ininya (kemerdekaan pers) terhambat, kita kan nggak mau kayak Singapura yang nggak punya kemerdekaan pers dan Malaysia,” jelasnya.
“Betul memang kemerdekaan pers dalam tanda kutip (di Indonesia) sudah selesai. Dalam arti kita merasakan itu, tetapi potensi ancamannya, ada doxing kepada jurnalis, ada kekerasan kepada wartawan di Papua dan di Surabaya segala macam itu kan faktual.”
Cara Pandang Kolonial
Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai pasal-pasal yang terkandung dalam KUHP mempersempit ruang berpendapat bagi masyarakat. Alih-alih mendekolonialisasi, menurutnya, KUHP baru justru masih bercorak kolonialisme. “Penanda dekolonisasi itu sebenarnya adalah hukumnya yang tidak membungkam masyarakat, tapi justru memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat dan hak-hak sipil serta politik lainnya. Bedanya sebenarnya itu tuh harusnya. Kalau dalam kolonialisme nggak ada hak asasi manusia, kalau sesudah lepas dari kolonialisme ada hak asasi manusia yang kuat,” jelas Bivitri.
Pasal 188 dalam Undang-Undang KUHP tentang larangan terhadap penyebaran dan pengemabangan ajaran Komunisme, Marxisme, dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila bagi Bivitri merupakan contoh Undang-Undang KUHP karya ‘anak bangsa’ yang masih menganut paham kolonialisme. “Itu aja boleh jadi bahan tertawaan, menurut saya. Karena kita udah zaman seperti sekarang, masa orang masih nggak boleh bahas Komunisme, Marxisme, Leninisme,” tutur Bivitri.
“Kita ditakut-takuti untuk melakukan sesuatu yang menurut penguasa tidak boleh dilakukan. Nah ini gaya kolonialisme,” imbuhnya tertawa ringan.
Yang paling membuatnya khawatir ialah ketika masyarakat, termasuk pers, melakukan swasensor. “Ibarat kata, kita mau ngomong apa saja bakal salah. Jadi mendingan kita nggak usah ngomong. Jadi saya kira itulah dampaknya kalau sebuah KUHP itu pola pengaturnya memang pola kolonialisme,” jelasnya. “Nanti dampak nyatanya itu ke masyarakat sipil dan juga Pers seperti itu. Membuat kita tidak bebas untuk berpikir bahkan,” tambahnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) tersebut juga menilai pembentukan Undang-Undang KUHP ini tidak semata-mata membawa kepentingan Presiden Jokowi. Tapi membawa kepentingan penguasa yang masih memiliki cara pandang kolot zaman kolonial.
“Saya melihat bahwa memang pemerintah Indonesia, secara umum ya, saya tidak hanya menyoroti Pak Jokowi. Pemerintah belum mampu melihat bahwa dalam demokrasi, dalam masyarakat non-kolonialisme harusnya itu masyarakat sipil dibolehkan untuk berpendapat. Itu namanya HAM. Itu namanya hak untuk berpendapat, hak sipil dan politik masyarakat sipil, dan itu bermanfaat bagi demokrasi. Nah pemerintah itu tidak mampu untuk melihat cara pandang baru ini,” jelasnya.
Akibat dari cara pandang itu, menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Ade Wahyudin, akan ada ancaman gaya baru yang akan menimpa komunitas pers sekalipun KUHP saat ini tidak secara khusus memuat larangan terhadap kegiatan pers atau jurnalistik.
“Tapi kami melihatnya begini; pasal-pasal yang ada itu terkait dengan pembatasan ekspresi yang di mana seringkali itu multitafsir dan berpotensi disalahgunakan untuk menyerang aktivisme, apakah ekspresi atau kebebasan pers,” ia menjelaskan.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, sebelumnya menyampaikan KUHP tetap menjamin kemerdekaan Pers. Tapi di lapangan, menurut Ade tak sesederhana itu. “Oh ini Pers, kemudian diselesaikan melalui mekanisme sengketa Pers. Tidak seperti itu,” ungkap Ade.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pada 2022 mencatat 61 kasus dengan 97 korban dari jurnalis, pekerja media, dan 14 dari organisasi media. Angka itu naik dari dibanding 2021 yang terjadi sebanyak 43 kasus. Ditinjau dari pelaku, orang tak dikenal menjadi kelompok yang paling banyak melakukan kekerasan, dengan jumlah kasus sebanyak 17. Disusul polisi dengan 15 kasus.
Menurut Ade, cara pandang aparat penegak hukum yang masih bersifat ‘administratif’ masih menjadi momok bagi pekerja pers. Media lokal, alternatif atau Pers Mahasiswa yang menerapkan good journalism tapi belum berbadan hukum maupun terverifikasi oleh Dewan Pers rentan dipidana. “Bukan berarti teman-teman media mainstream yang sudah terverifikasi Dewan Pers itu juga aman. Tidak. Dalam beberapa kasus banyak juga yang telah dilaporkan dengan Undang-Undang ITE, KUHP dan terus berlanjut. Beberapa kasus itu terjadi,” beber Ade.
Tak Perlu Menunggu 3 Tahun
Rabu, 7 Desember 2022 atau satu hari setelah RKUHP disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang, Mugni Ilma tersipu lemas mendengar dirinya terancam pidana. Ia diancam penjara oleh perwira menengah Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Rabu, 7 Desember 2022.
Jurnalis perempuan yang bekerja di media daring lokal ntbsatu.com itu diancam dan diintimidasi usai menulis berita terkait dengan adanya dugaan suap ke Komisaris Besar Polisi, Nasrun Pasaribu. Dugaan suap itu berkaitan dengan perkara kosmetik ilegal.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram, Muhammad Kasim menilai berita yang ditulis Mugni sudah memenuhi kaidah jurnalistik. Bahkan, dalam siaran pers AJI Mataram, berita kedua dinyatakan telah memuat klarifikasi dan bantahan langsung dari Direktur Reskrimsus Polda NTB, Kombes Pol. Nasrun Pasaribu. Semestinya, kata Kasim, KUHP yang baru efektif digunakan lepas tiga tahun setelah disahkan. Namun hal itu tak berlaku bagi Mugni.
Hal serupa juga pernah menimpa Muhammad Asrul. Ia dianggap mencemarkan nama oleh keluarga dari pejabat di Palopo, Sulawesi Tengah. Buntut pelaporan itu, ia ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian mengikuti proses persidangan pada 23 November 2021 lalu. Pengadilan Negeri palopo menyatakan Asrul bersalah melakukan pencemaran, vonis tiga bulan penjara harus ia terima. Merasa tak bersalah, Asrul memilih banding.
Sementara Diananta Putra Sumedi, jurnalis Banjarhits.com mengaku masih bingung dengan kasus yang menjeratnya. Kasus Diananta bermula dari berita bertajuk “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel.” Dalam liputan tersebut, Diananta menuliskan dugaan perampasan lahan masyarakat adat dayak oleh Jhonlin Group. Sebelum mempublikasikannya, ia mengaku telah mencoba melakukan konfirmasi kepada pemilik perusahaan Jhonlin Group, Andi Arsyah.
Diananta juga telah mempersilahkan pria yang beken dikenal sebagai Haji Isam tersebut menggunakan hak jawabnya. Hal itu disampaikan ketika keduanya bertemu di salah satu hotel di Kota Banjarbaru, beberapa saat setelah liputan tersebut tayang.
Namun, tawaran tersebut justru ditanggapi dengan surat somasi yang dikirim ke rumahnya. Selang beberapa hari, Sukirman yang menjadi nara sumber Diananta dalam liputan tersebut, melaporkannya ke Polda Kalimantan Selatan.
Kasus Diananta sempat ditangani Dewan Pers. Dalam dokumen Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Nomor 4/PPR-DP/11/2020 pada 5 Februari 2020, Dewan Pers menilai kasus yang dihadapi Diananta sebagai kasus pers, sehingga harus diselesaikan melalui UU Pers Nomor 40 tahun 1999. Dalam pernyataan itu pula Dewan Pers menyebut bahwa Kumparan.com sebagai pihak yang bertanggung-jawab atas penerbitan berita Banjarhits.com.
Namun, rekomendasi tersebut terbukti tak mampu menghentikan proses hukum. Pengadilan Negeri Kotabaru, Kalimantan Selatan memvonis Diananta dengan hukuman penjara 3 bulan 15 hari. Lepas 17 bulan sejak dibebaskan pada Agustus 2020, Diananta masih tak menyangka jika pekerjaannya sebagai jurnalis bisa membuatnya dipenjara.
Tak hanya jurnalis yang berisiko dikriminalisasi dari KUHP ini. Kondisi yang lebih rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal bermasalah dalam Undang-Undang ITE dan Undang-Undang KUHP ialah narasumber. Hal itu dialami oleh Project Multatuli—sebuah media nirlaba, yang menerbitkan laporan berjudul ”Tiga Anak Saya Diperkosa Saya Lapor ke Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.”
Pemimpin Umum Project Multatuli, Evi Mariani menjelaskan bahwa salah seorang narasumbernya dilaporkan oleh mantan suaminya atas tudingan melakukan pencemaran nama baik. Sementara pengacara terduga pelaku mengadukan Project Multatuli ke Dewan Pers. ”Bagi kami, laporan ke narasumber adalah sama saja ancaman terhadap kami, ancaman terhadap kebebasan pers. Saya kira KUHP nanti sama juga, pasal-pasal di KUHP bisa saja diterapkan ke para narasumber. Ini berbahaya, karena semakin sedikit narasumber yang berani bicara,” jelasnya.
Ketua AJI Indonesia, Sasmito Madrim, menilai jurnalis maupun narasumber tak lepas dari bidikan pidana KUHP. Kasus yang menimpa Mugni, Asrul, hingga narasumber ialah sedikit dari kasus yang menimpa pers. ” Jadi persoalannya memang satu di aparat penegak hukumnya. Terus kemudian memang ada pasal-pasal bermasalah di KUHP-nya,” ungkap Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim kepada tim kolaborasi Jaring.id dan Suara.com.
Untuk melihat eskalasi pemidanaan jurnalis melalui KUHP, AJI bersama Dewan Pers, Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) sempat menggelar simulasi terkait pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers seperti pasal terkait penghinaan dan penyebaran berita bohong. Menurut Sasmito ketika itu terdapat beberapa tafsiran yang berbeda-beda terhadap pasal-pasal tersebut.
Ancaman pemidanaan dalam Undang-Undang KUHP ini, menurut Sasmito, memang memungkinkan perusahaan pers dan jurnalis akhirnya melakukan swasensor. “Swasensor sebenarnya ada beberapa hal yang kita lihat di lapangan. Satu karena dia berkaitan dengan sumber pendapatan media yang akhirnya kemudian media melakukan sensor. Kedua, karena mereka takut dengan pasal-pasal bermasalah tadi.”
Oleh sebab itu, AJI mendorong Dewan Pers agar dapat menguatkan nota kesepahaman atau MoU dengan Kepolisian Indonesia. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis, maupun perusahan pers akibat pasal korporasi yang terdapat dalam KUHP.
Menurut Sasmito, AJI bersama Dewan Pers, Polri, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) pun sempat menggelar simulasi terkait pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers seperti pasal terkait penghinaan dan penyebaran berita bohong. Menurut Sasmito, ketika itu terdapat beberapa tafsiran yang berbeda-beda terhadap pasal-pasal tersebut. “Kita akan mendorong tafsir yang mungkin bisa diberikan oleh lembaga negara terkait pasal-pasal yang multitafsir tadi, baik Dewan Pers ataupun Komnas HAM supaya itu bisa jadi rujukan aparat penegak hukum nanti kalau misalkan ada persoalan di lapangan.”
Persoalan lain yang menjadi pekerjaan rumah atau PR besar menurut Sasmito terkait profesionalitas aparat penegak hukum. Sebab ketidakprofesionalan aparat penegak hukum ini menjadi permasalahan yang kerap ditemukan di lapangan.
“Memang PR-nya di pemerintah ini aparat penegak hukumnya tidak profesional ya. Walaupun mereka paham asbabun nuzulnya pasal-pasal itu muncul, tapi memang beberapa daerah itu kemudian dimanfaatkan untuk menakut-nakuti jurnalis, penyalahgunaan kekuasaan,” tutur Sasmito. “Nah menjadi profesional kan banyak hal yang harus dilakukan yang luput dari masyarakat sipil hari ini, reformasi Polri.”
“Kriminalisasi itu kan sebenarnya tidak boleh dibenarkan dengan alasan apapun. Kriminalisasi ini sama aja dengan kekerasan, tapi kadang kala ini yang kritik kita terhadap Polri yang selalu ngomong presisi, Polri juga kadang kurang presisi,” ia menambahkan.
Tim Kolaborasi
Penanggung Jawab: Fransisca Ria Susanti (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Penulis: Abdus Somad (Jaring.id); Agung Sandy Lesmana, Muhammad Yasir (Suara.com)
Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id); Reza Gunadha (Suara.com)
Ilustrasi: Ali (Jaring.id); Suara.com