Berpacu dengan Kepunahan

“Rugi. Tidak ada harga lagi barangnya. Bulan lalu ada yang tawarkan 08, tapi saya tolak dan suruh jual ke Palembang. Barangnya dari Sekayu (Sumatera Selatan),” kata Sam.

Sam, bukan nama sebenarnya, mengaku kalau bisnis satwa liar tak lagi menggiurkan sejak pandemi Covid-19 merebak. Selain minim permintaan, harganya juga anjlok. Padahal, tak sampai lima tahun lalu harganya masih di angka belasan juta rupiah.

“Beda pengepul beda harga. Terakhir harga jualnya cuma Rp18 juta pada 2018. Waktu itu (jual) ke Lampung,” ujar Rozi, warga Ulu Rawas, Musi Rawas, Sumatera Selatan ketika diwawancarai pada Minggu, 19 Juni 2022. 

Meski tak lagi jadi primadona di kalangan pemburu satwa liar, harimau tetap berada di ambang kepunahan. Dalam IUCN Red List–indikator global yang digunakan untuk keanekaragaman hayati–statusnya terancam kritis (critically endangered, CR). 

Konflik dengan manusia jadi salah satu penyebabnya. Sepanjang 2019 hingga 2021 saja, sedikitnya terdapat 20 konflik antara manusia dengan harimau. Sebagian di antaranya mengakibatkan korban dari pihak manusia maupun satwa. Sementara itu, data petugas patroli menemukan sedikitnya 3.285 jerat di 6 lanskap habitat harimau pada 2012-2019.

“Salah satu ancaman langsung dan terberat bagi harimau ya konflik dengan manusia. Ada juga perburuan dengan senjata, sehingga beberapa harimau terjerat,” kata Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung, Donal Hutasoit. 

Konflik harimau dengan manusia tak bisa dilepaskan dengan maraknya alih fungsi hutan menjadi perkebunan. Donal menyebut bahwa hal tersebut menyebabkan lokasi jelajah harimau semakin sempit dan sumber makanan terus berkurang.

“Tidak sedikit harimau yang akhirnya keluar, karena berkurangnya  satwa yang dapat dimangsa. Ini memaksa harimau mencari mangsa di kawasan permukiman. Tahun lalu, kasus kematian babi cukup banyak akibat demam babi afrika, itu juga menyebabkan sumber makanan harimau berkurang drastis,” imbuhnya.

Demam babi afrika atau dikenal dengan african swine fever  (ASF), memang tidak menjangkiti harimau, tetapi sangat mematikan bagi babi hutan. Walhasil, populasi babi hutam sebagai pakan utama harimau sumatera turut terdampak.

Kasus African Swine Fever (ASF) pada babi hutan telah terkonfirmasi di Taman Nasional Way Kambas. Temuan kematian babi hutan secara masif di beberapa wilayah lain mengindikasikan telah adanya sebaran ASF pada babi hutan di habitat harimau sumatera.

Terpisah, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung, Said Jauhari mengaku pihaknya hingga saat ini terus melakukan sosialisasi untuk mencegah perburuan harimau. Hingga tahun 2021 lalu, pihaknya belum menerima laporan adanya perburuan yang kembali aktif.

“Belum ada lagi laporan, kalau ada dimana? Rata-rata perburuannya orang-orang itu saja, dan beberapa sudah mengaku bertobat. Kita gencar melakukan sosialisasi dan beberapa tim siaga di tempat seperti di Mukomuko dan TNKS. BKSDA juga bekerjasama dengan NGO untuk mengantisipasi perburuan ini,” terangnya.

Tahun 2016, Population Viability Analysis (PVA) Harimau Sumatera mencapai 568 ekor, dengan jumlah minimal yang dapat sitas di satu bentang alam 35 ekor (satu bentang alam kapasitas 70 individu).  Pada tahun 2010, kajian di 33 bentang alam menunjukkan keberadaan harimau di 27 bentang alam. Namun, di tahun 2016, tanda keberadaan harimau hanya ada di 23 bentang alam dari 27 bentang tersebut.

“Ada 5 lanskap besar diantaranya adalah lanskap Kerinci Seblat, 8 lanskap sedang dan terdapat 10 lanskap kecil,” kata Erni Suyanti Musabine, Ketua Forum Harimau Kita.

Kantong habitat terakhir harimau sumatera dengan kategori besar (daya dukung lingkungan lebih dari 70 individu) meliputi Leuser-Ulu Masen, Batan Gadis, Rimbang Baling, Batang Hari, Kerinci Seblat. Sementara itu, habitat kategori sedang dengan daya dukung lingkungan kurang dari 70 individu, meliputi Dolok Surungan, Batang Toru, Barumun, Rimbo Panti/Pasaman, Bukit Tiga Puluh, Hutan Harapan, Bukit Balai Rejang Selatan, dan Bukit Barisan Selatan.

Adapun habitat dengan kategori kecil yang biasanya berupa rawa gambut, meliputi Senepis-Buluhala, Giam Siak Kecil, Tesso Nilo, Kampar, Kerumutan, Bramitam, Bukit Dua Belas, Dangku, Berbak Sembilang, dan Way Kambas.

Erni mengatakan bahwa deforestasi, perburuan, dan konflik merupakan ancaman utama bagi keberadaan harimau sumatera. 

“Populasi harimau di lanskap kecil memiliki peluang kepunahan tinggi yakni 100%, hanya populasi harimau di lanskap besar dan sebagian di lanskap sedang yang mampu bertahan dengan kepunahan rata-rata 31%. Namun, bila ancaman dihilangkan, peluang kepunahan pada salah satu lanskap sedang dan semua lanskap besar dapat berkurang. Contohnya pada Lanskap Batang Hari dan Bukit Barisan Selatan,” imbuhnya.

 

Serial Penjagal Raja Rimba:


*Liputan investigasi ini merupakan hasil kolaborasi dalam Program Bela Satwa Project yang diinisiasi oleh Garda Animalia dan Auriga Nusantara.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.